Saya Guru, eh Petugas Tamtib 2: Balada Seragam Tika
Hety Apriliastuti Nurcahyarini 22 April 2012Saya guru,eh petugas tamtib mungkin. Tak hanya mengajar pelajaran, saya pun juga mengawasi ketertiban murid-murid saya di sekolah. Mengawasi dalam arti jika mereka berbuat baik, akan saya puji dan jika mereka berbuat tidak baik, akan saya ingatkan. Kalau boleh jujur, tidak semuanya berjalan lancar. Ada saja tingkah-polah murid-murid saya. Misalnya, dalam hal ‘tetek-bengek’ permasalahan tidak masuk sekolah. Ada saja alasan tidak masuk sekolah. Uniknya, semua berawal dari hal-hal sepele. Berikut adalah ‘unforgetable moment’ saya sebagai guru sekaligus petugas tamtib, eh.
Balada Seragam Tika
Pukul tujuh kurang lima belas menit, saya tergopoh-gopoh berjalan menuju ke sekolah. Langkah kaki saya cukup mengundang decak kagum orang-orang yang saya lewati. “Ckckck, wah, lakona ibu ghenyang,“ kata mereka yang kurang lebih artinya ‘wah, ibu jalannya cepat sekali.’ Geli juga rasanya melihat mereka memandang saya penuh keheranan. (Sttt... walaupun sebenarnya, antara bersemangat ke sekolah dan tergesa-tegesa ke sekolah itu beda tipis, kan? Hehe.)
Pagi itu, hanya satu yang mampu menghentikan langkah kaki kecepatan turbo saya di jalan, yaitu Ibunya Tika (Tika adalah salah satu murid saya). Beliau sedang berjalan mengantarkan anaknya (Uut, adik Tika) berangkat ke TK. “Ibuuu, maaf. Motornya saya kembalikan nanti sore ya? Kemarin sudah kemalaman soalnya,” sapa saya ramah disambung permintaan maaf soal motor yang saya pinjam. Keluarga Tika adalah rental motor saya alias tempat saya meminjam motor selama itu. “Haduh, Bu. Pakai dulu saja. Tak apa. Tak ada yang pakai di rumah,” jawab ibunya Tika sambil tersenyum memperlihatkan sederetan giginya. Belum sempat saya berkata-kata lagi, tiba-tiba ibunya Tika langsung ‘curhat’, “Bu, si Tika hari ini tidak mau masuk sekolah. Seragam hari ini tercuci kemarin. Akhirnya, Tika tak mau ke sekolah. Malu sama teman-temannya katanya.” Saya pun hanya melongo penuh keheranan, “Wah, ibu. Padahal saya tidak pernah memarahi anak kalau tidak pakai seragam. Justru sayang kalau gara-gara seragam malah tidak masuk sekolah. Anak bangun kesiangan saja tetap saya suruh berangkat ke sekolah. Sepatunya dicuci, saya suruh ke sekolah pakai sandal jepit. Saya tidak pernah marah, Bu. Pokoknya asal mau datang ke sekolah saja, saya sudah senang.” “Kalau begitu, ibu saja yang menasehati Tika. Ibu jemput dia saja di rumah,” jawab Ibunya Tika memberi komando agar saya segera mengambil tindakan.
Sampai di kelas, benar saja. Bangku itu masih kosong tak berpenghuni. Tujuh belas bangku sudah terisi minus satu. Padahal hari ini, saya berencana untuk mengadakan ulangan IPA. Kemarin pun, saat saya mengatakan akan mengadakan ulangan IPA, tidak ada anak yang mengeluh protes. Semuapun menyanggupi pasti akan datang. Tapi buktinya sekarang? Mengapa bangku itu masih kosong tak berpenghuni? Tika yang notabene anak pandai di kelas merelakan tidak datang mengikuti ulangan IPA hanya karena seragamnya dicuci. Saya ulangi lagi, seragamnya dicuci!
“Anak-anak, silakan membaca buku IPA dahulu, ya! Setelah itu, kita akan mengadakan ulangan. Ibu pamit sebentar ke luar. Tolong, jaga ketenangan kelas. Jangan ramai, ingat, kita punya tetangga kelas 5. Kelas 5 sedang belajar, jangan mengganggu!” kata saya pamit plus peringatan dilarang gaduh.
Hosh, hosh, hosh! Sepuluh menit berjalan, akhirnya sampai juga di rumah Tika. Napas saya agak tersenggal-senggal karena rumah Tika terletak di dataran yang lebih tinggi dari sekolah. Jalannya menanjak menaiki bukit. Gunung Lanjheng, namanya.
“Tika, Assalamualaikum? Ayo, masuk sekolah!” kata saya sambil langsung masuk ke rumah Tika yang pintunya sedang terbuka lebar. Dari dalam, Tika terkejut menyambut kehadiran saya, yang memang benar-benar tak disangkanya, “Hehe, eh, ada ibu!” “Tika, pernahkan ibu memarahi anak yang memakai sandal jepit karena sepatunya basah kehujanan? Pernahkan ibu memarahi Kholil yang tiba-tiba datang ke kelas pukul sembilan? Ibu selalu bilang, usahakan selalu datang ke sekolah kecuali kalau kalian sakit. Tika lupa? Hari ini ada ulangan IPA kan? Tika mau kehilangan nilai? Ayo berangkat ke sekolah! Pakai saja baju yang lain. Yang penting pakai baju sopan,” nasehat saya. “Bu, saya malu ke sekolah. Nanti pasti diejek sama anak-anak gara-gara saya tidak pakai seragam,” jawab Tika pasrah. “Siapa yang akan mengejek? Nanti bilang sama ibu. Tika mau ketinggalan ulangan? Kehilangan nilai? Yang rugi siapa coba?,” rayu saya lagi. “Baik, Bu. Tunggu sebentar. Saya siap-siap dulu,” jawab Tika yang akhirnya takhluk oleh bujuk rayu saya. Yes!
“Horeeee...!” teriak anak-anak serempak menyambut kedatangan saya di kelas. Tika hanya tersipu-sipu. Semua seisi kelas memandangnya. “Anak-anak, sekali lagi ibu katakan. Apapun yang terjadi, usahakan tetap datang ke sekolah. Bangun kesiangan, sepatunya basah belum kering, seragamnya dicuci, apapun. Kecuali kalau kalian sakit. Mengerti?” tanya saya. “Baik, Buuu...!” jawab anak-anak serempak.
Hari itu, akhirnya, Tika mengikuti ulangan IPA dengan celana panjang dan kaos. Hasilnya? Angka sembilan di kertas ulangan tersenyum kepadanya.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda