Makanan, Bahasa Universal

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 18 November 2011

Kalau boleh usul apa yang dapat menyatukan kita semua, saya akan jawab, “Makanan!”. Mungkin, yang dibutuhkan Irak, Afganistan, Suriah, Lebanon, bukan kiriman pasukan perdamainan PBB untuk mengatasi peperangan, tapi kiriman makanan. FAO (Food and Agriculture Organization) mungkin harus bekerja lebih keras, mengalahkan kerja Dewan Keamanan PBB. Saya yakin, cepat atau lambat, makanan dapat mendamaikan dunia! Karena makanan adalah bahasa universal yang dapat dimengerti semua orang, seperti kisah saya.

 

I have break the record! Sore ini, saya disuguhi 10 toples kue aneka rupa plus 1 piring ketan hitam, 1 piring roti kukus, 1 piring ketupat Bawean, dan 1 baskom jambu.

 

Ceritanya, siang itu saya bermain ke rumah salah satu murid saya di ujung barat. Tika, namanya. Rumahnya memang terletak di sebelah barat, paling ujung sendiri. Orang-orang menyebutnya ‘Gunung Lanceng’. Sedangkan, rumah saya terletak di sebelah timur, paling ujung juga. Orang-orang menyebutnya ‘Timur Padang’. Tika menyambut kedatangan saya dengan riang gembira. Begitu pula dengan neneknya yang sedang menyobek daun aren untuk makanan sapi di ‘durung’ (durung adalah rumah kecil khas Bawean untuk duduk-duduk, semacam ‘gazebo’ di Jawa). Setelah menikmati beberapa potong kue yang disuguhkan di rumahnya, Tika mengajak saya untuk main ke rumah Lina, murid saya juga. “Ayo, Bu, kita main ke rumah Lina,” rayu Tika. Saya pun mengiyakan ajakannya.

 

Jika rumah Tika di daerah ‘Gunung Lancengi’, rumah saya di daerah ‘Timur Padang’, maka rumah Lina di daerah yang disebut ‘Daja Sungai’. ‘Daja’ artinya selatan. Jadi, ‘Daja Sungai’ berarti daerah di selatan sungai. Saya dan Tika berjalan kaki menuju rumah Lina. Sesampai di rumah Lina, mata Lina tampak sembab. Rupanya, Lina habis menangis karena dimarahi ibunya. Untuk menghibur Lina, saya dan Tika memutuskan untuk rujakan bersama. Buahnya hanya mangga muda yang super asam plus ‘buja’ (dalam bahasa Indonesia berarti garam) yang dihaluskan dengan cabai. Sambil kepedasan rujak, kami mengobrol riang. Kesedihan Lina pun lama-kelamaan hilang.

 

Inilah detik-detik momen yang spektakuler itu terjadi. Saat hendak pamit pulang, tetangga di samping rumah Lina melambai-lambaikan tangan. “Ibunya suruh kanak, Lin!” serunya (artinya, “Ibunya disuruh mampir ke sini, Lin”). Sebenarnya saya kenal juga dengan orang itu. Orang itu adalah seorang dukun bayi yang terkenal manjur. Terbukti, banyak orang dari berbagai penjuru desa datang ke rumahnya untuk berobat. Singkat cerita, akhirnya, saya, Tika, dan Lina mampir ke rumah orang itu. Bermodal senyum lebar, kami bertiga berusaha bersikap ramah.

 

Setelah menyilakan saya dan murid-murid saya duduk, si dukun bayi mulai bergelagat. Kalau di Jawa, gelagat ini harus segera disikapi dengan mengatakan, “Tidak usah repot-repot, Bu.” Sedangkan di Bawean, masyarakatnya bisa menangkis balik dengan kata-kata, “Tidak. Tidak repot. Siapa yang repot?”. Itulah yang dinamakan gelagat mengeluarkan segala makanan dan minuman yang ada di rumah untuk disajikan kepada tamu. Sebagai pengantar, masyarakat di desaku memang maharamah dalam urusan menjamu tamu. Salah satu indikatornya adalah mereka selalu ingin menjamu tamu dengan sebaik mungkin. Menurut mereka, ukuran sebaik mungkin itu adalah banyaknya makanan yang disajikan. Mereka akan sangat bangga jika makanan yang disajikan untuk tamu habis tak bersisa. Sebaliknya, mereka bisa tersinggung jika si tamu tidak mau menyentuh makanan yang disajikan. Sampai-sampai muncul sentilan, “Kalau malu-malu ambil makanannya, berarti lapar beneran.” Duh! Sadis ya?

 

Saya pun menikmati kue demi kue yang disajikan oleh si dukun bayi. Karena memang kurang paham dengan bahasa Indonesia, yang bisa dikatakan si dukun bayi hanyalah, “Kakan, Bu, kakan, Bu.” (artinya, “Makan, Bu, makan, Bu.”). Begitu seterusnya, berulang-ulang tanpa melihat mulut saya yang masih terus mengunyah kue. “Ini, Bu, saya juga sudah makan,” jawab saya pendek. Ketika mulut saya berhenti mengunyah, lagi-lagi si dukun bayi mengatakan, “Kakan, Bu, kakan, Bu,” sambil menyodorkan toples-toples kue beraneka rupa. Begitu seterusnya, sampai 15 menit berlalu. Bisa dibayangkan, kan? Selama 15 menit, percakapan yang terjadi di antara kami hanyalah menawarkan makanan.

 

Biasanya saya datang ke sini bersama ibu angkat saya untuk ‘memeriksakan’ Nanda, adik angkat saya nomer tiga. Ibu angkat sayalah yang biasanya menjadi translator antara saya dan si dukun bayi. Ibu angkat saya berulang kali mengatakan si dukun bayi ingin sekali berbicara dengan saya tetapi sayangnya dia tidak mengerti bahasa Indonesia. Kali ini kondisinya berbeda. Saya datang sendiri, hanya dengan Tika dan Lina, murid saya. Tika dan Lina tampak tidak bisa diandalkan. Kedua murid saya hanya duduk menunggu sambil cengengesan tanpa dosa, sambil mencuri kesempatan untuk  keluar. Sementara saya, gurunya, ‘terjebak’ dalam situasi yang serba salah ini. “Duh, bagaimana, ya?” batin saya.

 

Perut saya pun mulai memberi sinyal, kenyang. Bayangkan saja, di rumah Tika disuguhi kue, di rumah Lina ngemil kue plus rujakan, dan sekarang ‘jack pot’-nya di depan mata. 10 toples kue aneka rupa plus 1 piring ketan hitam, 1 piring roti kukus, 1 piring ketupat Bawean, dan 1 baskom jambu.

 

Menit demi menit berlalu. Saya pun memberanikan diri untuk pamit pulang. Diremasnya dan diciumi tangan saya dengan tulus. “Kanak ya, Bu, kanak!” katanya. Alias dalam bahasa Indonesia artinya, mampir lagi ya, Bu. “Insyaallah,” kata saya pelan, sampai-sampai hanya Tika dan Lina yang mendengar. Mereka hanya terkekeh melihat Ibu gurunya ‘terjebak’ dalam momen yang serba salah ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua