Balada Kacang Hijau
Hety Apriliastuti Nurcahyarini 4 Februari 2012(Kepada mama tersayang di Jogja, silakan tertawa, anakmu belajar banyak dari biji bulat kecil bernama kacang hijau)
Saya bisa meringis sendiri kalau ingat kejadian ini.
Ternyata, biji bulat kecil berwarna hijau ini bisa membawa cerita tersendiri. Ceritanya, beberapa minggu yang lalu, saya sedang rindu makan kacang hijau (meminjam istilah orang yang sedang hamil, kegiatan rindu makanan ini disebut ‘ngidam’). Ya, saya sangat mengingikannya, makan kacang hijau. Oh ya, kacang hijau yang saya rindukan sederhana kok. Setelah direndam beberapa jam, kacang hijau hanya direbus biasa dengan gula pasir, jahe, dan sedikit garam. Jadi deh, kacang hijau kesukaan saya.
Singkat cerita, akhirnya saya membeli kacang hijau di pasar (bukan pasar di desa saya, tapi pasar di dekat kecamatan). Lima ribu rupiah mendapat kacang hijau satu kaleng (takarannya adalah kaleng bekas susu kental manis). Saya tidak lupa mengirim sms kepada mama saya di Jogja untuk memastikan resep kacang hijau kesukaan saya tidak salah.
Okay, resep sudah saya dapatkan. Tugas saya selanjutnya adalah merendam kacang hijau selama beberapa jam agar melunak. Saya pun mengatakan kepada ibu asuh saya bahwa saya sedang merendam kacang hijau. Ibu asuh saya pun bertanya, kacang hijaunya mau dimasak seperti apa. Saya pun mengatakan sesuai resep yang diberikan mama. Di sinilah semuanya berawal.
Sepulang sekolah, saya kaget. Ibu asuh saya dengan polos mengatakan sudah merebus kacang hijau, tapi tanpa diberi bumbu sama sekali. Ibu asuh juga mengakui bahwa kacang hijaunya terlalu masak. Melihat ekspresi muka saya yang ‘agak’ berubah, ibu asuh pun merasa bersalah. Diberikannya kacang hijau yang direbus tanpa bumbu dan sudah ‘sangat’ lunak itu kepada saya.
Lidah saya kelu. Keinginan makan kacang hijau idaman melayang sudah. Karena seingat saya, saya tidak pernah menyuruh ibu asuh memasakkan kacang hijau untuk saya. Akhirnya, sebagai penghiburan diri, saya membuat Energen rasa jahe. Saya campurkan kacang hijau rebusan ibu asuh ke dalamnya. Ibu asuh saya pun hanya menghibur, “Sama-sama ada rasa jahenya kan, Het?” Saya pun hanya bisa tersenyum pasrah.
Cerita belum selesai. Ibu asuh menanyakan lagi, “Ini sisanya buat apa? Di buat kue aja ya. Nanti kita berikan kepada tetangga-tetangga”. Dan akhirnya, sore itu tetangga kanan-kiri, depan-belakang rumah turut menikmati kue kacang hijau itu.
Tuhan, apakah ini yang namanya berbagi impian? Impian makan kacang hijau yang semula cuma milik saya, akhirnya para tetangga ikut merasakan juga.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda