Sukarela untuk Kepentingan Bersama

Heri Santiko 26 Februari 2015

Awalnya melihat letaknya yang teramat jauh dari sebuah kota kabupaten dan merasakan susah dan mahalnya akses transportasi menuju kota kabupaten sejenak rasa pesimis muncul dalam benakku saat pertama kali menginjakkan kaki disini, Adodo Molo. Di desa yang terletak ribuan mil dari ibukota Indonesia, bahkan sekian hari dari kota kabupatennya sendiri  Maluku Tenggara Barat dan dengan segala keterbatasan memang sempat memunculkan keraguan dan pertanyaan klasik, mungkinkah capaian dambaan yang di idamkan akan terlampaui? Terlebih saat baru menginjakkan kaki di kota kabupaten aku mendapati ekspresi yang tidak wajar ketika ditanya bertugas dimana? Adodo Molo, Molumaru. Banyak kata yang terlontar dari mulai  jauh sekali, hati-hati lautnya seram, itu desa buangan pejabat bermasalah dsb.

Masa Tujuh bulan kehormatanku sebagai Pengajar Muda di desa Adodo Molo telah mampu meberikan jawabannya. Bahwa di desa yang pernah terluka dalam oleh konflik ini, semua prasangka dan rasa pesimis yang sempat muncul sama sekali belum terbuktikan. Dari kehidupanku, aku merasa teramat bahagia tinggal disini dengan keramahan dan toleransinya. Sebagai minoritas aku sama sekali tidak pernah merasakan perlakuan sebagai kaum minoritas, justru aku merasakan hal yang sebaliknya. Aku juga teramat bahagia dengan cara mereka bergotong royong membangun pendidikan yang lebih berkualitas di desa ujung utara deret kepulauan Tanimbar ini.

Orang tua mengangkut bambu – bambu dari kebun dan menantanya untuk di jadikan pagar sekolah hanya demi ingin melihat anaknya belajar nyaman. masyarakat desa dengan kepeduliannya memperbaiki perumahan guru yang sederhana beratapkan daun lontar hanya demi membuat guru-guru betah tinggal di desa dan dapat menjalankan tugasnya dengan optimal. Pusat kesehatan masyarakat berupaya dengan memberikan pelayanan kesehatan anak dengan harapan kesehatan mendukung proses pendidikan anak yang lebih baik. Pemerintah desa membuat kebijakan lapor diri untuk guru yang akan keluar dan kembali ke desa dengan harapan tak ada penyelewengan tugas.

Jika anda semua berkunjung ke desa ini anda juga akan mendengarkan suara lonceng tepat pukul 19.00 WIT. Mungkin awalnya akan bertanya, waktu ibadah kah? Atau tanda apa? Ya suara lonceng gereja itu adalah penanda jam belajar malam. Selepas lonceng berbunyi, Tabaus (pembawa pengumuman) menghimbau untuk semua masyarakat mematikan televisi dan alat-alat hiburannya sementara anak-anak memulai aktivitas belajarnya di rumah. LINMAS berkeliling di jalan untuk menegur anak usia sekolah yang berkeliaran, sementara guru – guru bertamu dari satu rumah ke rumah yang lain untuk memastikan anak-anak belajar di dalam rumah.

Di awal pagi tepat jam 06.00 WIT  lonceng juga berbunyi pertanda himbauan kepada semua anak-anak untuk segera bergegas mempersiapkan diri menuju sekolah dibarengi dengan lagu pengatar sekolah. Aparat desa kembali bekerja untuk pendidikan, Kepala desa menerima laporan dari guru siswa yang tidak masuk tanpa keterangan untuk kemudian mendatangi  rumah yang bersangkutan guna memastikan penyebab ketidak hadiran. Jam sekolah juga sangat diharamkan bagi siswa berada di luar lingkungan sekolah karena jika kedapatan di luar lingkungan sekolah saat jam sekolah tanpa membawa surat izin dari sekolah maka mereka harus menunggu di kantor desa sampai orang tua siswa bersangkutan menjemputnya dengan terlebih dahulu di berikan pembinaan.

