info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sawah, ‘Kombung’, dan Bawean

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 29 Januari 2012

Di Jawa, saya pernah bermain di sawah. Berjalan menjaga keseimbangan di antara pemantang. ‘Pluk’, paling-paling kalau tidak seimbang, salah satu kaki saya akan terjembab dalam lumpur bersama padi. Kalau sudah begitu, saya hanya akan tertawa terbahak-bahak bersama saudara saya. Seolah-olah, jatuh ke lumpur adalah kejadian terlucu sedunia. Oh, ya, sawah itu juga bukan milik saya, asal saja, milik orang lain. Saya dan saudara saya hanya kebetulan melintas. Orang tua saya berkali-kali melarang saya bermain ke sawah. Katanya, banyak ular, apalagi kalau padi-padian sudah meninggi, menguning, dan siap panen. Kita tidak akan pernah tahu apa yang sedang melintasi kaki kita, begitu katanya. Entah, itu gertak sambal belaka atau memang sungguh demikian. Pembelaan saya kala itu, “Kalau Hety enggak ke sawah, kapan bisa kenal pak tani yang nanam padi?”

Kini, sekian belas tahun kemudian (umur saya sekarang 23 tahun), di Bawean, saya bebas bermain di sawah kapan pun. Kini pun, orang tua saya tak keberatan (mungkin orang tua saya merasa anak 23 tahun sudah bisa menjaga diri dan bertanggung jawab atas apa yang melintasi kakiknya). Setiap kaki saya melangkah, yang saya jumpai pasti sawah. Bagaimana tidak, penduduk di sini hampir pasti mempunyai sawah. Tak peduli sawah warisan atau sawah berian, pokoknya sawah. Hebatnya, sawah mereka tersebar. “Di sini saya punya sawah, Het, di sana saya juga punya, terus di sebelah sana, yang dulu itu, itu juga punya saya,” kata ibu asuh saya suatu hari sambil menggerakkan-gerakkan tangannya sesuai empat arah mata angin, tanpa bermaksud menyombongkan diri. Saya hanya mengangguk-anggukkan kepala, tanda mengerti. Bayangkan ya, tanpa sertifikat tanah, sebidang tanah bisa menjadi sawah yang terolah, dan tak ada cerita penduduk yang berebut tanah. Sepertinya, setiap tanah dipagari dengan hati dan disertifikati dengan kejujuran masing-masing orang. Alami saja.

Lain sawah, lain juga ‘kombung’. ‘Kombung’ adalah bahasa Bawean yang berarti kebun. Selain mempunyai sawah, rata-rata penduduk di sini juga mempunyai kebun yang aduhai bukan kepalang luasnya. Lagi-lagi, tanpa sertifikat tanah. Mereka secara sadar, hapal di luar kepala luas dan batas-batas kebunnya. Istimewanya, tak ada cerita penduduk yang berebut tanah. Luar biasa bukan?

Kebunnya ditanami beraneka tanaman. Ada nanas, kedondong, mangga, pisang, jeruk, cabai, pakel, ‘manggala’ (Bahasa Bawean untuk ketela pohon), jambu, rambutan, kelapa, dan masih banyak lagi (ada beberapa buah yang saya belum pernah saya jumpai di Jawa!). Kalau sedang berbuah, boleh ambil sesukanya asal izin dulu dengan pemiliknya. Oh ya, ada cerita lucu. Biasanya jika ada tamu, si pemilik ‘kombung’ akan mengajak tamunya berkeliling dan memetik buah bersama sebagai oleh-oleh. Mungkin saking baiknya, si tamu dipersilakan mengambil buah apapun sesukanya. Sayangnya, kadang kebaikan ini disalahgunakan. Tamunya pun tidak berperasaan. Di lain hari, si tamu akan datang lagi ke ‘kombung’ mengajak temannya yang lain dan mengambil buah sesukanya tanpa minta izin lagi kepada si pemilik. Saya sebut ini sebagai ‘lucu-tega’. ‘Lucu’ karena ketika mendengar cerita ini pertama kali saya tertawa, tetapi juga ‘tega’ karena si tamu tega-teganya berbuat demikian. Mungkin, si tamu harusnya berpikir bahwa izin mengambil buah pun ada batas ‘expired’-nya. Kalau sudah begitu, pemilik ‘kombung’ yang merana karena ketika ingin makan buah, semuanya sudah tidak ada yang tersisa.

Sawah dan ‘kombung’ benar-benar menjadi bagian dari cerita satu tahun saya di Bawean. Dua-duanya istimewa. Dari dua tempat itu, saya banyak belajar mengenai ketulusan, kejujuran, kelucuan, kepolosan, dan kesetiaan.  Setiap main ke sawah, ritual yang saya lakukan adalah menutup mata sambil merentangkan kedua tangan. Saya hirup udara persawahan, udara perpadian, yang khas selama beberapa detik. “Gila!” batin saya, “Indonesia memang kaya!” Kalau sedang khusyuk-khusyuknya menghirup udara, hanya ada satu hal yang tiba-tiba dapat membuyarkan semuanya, yaitu teriakan ibu asuh saya yang bernada penuh keheranan melihat saya, “Heeeeeeet, apae kapola?” (Yang berarti, Het, apa yang sedang kamu lakukan?).


Cerita Lainnya

Lihat Semua