Kisah Murid Penyuka Horor (Catatan Seorang Guru)

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 3 Juni 2012

Dulu, kata mama, papa, dan kakak, saya adalah orang penakut di seluruh dunia. Gelar itu berhasil saya dapatkan karena sewaktu kecil, jika lampu di rumah mati, hal yang saya lakukan pertama kali adalah mencari tangan dan kaki orang terdekat yang bisa saya pegangi. Sama sekali tidak berinisiatif untuk mencari senter, lilin, atau sumber cahaya lainnya. Bahkan, jika saya di rumah sendiri, saya akan menyalakan semua lampu di rumah. Saya akan mengurung diri di kamar, tak berani keluar. Jika ada yang mengetuk pintu, saya biarkan saja, pura-pura tidak mendengar. Sampai-sampai, pernah suatu ketika, yang mengetuk pintu adalah mama. Karena tak kunjung saya bukakan pintu, akhirnya mama menelepon,” Adiiiiiik, bukain pintu! Mama di luar, cepat!”

 

Sekarang, setelah sudah besar, saya hanya bisa tertawa sendiri ketika mengingat semua itu. Sungguh, betapa takutnya saya akan kegelapan. Sekarang, setelah menjadi guru, saya tidak boleh seperti itu. Saya selalu menasehati murid-murid saya untuk berani. Yah, minimal berani maju ke depan kelas, berani mengungkapkan pendapat, dan berani untuk mengakui kesalahan yang sudah diperbuat. Kita, sebagai manusia, hanya takut kepada Tuhan, sang pencipta, begitu nasihat saya.

 

Tapi sepertinya, saya salah. Di kelas, ada satu murid saya yang lucu sekaligus horor. Kadang secara bersamaan, saya bisa merinding sekaligus tertawa dibuatnya. Mengapa bisa begitu? Karena hal-hal yang diungkapkannya selalu berbau mistis, horor, dan menyeramkan. Lucunya, pada dasarnya, dia adalah orang yang penakut. Aneh bukan?

 

Berikut adalah beberapa perbuatan ‘horor’ murid saya di kelas:

Ketika diminta untuk memparafrasekan sebuah puisi

Pertanyaan Ujian Akhir Ssekolah Bahasa Indonesia:

Ada tiga anak kecil

Dalam langkah malu-malu

Datang ke Salemba

Pada sore itu

Tulislah parafrase yang sesuai dari puisi di atas!

Pada dasarnya, parafrase adalah mengubah puisi menjadi sebuah cerita. Nah, jawaban Inul, salah satu murid saya yang penakut tapi dekat dengan hal-hal ‘horor’ adalah: “...Pada sore itu ada tiga anak kecil datang ke Salemba dengan langkah malu-malu. Tidak tahu siapa mereka. Mungkin mereka adalah setan penunggu kubur...”. Kontan saja, saat mengoreksi jawaban itu, saya terbahak sejadi-jadinya. Murid saya lainnya, yang sedari tadi mengamati raut muka saya yang serius mengoreksi ujian, tiba-tiba berkatan, “Bu Hety kenapa tertawa sendiri?”

 

Membuat Puisi

Ketika diminta untuk membuat puisi bertema ‘Jasa Guruku’. Dia adalah satu-satunya anak yang menganggap guru dalam puisinya sudah meninggal. Ini dia puisinya:

Guruku

Engkaulah penerang dalam hidupku

Tanpamu, aku tidak bisa apa-apa

Walaupun aku nakal

Kau tetap mendidikku

Dengan sabar dan penuh kasih sayang

Walaupun sekarang kau sudah tiada,

Semoga amal perbuatanmu diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa

 

Deg! Sebagai salah satu orang yang saat ini menjabat sebagai guru Inul di sekolah, jantung saya sempat berdegub.

 

Ketika belajar membuat kalimat tanya

Suatu hari, saya dan murid-murid saya sedang belajar tentang kalimat tanya dalam bahasa Indonesia. Saat itu, di luar, hujan sedang mengguyur deras. Suasana pun menjadi gelap karena sekolah saya tidak memiliki saluran listrik. Saya meminta salah satu murid saya, Inul, untuk membuat kalimat tanya dengan kata tanya ‘kapan’. Dengan lantang dan mantap, Inul langsung berkata, “Kapan kamu meninggal?” Deg! Sebenarnya tidak salah sih, tetapi seisi kelas langsung terdiam mendengar kalimat Inul.

 

Itulah beberapa kejadian yang saya alami dengan murid saya, si penyuka horor. Tak terasa kurang dari sebulan lagi saya sudah pulang kembali. Maka, sebelum saya pulang, saya ingin menuliskannya sebagai kenang-kenangan yang tak pernah saya lupakan seumur hidup, selama menjadi guru.

 

Inul, Inul, Bu Hety akan merindukanmu!


Cerita Lainnya

Lihat Semua