Pelajaran Kesungguhan dari Dua Murid Istimewa

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 8 Januari 2012

Setelah sekian bulan mengajar, berada di tengah anak-anak, hidup sendiri di sebuah desa antah berantah Indonesia, tidak ada sinyal, ‘Tok,’ hati saya seperti sedang dipukul oleh suatu kenyataan. Saya baru tersadar. Saya baru mengerti apa itu ‘kesungguhan’. Ini benar-benar tidak disengaja atau direka-reka. Sungguh!

Kalau kalian menantikan kesungguhan dari seseorang dan tak kunjung datang, sudahlah. Orang itu memang tidak bersungguh-sungguh dengan kalian. Lupakan! Kalau kalian bosan akan suatu hal karena belum juga menemukan kesungguhan sebagai diri pribadi, mari belajarlah dari kedua murid saya, In’am dan Kholil.

In’am Namanya In’am. Usianya sudah sekian puluh. Seharusnya, dia sudah duduk di bangku SMP. Tapi, sebuah kenyataan pahit membuat In’am harus duduk di bangku SD hingga kini dia menjadi salah satu muridku di kelas 6. Taukah, In’am belum dapat membaca. Kata orang-orang, In’am mempunyai kelainan yang menyebabkan dia belum dapat membaca dan merespon sesuatu dengan baik.

Saya tak percaya. Saya mencoba mengajari In’am membaca. Terpatah-patah, terbata-bata. Mudah sekali In’am lupa. Walaupun In’am sering tertukar dengan huruf-huruf lainnya saat membaca, saya tak putus asa. “Ikuti ibu, In’am. In’am pasti bisa membaca. Pasti bisa! ” kata saya penuh tekad sambil mengepalkan tangan di hadapan In’am.  “Iya, Bu,” jawab In’am sederhana.

Hari berganti hari, saya membuat sesi kelas membaca untuk In’am. Semakin In’am lupa huruf, tertukar huruf, semakin sering saya meyakinkan In’am, suatu saat dia pasti bisa membaca. Begitu seterusnya. Dan taukah? Dia tak pernah sekalipun membolos sesi kelas membaca sepulang sekolah. Dia selalu di sana. Menunggu sampai semua teman sekelasnya pergi dan menghampiri saya, gurunya. “Bu, membaca,” kata In’am lirih.

Itulah yang dapat kubaca dari seorang In’am, kesungguhan. Walau hasilnya belum tampak, saya yakin suatu saat nanti, pasti In’am bisa membaca. Pasti.

Kholil Kholil. Nama di buku raport, di buku pendataan siswa di sekolah tertulis begitu. Sederhana, hanya satu kata. Tapi entah kenapa, dia selalu menuliskan namanya ‘Holil’. Saat ulangan, di buku tulis, mengisi formulir, selalu begitu, Holil.

Kholil sering tidak masuk sekolah. Alasannya pun sesederhana namanya. “Mengasuh adik, Bu,” kata Kholil polos. Walaupun Kholil sering tidak masuk sekolah, dia termasuk anak yang pandai. Sekali dijelaskan, dia langsung dapat mengerjakan soal yang saya berikan. Kalaupun salah, tidak terlalu parah.

Kholil dan In’am bersahabat dekat. Keduanya sering terlihat bermain bersama. Selain itu, Kholil dan In’am ahli dalam memenangkan hati saya. Bagaimana tidak, tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada janjian. “Ibu, ibu..,” seru mereka dari luar rumah, “Belajar, Bu.” Begitu setiap malam pukul tujuh.

“Gila, dua anak ini!” batin saya sambil tersenyum penuh arti setiap menyambut kedatangan mereka. Rasanya bagaimana yah, entah. Saya tidak mampu mendeskripsikannya. Antara senang, terharu, jadi satu. Dan lagi-lagi, kesungguhan. Kesungguhan Kholil untuk terus belajar walaupun sering tidak masuk sekolah, sampai bersedia datang ke rumah.

Tuhan, jagalah kedua anak yang ini di masa sekarang dan masa depan. Hanya lima bulan waktu saya yang tersisa untuk melihat dan merasakan arti kesungguhan dari mereka. Terima kasih atas kesempatan untuk mengenal arti kesungguhan dari dua anak istimewa. Saya bahagia bisa menjadi guru bagi mereka. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua