Biarkan Crayon Itu Menari di Kertasmu

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 29 April 2012

“Bu, anak-anak TK, tolong diajari menggambar, ya! Menempel atau mewarnai. Pokoknya begitulah!” kata Kak Lia suatu hari kepada saya. Dan siang ini, tiba-tiba sudah ada Faiza, 5 tahun, yang diantar Jussana, kakaknya, muncul di depan pintu rumah saya. “Disuru belajar menggambar ke Bu Hety,” katanya singkat.

Belajar menggambar? Les menggambar? Jed-der!! Tiba-tiba saya merasa menjadi korban salah tembak sekelompok mafia.

Ketika dimintai tolong memberikan les menggambar, saya merasa ‘aneh’ sejadi-jadinya. Sumpah, saya tak pernah mencicipi bangku les menggambar sekalipun sewaktu kecil. Jadi, bagaimana bisa? Kata teman-teman, saya jago menggambar, ini katanya lho. Tapi… Ah, tidak! Saya tidak bisa menggambar. Menurut saya, ini hanya hobi karena belajar sendiri, otodidak. Tanpa les, tanpa guru. Validitas hobi menggambar saya bisa-bisa dipertanyakan. Walaupun demikian, kenyataannya sekarang, sudah ada seorang anak yang diantar kakaknya, minta diajari menggambar.

Faiza, anak kecil itu, lebih banyak diam. Kata kakaknya, dia pemalu. Jadi serba salah saya. Bagaimana bisa mengajari menggambar, sedangkan diam seribu bahasa? Faiza menyodori saya pensil dan kertas HVS berukuran folio.

“Mau belajar menggambar apa, Faiza?” tanya saya. “Bunga,” jawabnya lirih, lirih sekali sambil menundukkan muka. Saking pemalunya, mungkin.

Saya jadi ingat Pak Raden. Sewaktu saya kecil, Pak Raden pernah mengisi acara di salah satu stasiun TV. Pada acara itu, Pak Raden bercerita kepada anak-anak sambil menggambar tokoh-tokoh dalam cerita itu. Haruskah saya seperti itu? Sekali lagi, saya tak pernah les menggambar!

Satu bunga, dua bunga, tiga bunga, empat bunga, dan seterusnya. Saya menggambar satu bunga dan Faiza meniru bunga yang saya gambar sampai kertas HVS itu penuh bunga. Satu kupu-kupu, dua kupu-kupu, tiga kupu-kupu, dan seterusnya. Satu lebah, dua lebah, tiga lebah, dan seterusnya.

Kini, Faiza mulai mewarnai kertas HVS yang sudah penuh gambar bunga, kupu-kupu, dan lebah itu. “Eh, bunganya jangan biru!” kata Jussana, kakak Faiza. Faiza yang sedang asyik menggerak-gerakkan crayon birunya tiba-tiba berhenti dan memandang penuh rasa bersalah kepada kakaknya. “Tak apa, Kak. Biarkan Faiza yang memilih warnanya. Lama-kelamaan dia nanti akan mengerti perpaduan warnanya sendiri,” kata saya, seorang yang pernah mewarnai kelinci dengan warna merah menyala di TK.

Jadilah, hari berganti hari, anak-anak datang dan pergi ke rumah saya untuk diajari menggambar. Bahkan, seorang guru TK meminta saya untuk menggambar dan difoto kopi agar bisa diwarnai oleh murid-muridnya. Senang sekali rasanya melihat crayon-crayon itu menari di atas kertas


Cerita Lainnya

Lihat Semua