the library

Hendra Aripin 18 Februari 2011
Bagaimana anda bisa berharap seorang anak menjadi cerdas tidak mempunyai buku? Anak- anak SD Belang-Belang, sama seperti kebanyakan SD di Halmahera Selatan, memiliki anak-anak yang kesulitan membaca dan berhitung. Tentu saja mengajarkan anak membaca adalah hal yang sangat mungkin dilakukan, bahkan dengan cara paling konvensional sekalipun (cara mengeja). Masalahnya, mengenal huruf, bisa membaca kata, mampu mengerti arti sebuah kalimat, dan mampu menyusun arti kalimat adalah hal yang berbeda. Belum lagi membuat mereka suka membaca. Buku adalah gudang ilmu kan? Desa Belang-Belang tidak mendapat kiriman koran Malut Post (apalagi Kompas), tidak memiliki toko buku (di Labuha, ibukota kecamatan juga tidak ada) yang bisa diandalkan. Buku adalah barang langka di sini. But their luck was about to change. Di SD kami, terdapat 6 buah ruang kelas, tidak ada WC (rusak parah), tidak ada ruang guru, tidak ada perpustakaan, dan tidak ada ruang TU (dan tidak ada pegawainya juga :D). Berhubung guru sering tidak hadir dan perlunya memiliki ruang lain, lewat sebuah rapat dengan komite-guru, diadakan perubahan kelas menjadi 2 shift (pagi siang). Ruang yang kosong akan digunakan sebagai ruang perpustakaan, ruang guru/musholla, dan ruang galeri dan praktikum (semacam museum anak). Pada awalnya, buku yang tersedia hanya beberapa buku yang diberikan oleh tim Kuark dan beberapa atlas. Tapi, perpustakaan telah menjadi tempat favorit baru bagi mereka. But miracles do happen. Di kelas 6 (yang sekarang telah beralih fungsi menjadi ruang guru), terdapat 2 buah lemari yang selalu terkunci. Aku selalu penasaran ingin mengetahui isinya. Masalahnya, kuncinya dipegang oleh kepala sekolah lama yang sudah pindah 3 tahun lalu. Artinya, lemari itu bisa jadi telah terkunci selama 3 tahun. Kepala SD Belang-Belang baru dilantik. Sebelumnya, Ibu Maryam adalah Pejabat Sementara. Beliau masih berhalangan. Sudah minggu kedua semester 2. Aku memutuskan mengambil langkah. Aku meminta anak-anakku untuk meminjam linggis orang tuanya. Kubongkar lemari itu. 3 tahun lalu, sebuah program diadakan di sebagian daerah Halmahera Selatan. Namanya Save the Children. Kurang jelas apa yang mereka lakukan di sini. Melihat keadaan SD Belang-Belang ketika aku sampai, 3 tahun setelah kepergian mereka, rasanya aneh jika mereka tidak meninggalkan jejak apa-apa. Benar saja, 2 lemari seukuran lemari pakaian itu penuh terisi buku-buku. Banyak. Sangat banyak maksudku. Buku-buku cetakan penerbit terkenal, buku komik biologi, kimia, buku ensiklopedi, buku cerita bergambar bahasa inggris, novel anak, buku cara bercocok tanam, buku kumpulan pantun, buku kumpulan puisi, sampai buku cara mengolah makanan. Masalahnya, aku tidak menemukan buku pelajaran. Memang ada beberapa kit yang bisa dipakai, tapi tetap kurang bagiku. Memerlukan waktu hampir 1 minggu untuk merapikan buku-buku itu. Kebetulan, dalam waktu 2,5 minggu awal semester 2 saat itu, aku sedang mengajar sendirian. Ketika perpustakaan itu dibuka, animonya sungguh luar biasa. Beberapa di antara anak-anak hanya datang untuk bermain (which is fine, selama mereka tidak bermain bola – kaca), ada yang untuk menyanyi (aku menempelkan beberapa lirik lagu anak di sekeliling dinding perpustakaan), ada yang untuk membaca, dan ada yang untuk menggambar (aku menempelkan berbagai macam gambar yang kudapat dari dalam lemari itu). Tiap sore, ketika aku kembali ke sekolah untuk mengajar les, anak-anak sering kali mengikuti. Kadang-kadang mereka memanggilku ketika siang hari, aku sedang beristirahat, “Pak Guruuu...pinjam kunci...”Kalau sudah suka, belajar akan lebih mudah. :D

Cerita Lainnya

Lihat Semua