Di sebuah desa yang penuh keterbatasan ini aku melihat bahwa kepedulian akan pendidikan mulai ditanamkan, menjadikan masalah pendidikan sebagai masalah bersama juga tengah di jalankan. Tiga kekuatan batu tungku (Desa, Gereja, dan sekolah) terus bergandeng tangan mempersiapkan diri menuju desa dambaan. Terlintas dalam pikiran jika semua desa di seluruh Indonesia melakukan tindakan seperti yang ada disini, aku yakin masih ada harapan untuk bangsa besar bernama Indonesia ini. Sepertinya jika aku meninggalkan desa dibulan juni nanti, aku pergi dengan penuh kesedihan. Sedih jika aku tak mendapati lagi kebahagiaan dan kekaguman seperti disini di desa yang mengajarkanku banyak cara untuk bertahan hidup bahagia, Adodo Molo JAwalnya melihat letaknya yang teramat jauh dari sebuah kota kabupaten dan merasakan susah dan mahalnya akses transportasi menuju kota kabupaten sejenak rasa pesimis muncul dalam benakku saat pertama kali menginjakkan kaki disini, Adodo Molo. Di desa yang terletak ribuan mil dari ibukota Indonesia, bahkan sekian hari dari kota kabupatennya sendiri  Maluku Tenggara Barat dan dengan segala keterbatasan memang sempat memunculkan keraguan dan pertanyaan klasik, mungkinkah capaian dambaan yang di idamkan akan terlampaui? Terlebih saat baru menginjakkan kaki di kota kabupaten aku mendapati ekspresi yang tidak wajar ketika ditanya bertugas dimana? Adodo Molo, Molumaru. Banyak kata yang terlontar dari mulai  jauh sekali, hati-hati lautnya seram, itu desa buangan pejabat bermasalah dsb.

Masa Tujuh bulan kehormatanku sebagai Pengajar Muda di desa Adodo Molo telah mampu meberikan jawabannya. Bahwa di desa yang pernah terluka dalam oleh konflik ini, semua prasangka dan rasa pesimis yang sempat muncul sama sekali belum terbuktikan. Dari kehidupanku, aku merasa teramat bahagia tinggal disini dengan keramahan dan toleransinya. Sebagai minoritas aku sama sekali tidak pernah merasakan perlakuan sebagai kaum minoritas, justru aku merasakan hal yang sebaliknya. Aku juga teramat bahagia dengan cara mereka bergotong royong membangun pendidikan yang lebih berkualitas di desa ujung utara deret kepulauan Tanimbar ini.

Orang tua mengangkut bambu – bambu dari kebun dan menantanya untuk di jadikan pagar sekolah hanya demi ingin melihat anaknya belajar nyaman. masyarakat desa dengan kepeduliannya memperbaiki perumahan guru yang sederhana beratapkan daun lontar hanya demi membuat guru-guru betah tinggal di desa dan dapat menjalankan tugasnya dengan optimal. Pusat kesehatan masyarakat berupaya dengan memberikan pelayanan kesehatan anak dengan harapan kesehatan mendukung proses pendidikan anak yang lebih baik. Pemerintah desa membuat kebijakan lapor diri untuk guru yang akan keluar dan kembali ke desa dengan harapan tak ada penyelewengan tugas.

Jika anda semua berkunjung ke desa ini anda juga akan mendengarkan suara lonceng tepat pukul 19.00 WIT. Mungkin awalnya akan bertanya, waktu ibadah kah? Atau tanda apa? Ya suara lonceng gereja itu adalah penanda jam belajar malam. Selepas lonceng berbunyi, Tabaus (pembawa pengumuman) menghimbau untuk semua masyarakat mematikan televisi dan alat-alat hiburannya sementara anak-anak memulai aktivitas belajarnya di rumah. LINMAS berkeliling di jalan untuk menegur anak usia sekolah yang berkeliaran, sementara guru – guru bertamu dari satu rumah ke rumah yang lain untuk memastikan anak-anak belajar di dalam rumah.

Di awal pagi tepat jam 06.00 WIT  lonceng juga berbunyi pertanda himbauan kepada semua anak-anak untuk segera bergegas mempersiapkan diri menuju sekolah dibarengi dengan lagu pengatar sekolah. Aparat desa kembali bekerja untuk pendidikan, Kepala desa menerima laporan dari guru siswa yang tidak masuk tanpa keterangan untuk kemudian mendatangi  rumah yang bersangkutan guna memastikan penyebab ketidak hadiran. Jam sekolah juga sangat diharamkan bagi siswa berada di luar lingkungan sekolah karena jika kedapatan di luar lingkungan sekolah saat jam sekolah tanpa membawa surat izin dari sekolah maka mereka harus menunggu di kantor desa sampai orang tua siswa bersangkutan menjemputnya dengan terlebih dahulu di berikan pembinaan.

Di sebuah desa yang penuh keterbatasan ini aku melihat bahwa kepedulian akan pendidikan mulai ditanamkan, menjadikan masalah pendidikan sebagai masalah bersama juga tengah di jalankan. Tiga kekuatan batu tungku (Desa, Gereja, dan sekolah) terus bergandeng tangan mempersiapkan diri menuju desa dambaan. Sepertinya jika aku meninggalkan desa dibulan juni nanti, aku pergi dengan penuh kesedihan. Sedih jika aku tak mendapati lagi kebahagiaan dan kekaguman seperti disini di desa yang mengajarkanku banyak cara untuk bertahan hidup bahagia, Adodo Molo. :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua