Hari Raya, Hari Memberi dan Menerima
Hety Apriliastuti Nurcahyarini 18 November 2011(Edisi Idul Adha di Bawean #1)
Seperti biasa, saya mulai rutinitas hari Sabtu dengan mengajar murid-murid saya di SD dari pukul 07.00 WIB. Saya langkahkan kaki menuju SD dengan mantap menyambut akhir pekan yang istimewa. Saking mantapnya, kadang saya tidak menyadari betapa cepatnya saya berjalan. Sampai-sampai para tetangga yang berpapasan dengan saya di jalan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkomentar dengan logat Bawean yang khas, “Waaa... ibuuu... .” Ups! Kadang saya lupa diri. Saya berjalan dengan standar kecepatan di kampung halaman. Komentar para tetangga itulah yang kemudian menyadarkan saya bahwa, “Hello Hety? Kamu sekarang sedang di Bawean!”. Orang-orang di Bawean sendiri rata-rata berjalan dengan langkah ringan alias pelan-pelan.
Oh ya, saya katakan bahwa ini memang akhir pekan yang istimewa. Bagaimana tidak istimewa? Hari Minggu besok adalah Hari Raya Idul Adha. Walaupun jauh dari keluarga di Jogja, saya ingin menikmati momen istimewa ini dengan keluarga angkat saya di Bawean. Kemarin malam, saya sudah berjanji dengan ibu angkat untuk membantunya membuat kue kukus, kue khas Bawean yang khusus disajikan di hari-hari istimewa, seperti hari raya dan hari pernikahan.
“Selamat siang, Buuuu.. ,” teriak murid-murid saya serempak. Itulah tanda berakhirnya kelas. Murid-murid saya berhamburan menciumi tangan saya untuk berpamitan pulang. Rupanya mereka juga sudah tidak sabar untuk bersiap-siap menyambut datangnya hari raya Idul Adha bersama keluarganya. Sesampai di rumah, saya sudah disambut bunyi gemelonteng panci dan baskom yang penuh adonan kue kukus. Langsung saja setelah cuci tangan dan ganti baju, saya bergabung bersama ibu angkat untuk membuat kue kukus di dapur mungilnya di samping rumah.
Membuat kue Kukus khas Bawean ternyata tidaklah sesulit yang dibayangkan. Kue ini memang mirip dengan kue Kukus di Jawa. Adonannya terdiri dari tepung terigu, gula pasir, dan bahan pembuat kue lainnya. Setelah diaduk rata, adonan itu dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah berisi mangkok-mangkok kertas. Tidak sampai 30 menit dikukus, kue Kukus khas Bawean siap dinikmati. Warnanya merah muda cerah, secerah hari raya esok hari.
Misi pertama, selesai. Selanjutnya adalah membantu bibi Su’a, tetangga di samping rumah, untuk membuat kue juga. Namanya kue Kasong. Kue khas Bawean yang dibungkus daun pisang yang sudah dibentuk kerucut. Adonan kuenya terdiri dari beras yang ditumbuk dan diberi gula aren. Setelah diaduk rata, adonan itu dimasukkan ke dalam kerucut-kerucut yang terbuat dari daun pisang dan dikukus selama 20 menit. Rasa kue Kasong sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kue Mangkok di Jawa. Hanya bentuk dan warnanya saja yang berbeda. “Bu, bentuk ini di Bawean namanya kasong. Besar di atas, kecil di bawah. Dulu kan pernah model ya, Bu, celana-celana seperti ini,” canda bibi Su’a sambil memegang daun pisang yang sudah dibentuk kerucut. Saya pun terkekeh, “Ooo, maksud bibi, celana pensil ya?”.
Tidak hanya di rumah saya dan bibi Su’a, sepertinya hari ini, sejauh mata memandang, para tetangga juga sibuk membuat kue untuk hari raya. Asap-asap tampak mengepul dari bilik dapur. Selain itu di depan rumah, para tetangga tampak hilir mudik membawa nampan-nampan kecil berisi kue. Rupanya, selain membuat kue, mereka juga tak lupa untuk berbagi kue dengan orang-orang terdekat. Ibu angkat saya mendapat kue Kasong buatan bibi Su’a. Demikian pula sebaliknya, bibi Su’a mendapat kue kukus buatan ibu angkat saya. Ibu angkat saya juga mendapat makanan kecil aneka rupa dari obak (bu dhe).
Itulah hal yang menarik hati saya selama tinggal di Bawean. Orang-orang di sini mempunyai semangat berbagi yang tinggi. Baik saudara dekat-saudara jauh, tetangga dekat-tetangga jauh, pasti tak pernah lupa mereka beri. Katanya, saling memberi dan berbagi sudah menjadi sebuah tradisi di sini.
Selamat Hari Raya Idul Adha 1932 H
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda