‘Caca Marica, Hey-hey’ untuk Vira

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 19 Mei 2012

Vira, itu namanya. Bagi saya, anak itu istimewa. Pertama kali melihat dan akhirnya dapat berkenalan, saya simpulkan, saya jatuh cinta padanya.

Vira berkulit putih dan berambut hitam legam sebahu. Anaknya imut dan lucu. Dengan ciri seperti itu, dapat dipastikan Vira bukan seperti anak kebanyakan. Ya, ayah dan ibunya memang bukan asli dusun yang saya tinggali sekarang tapi asal perantauan.

Sejak ayah dan ibunya berpisah, Vira tinggal bersama nenek dan bibinya. Ayah dan ibunya, masing-masing, telah menikah lagi dengan orang lain. Sedih memang. Tapi semua itu tak terpancar dari paras ayunya. Tak ada yang menduga. Vira tetap ceria menjalani hidup dan bermain bersama teman-temannya.

Tiap melihat Vira, saya selalu bertekad agar dapat membuatnya tersenyum. Lebih-lebih, kalau Vira bisa tertawa, berbunga-bunga hati saya melihatnya. Setiap pagi, saat berpapasan di jalan, saya pasti selalu mengajak Vira untuk ber-high five. “Pagi Vira? Bagaimana kabar hari ini?” goda saya. Kalau sudah saya goda seperti itu, Vira pun langsung mengobral senyum, “Pagi, Buuuuu, baik, Buuuuu!”

Pernah suatu siang, sepulang sekolah, Vira datang ke rumah. Setelah memilih buku yang akan dipinjamnya, saya tahan Vira agar tinggal sebentar di rumah. Iseng saya membacakan cerita untuknya. Vira pun senang sekali. Usai membacakan cerita, Vira yang ganti bercerita kepada saya. Mulai dari kelinci dan kucing peliharaannya sampai kisahnya sehari-hari. Saya ikut senang bisa mendengarkan sebagian kisah hidup Vira.

Beberapa hari ini, setiap malam, Vira selalu mengantar Titin ke rumah. Bukan tanpa alasan. Lomba menyanyi tingkat kecamatan sebentar lagi tiba. Titin akan mengikuti lomba itu mewakili SD tempat saya mengajar. Sebagai teman dekatnya, Vira pun rajin mengantar Titin. Sebenarnya tidak hanya Titin, ada juga anak-anak lain, seperti Zulaikha dan Mahmudah yang main ke rumah. Mereka senang sekali main ke rumah karena dapat membaca buku cerita di ‘perpustakaan mini’ saya. Malam itu, keisengan saya lagi-lagi muncul. Saya iseng mengajari anak-anak itu salah satu lagu daerah berjudul ‘Anak Kambing Saya’. Saya buka buku lagu-lagu wajib nasional dan mengajari anak-anak itu bernyanyi.

Baru beberapa kali menyanyi, anak-anak itu langsung mengerti. Ya, lirik dan lagunya memang mudah untuk diikuti. Apalagi, ketika bagian “... Caca marica, hey-hey...” . Coba tanya anak-anak seantero Indonesia, siapa yang tidak hapal? Begitu pula dengan Vira, Zulaikha, dan Mahmudah. Mereka dengan cepat hapal. Bahkan, Vira tak henti-hentinya menyanyikan lagu itu di depan Zulaikha dan Mahmudah yang berhenti menyanyi karena kecapekan.

“Lebur laguna reak,” kata Vira tiba-tiba, tanpa ditanya, sambil menunjuk sebuah halaman dari buku lagu-lagu wajib nasional yang sudah agak menguning termakan usia. Artinya, enak ini lagunya. Ada nada bangga dalam perkataannya. Mungkin, Vira bangga dapat menguasai lagu itu dalam hitungan menit. Senyum Vira mengembang. Dia tak henti-hentinya berdendang, apalagi bagian, “... Caca marica, hey-hey...”. Dia bersemangat sekali. Saya tertawa melihatnya. Setidaknya, malam ini saya berhasil membuat Vira bahagia dengan “...Caca marica, hey-hey”-nya.

 

Moral value of the story:

Malam itu, menjelang tidur, saya teringat Vira. Ternyata, kebahagiaan tidak melulu uang atau barang-barang yang dapat dibeli oleh uang itu sendiri. Kebahagiaan bisa datang dari hal terkecil sekalipun. Seperti angin, kebahagiaan datang tiba-tiba dan menyisakan rasa tersendiri untuk kita kenang. Ah, bahagia! Zzz...


Cerita Lainnya

Lihat Semua