Haru Biru di Kelas IV

Hendy 25 September 2012

“Engku, lapar!”

“Sudah jo mau belajar! So lelah kita.”

“Pulang jo! So jam berapa ini.”

Itulah secercah cuplikan lontaran anak-anak menuntut “bebas” dari pelajaran matematika di kelas IV di Rabu (1/8). Saya merasa siswa sudah tidak hirau pada Engkunya. Selain kalimat-kalimat itu, suasana kelas sangat ricuh.

Bagaimana perasaan saya menerima lontaran kalimat tersebut? Sedikit saya gambaran, kalimat itu terlontar di awal dari dua jam pelajaran terakhir pada hari yang sangat terik. Saya memenuhi jam-jam sebelumnya dengan mengajar dan menertibkan. Tidak hanya satu kelas, saya harus mengisi beberapa kelas karena sekolah hanya terisi oleh saya dan seorang guru honor muda kala itu. Jadi, selain mengajar, saya harus menenangkan para siswa yang sudah sangat liar sekaligus manja kala tidak ada guru pegawai—yang rata-rata sangat ditakuti. Saat mengajar di kelas IV, saya sudah memulangkan anak kelas I-III.

Lontaran rangkaian kata tersebut saya terima dengan kondisi sangat lelah, lapar, dan haus. Wajar saja, sebutir nasi pun belum mendarat di lambung dari pagi serta setetes air pun belum melalui kerongkongan setiba di sekolah. Jadi, kalau ditanya, bagaimana perasaan saya menerima lontaran kalimat tersebut? Jujur, seluruh tubuh saya terlingkupi dengan emosi.Berbagai pilihan tindakan pada murid-murid lalu lalang di batok kepala saya yang kecil.

Pertama, saya bisa membentak dengan suara keras para siswa tersebut.

Ngoni semua punya otak tidak? Engku juga lelah, haus, dan lapar. Tahu tidak, engku dari tadi harus mengajar, menerangkan, dan menenangkan! Dasar anak ngak punya aturan. Bla bla bla”

Pilihan kedua, saya bisa menarik satu murid dan menghukumnya agar semua murid menjadi takut kepada saya.

Pilihan terakhir, saya bisa memakai hukuman favorit para guru. Saya bariskan semua anak kelas IV di lapangan sekolah. Setelah itu, saya akan mulai menampar satu per satu. Kemudian saya akan memaki-maki mereka sembari supaya menimbulkan efek jera.

Apa pilihan saya? Saya memilih menghentikan seluruh instruksi pelajaran Matematik. Saya duduk. Saya diam. Sepuluh menit pun berlalu dengan duduk dan diam. Kelas perlahan hening. Anak-anak tampak mulai takut akan kemarahan yang bakal meletus.

Dengan suara pelan, saya memanggil,

“Acel, sini!”

Acel maju ke depan.

“Tolong cari siapa pun punya kukis (kue) beli 9 buah. Beli juga minuman yang ngana suka 9 buah.” Saya berujar dengan suara yang sangat pelan sambil menyelipkan uang 30.000 rupiah ke kantongnya.

Acel pun pergi ke luar. Tampak anak-anak yang lain masih bingung namun semuanya enggan bertanya. Mereka pasti berpikir kalau engkunya sedang marah.

Sekitar 15 menit kemudian, Acel kembali membawa tas plastik. Saya kemudian membagi-bagikan kue dan minuman fruitamin satu orang satu. Setelah memastikan semua anak dapat, saya melihat anak-anak belum berani menyentuh suguhan tersebut.

“Engku tahu kalian manusia yang bisa lelah, lapar, dan haus. Tapi sekarangkan sedang pelajaran Matematika. Jadi, kalian semua harus tetap belajar Matematika. Ayo kenapa kalian harus belajar?” tanya saya dengan suara pelan

“Supaya berhasil meraih cita-cita.” Ovan menjawab

“Benar, Ovan. Jadi supaya kalian ngak lapar dan haus lagi, engku kasih kue dan minum buat kalian. Setelah makan dan minum, kita mulai belajar lagi ya.”

Anak-anak tidak menerima begitu saja. Serentak, anak-anak kelas itu menolak karena takut ketahuan dan kena hukum Ibu Kepala Sekolah.

Saya pun berujar, “Oke. Begini, ini jadi rahasia kelas ini ya! Jangan ada yang kasih tahu kelas lain dan Engku pun ngak akan cerita ke siapa-siapa. Bisa?”

“Bisa!” seru mereka bersama-sama.

Dengan terlihat ragu-ragu dan saling melirik satu sama lain, anak-anak kemudian mengambil kue dan minuman tersebut. Saat itu, saya hampir menangis karena melihat Aldi, Yanti, Elke, dan Echa menangis. Sampai sekarang, saya tidak tahu kenapa mereka menangis sembari makan dan minum.

Usai makan, saya pun memulai kembali pelajaran matematika. Bedanya, kali ini murid-murid sangat antusias belajar. Soal-soal yang saya berikan dapat dikerjakan oleh hampir semua murid.

Saya menutup kelas tersebut dengan pesan bahwa pada hari Senin depan—di mana Matematika kembali mengisi jam terakhir—agar masing-masing anak membawa makanan.

Singkat cerita, Senin depan pun tiba. Sejak awal jam pelajaran, anak-anak kelas IV sudah bolak-balik bertanya,

“Engku, torang so bawa bekal. Betul nanti boleh makan?”

Begitu saya masuk, Aldi langsung ijin maju ke depan untuk memimpin doa makan. Jujur, saya kaget dengan inisiatifnya waktu itu. Seusai berdoa, saya berujar,

Ngoni semua boleh makan. Tapi engku mau menerangkan dulu. Begitu engku selesai menerangkan dan kasih kerjaan ke ngoni semua, baru boleh makan. Begitu engku menerangkan lagi, tolong lepas lagi makanannya.”

“Baiklah, Engku,” begitulah terdengar jawaban serempak.

Begitu saya selesai memberikan instruksi, saya mempersilahkan,

“Silahkan ya kerjakan sesuai dengan urutan dan boleh sambil makan.”

“Memang!” sorak anak-anak.

Spontan kemudian, kala saya melewati bangku Echa—salah satu siswi yang paling pendiam, ia bertanya, “Engku, bawa bekal?”

Saya menggeleng.

“Makan jo punya Echa!” sambil mengangkat bekalnya kepada saya.

Yanti teman sebangkunya kemudian pun ikut, “Makan punya Yanti juga, Engku.”

Tak terasa, semua anak-anak kelas IV serempak mau membagi bekalnya pada si Engkunya.

“Biar jo kita pinjam piring dan leper (sendok) ke sebelah.” Seruak Aldi sembari berlari keluar.

Begitu Aldi masuk dengan sendok, piring, dan gelas,

“Aldi, sini! Napa ini! Napa ini!” seru anak-anak sambil menyedokkan beberapa sendok nasi dan membagikan potongan lauk bekalnya pada piring yang Aldi bawa.

“Aldi, sini! Sudah cukup untuk Engku! Cukup! Itu sudah terlalu banyak anak-anak” teriak saya menghentikan anak-anak yang terus menyedokkan nasi di piring yang Aldi bawa. Saya terharu menyaksikan piring saya penuh dengan beraneka warna nasi—ada yang bercampur aneka rupa kuah, sambal, sampai indomie. Aneka rupa masakan ikan serta setengah potong telur mata sapi (dari Ovan) memenuhi piring saya. Tak hanya itu, anak-anak pun berganti membagi-bagi minumannya dan memenuhi gelas saya. Rasa haru pun melingkupi saya.

Hari itu, saya dan anak-anak melanjutkan aktivitas kelas sesuai kesepakatan. Saya menerangkan, anak-anak diam dan tidak makan. Begitu saya memberikan instruksi untuk mengerjakan sesuatu, anak-anak mulai makan dan menjalankan instruksi. Saya dapat melihat anak-anak makan dan belajar dengan perasaan senang.


Cerita Lainnya

Lihat Semua