Juli 2014

Angga Oktra Pria Fambudi 6 Maret 2015

Hari ini aku akan bergerak menuju kampung penempatanku yakni Kampung Tarak yang terletak di Distrik Karas ,Fakfak Papua barat. Mobil biru yang disiapkan telah siap mengantar ku ke dermaga bersama beberapa kawan lainnya yang juga akan bergerak menuju penempatan mereka masing-masing. Sepanjang perjalanan aku selalu berfikir akan muka kampung Tarak yang akan menjadi tempat tinggalku selama satu tahun kedepan. Sesaat setelah itu tibalah aku di dermaga,disana terlihat banyak orang berlalu lalang mulai dari jawa, bugis, buton dan tentunya warga asli pulau ini, Papua. Semua orang berkata bahasa kampung sedangkan aku hanya bisa berkata” Wow , sepertinya saya harus belajar bahasa lagi”.

             Setelah aku mengangkat semua barang bawaanku, bertemulah aku dengan sesosok laki –laki tua yang biasa dipanggil Pak Tua. Pak Tua adalah orang yang akan mengantarku menuju kampung penempatanku hari itu. Jam menunjukkan pukul 3 sore hari, Kamipun berangkat ke kampung menggunakan perahu kecil yang disebut jonson.  Brum, brummm.. mesin perahu kecil berkapasitas 40 Pk itupun dinyalakan dan perjalananku ke kampung Tarak pun dimulai. Ini adalah perjalanan laut pertamaku menggunakan jonson(Perahu),dan rasanya memang benar – benar menyenangkan. Semilir angin menerpa rambut dan tubuh ini ditambah lagi percikan air yang masuk di tengah – tengah gelombang yang menerjang perahu kami dengan lembut. Meskipun terlihat sangat katrok namun perasaan itulah yag saya rasakan sebagai orang yang pertamakali naik johnson, senang sekali rasanya.

             Sepanjang perjalanan aku melihat bapa tua mengamatiku dari belakang, mungkin bapa tua berpikir “ anak ini gila yah” karena tak henti – hentinya aku berdiri, pindah tempat dari tengah ke depan dan tak lupa pastinya, berfoto – foto mengabadikan perjalanan kali ini. Sekitar 2.5 jam kami berlayar namun Kampung Tarak belum juga terlihat, termasuk lumayan lama juga perjalanan laut kami. Sesaat  aku sempat berfikir kalau aku akan di buang ditengah hutan belantara yang berada di sebelah kami, tapi ya sudahlah,kalau itumemang takdirnya saya toh siap –siap saja. Beberapa saat kemudian bapa tua memberitahukan kalau kita harus menginap di nusteri (sebuah gugusan pulau – pulau kecil tempat nelayan mencari teripang) karena hari sudah malam. Akupun mengiyakan saja karena memang aku tak mengerti sama sekali tentang lokasiku sekarang.

               Sesampainya di gugusan pulau nusteri Pak Tua mengarahkan jonson ke salah satu rumah kayu yang berada di sebuah pulau tak berpenghuni. Di rumah itu terlihat juga beberapa warga Kampung Tarak yang sedang menunggu malam untuk mencari teripang. Mereka terlihat sedang menyiapkan makanan untuk makan malam mereka pada malam itu. Sebagai seorang pendatang baru tentu saja aku sempat merasa sedikit sungkan ketika bergabung langsung dengan mereka disana, apalagi harus langsung menginap. Pikiran tersebut langsung hilang ketika aku mulai masuk kedalam. Didalam rumah kayu kecil tersebut terlihat para mama dan bapak - bapak langsung menyambutku dengan hangat. Mereka sudah menyiapkan tempat untuk kami semua dan kamipun duduk di dalam bangunan kayu berukuran 6 x 5 metertersebut.

                Didalam nusteri kamipun berbincang panjang dan sempat juga aku mendengarkan curhatan warga mengenai masalah pendidikan, kebijakan pemerintah dan kehidupan mereka dikampung. Obrolan malam sampai jam 02.00 pagi itupun mengantarku sampai aku mengantuk dan tak kuat lagi menahan beratnya kelopak mata ini. Ketika aku akan tertidur terlihat warga kampung Tarak sudah mulai bersiap mencari teripang dan ikan yang terdampar disaat laut sudah mulai meti (surut). Aku sangat ingin sekali ikut dengan mereka namun sepertinya aku harus menyimpan energi untuk esok harinya karena aku masih belum tahu akan seperti apa lagi perjalanan besok. 

               Pagi hari menjelang, kamipun melanjutkan perjalanan kami ke kampung. Para mama berkata bahwa perjalanan akan menghabiskan waktu 1 hari lagi. Ya sudahlah, sejauh dan selama apapun sekarang sudah tidak menjadi masalah lagi karena memang sudah tidak ada alternatif lain untuk kembali ke kota, intinya aku pasrah saja dan akan ikut kemanapun perahu johnson ini akan berlabuh. Di tengah perjalanan aku sempat bertanya pada para mama

               “ Mama, kampung Tarak itu yang mana?”

Dengan serentak mereka menjawab

              ” Masiiiihhh jauh Guru, tunggu setengah hari lagi baru akan kelihatan ujungnya”

              Lagi – lagi akupun hanya bisa menghela nafas panjang mendengar jawaban mereka. Sejam kemudian aku melihat ada beberapa kapal kayu kecil berhiaskan daun kelapa melintas hilir mudik dengan memainkan musik rebananya. Ini apa lagi, main rebana kok ditengah laut. Siapa juga yang menikah sampai ada pawai seheboh ini. Sesaat setelah itu aku baru sadar bahwa perahu – perahu kecil tersebut sengaja datang untuk menyambut kedatangan ku sebagai Pengajar Muda  yang akan bertugas di Kampung Tarak. Terkejut dan akupun langsung terdiam sambil menahan haru. Dari belakang tiba-tiba mama tua mengajakku untuk menari Sawat, salah satu tradisional di Papua ini.

               Melihat ajakan tersebut akupun ikut menari dari atas perahu dengan menahan perasaan sedikit takut karena keadaan perahu yang tiba – tiba oleng ke kanan dan kekiri karena aku dan beberapa orang lain yang ada di perahu tiba – tiba berdiri untuk menari. Saat kami menari Pak Tua selaku pengemudi kapal kami mengarahkan kapalnya untuk berjalan berputar pulau, sungguh indah Kampung Tarak ini. Di depan mataku aku melihat sebuah perkampungan kecil yang sangat kental sekali dengan kehidupan nelayan nya, ada kapal kecil, sampan, keramba, jaring ikan dan tak lupa ada anak – anak kecil yang bermainan di tepi pantai. Tetapi ada hal yang sedikit berbeda pada saat itu, yakni ada banyak warga yang berkumpul di dermaga dan melambaikan tangannya padaku.

               Setelah kami berputar untuk beberapa saat, jonson pun langsung berlabuh di dermaga kecil ditengah desa.  Disitu terlihat hampir semua warga desa telah menyambutku, ada kepala kampung, sekertaris desa, kepala dusun, tokoh agama, masyarakat kampung dan tak ketinggalan anak -anak. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di kampung, bapak kepala kampung sudah berdiri didepan ku dan langsung mengucapkan ucapan selamat datang. Setelah itu, aku diarahkan untuk menuju pintu masuk utama kampung melalui dermaga. Disitu aku melihat sesosok lelaki tua sedang menungguku sambil membawa sesuatu di nampan kecil, Lelaki tua itu adalah bapak imam, seorang tokoh agama di Kampung Tarak. Aku menghampiri bapak Imam dan kemudian bapak imam membacakan doa untukku dan setelah itu mengusapkan pasir di kepalaku. Usapan pasir tersebut adalah ucapan selamat datang secara adat yang artinya aku sudah diterima sebagai anak dikampung ini. Aku merasa sangat haru karena warga kampung ternyata sudah menyiapkan semua kejutan ini untukku termasuk dengan perkenalan awal menginap di gugusan pulau nusteri. Sungguh hal ini tak pernah kuduga sebelumnya karena mungkin  penyambutan ini hanya akan kudapatkan sekali seumur hidup dan hanya ada di Kampung Tarak ini.

             Setelah itu ternyata acara masih belum usai, di jalan setapak menuju kampung sudah berjajar rapi anak – anak SD mengenakan baju merah putih. Di suasana pantai yang ramai akan orang tersebut tiba - tiba perlahan terdengar lagu indonesia raya dinyanyikan. Mendengar lagu itu akupun sontak berhenti berjalan dan langsung ikut bernyanyi dengan mereka. Setelah bernyanyi akupun melanjutkan perjalananku, namun lagi – lagi ada kejutan yang sudah disiapkan oleh warga kampung untukku. Didepan mataku aku melihat ada sekelompok anak SD menggunakan kostum karung goni yang digunakan sebagai pengganti celana pendek sedangkan sekujur tubuh mereka diwarnai semacam abu sehingga mereka semua terlihat hitam dan garang.

            Anak – anak pintar tersebut tak hanya berdiri sambil pamer kostum mereka,  lagi – lagi mereka menyambutku dengan tarian tradisional mereka, tari Noi – Noi. Anak – anak tersebut menari dan mengajakku menirukan mereka sambil mengarak ku menuju ke sekolah. Akupun mengikuti mereka dengan senyum lebar yang timbul di wajahku sejak aku datang di kampung ini. Rasanya sangat haru dan senang mengetahui bahwa warga kampung ini telah menyambutku dengan sangat tulus dan hangat. Hal tersebut paling tidak menunjukkan bahwa mereka memang telah mempunyai hati yang terbuka untuk menerimaku disini. Setelah arakan keliling kampung dengan anak – anak selesai aku pun datang kerumah bapak Kepala Kampung yang nantinya akan menjadi bapakku selama dikampung ini. Di dalam rumah aku melihat banyak warga telah berkumpul dan sekali lagi mengucapkan selamat datang kepadaku dengan menyampaikan beberapa sambutan yang diwakili beberapa stakeholder setempat.

            Kesan menyenangkan dari warga kampung Tarak hari itu menjadi pembuka perjalananku di kampung ini. Sangat hangat, ramah dan bersahabat.  Aku berharap semoga perjalanku selama satu tahun di Tarak, tanah papua ini akan berjalan dengan lancar selancar tangkapan ikan para nelayan yang selalu mereka dapatkan  dari mata kail mereka  dan sehangat sambutan yang mereka berikan kepadaku sekarang. Aku hanya bisa berdoa dan berusaha agar kehadiranku di kampung ini memang menjadi sebuah jawaban dari doa orang – orang yang menginginkan suatu perubahan baru kearah yang lebih baik.


Cerita Lainnya

Lihat Semua