info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

si TOngki

Hendra Aripin 18 Februari 2011
15 Februari 2011, 12 Rabi’ul Awwal dikenal sebagai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Terlepas dari berbagai pro kontra mengenai perayaannya, di beberapa tempat terdapat tradisi perayaan hari tersebut. Di desaku juga, hanya saja perayaannya akan dilakukan tanggal 25 Februari 2011. Perayaan yang telat terjadi sehubungan dengan adanya acara di berbagai desa dan kecamatan yang sering kali mengundang para petinggi desa bersangkutan. Aku tidak akan berbicara mengenai perayaan Maulid di tempatku. Tulisan kali ini mengenai hari selanjutnya, hari Rabu, 16 Februari 2011. Pagi itu, aku sedang mengajar kelas 3 dan kelas 6.  Setelah memberikan sejumlah catatan mengenai sumber daya alam dan pemanfaatannya, aku beralih ke kelas 6 untuk menjelaskan mengenai konduktor dan isolator panas. Baru saja mulai bercerita, Rusdi kelas 3 (kelas 3,4,6 masing-masing punya 1 Rusdi) muncul di depan pintu kelas 6. Dia berbicara dengan bahasa daerah yang sangat cepat. Tak lama, anak-anak kelas 3 yang lain menyusul dan juga membicarakan hal yang sama. Aku bingung, tapi kulihat Rusdi sedang memegang sesuatu. Aku mendekat. Aku melihat seekor burung yang sangat cantik. Seekor burung berwarna hitam kecil dengan  paruh pemakan biji, mata bulat kecil yang lemas, dan sayap berwarna hijau. aku tidak tahu jenisnya apa(kebetulan aku bukan ahli taksonomi unggas :P). Aku tidak terkejut. Anak-anak ini adalah bocah petualang sejati. Sekedar pemberitahuan, anak-anak ini benar-benar “master” dalam menaklukkan binatang. No kidding. 2 minggu pertamaku di sekolah, aku dikejutkan oleh beberapa anak yang menangkap kelelawar dan mengikatnya di tali serta membawanya ke mana-mana. Aku meminta anak-anak itu melepas binatang malang itu dan sejujurnya, aku tidak tahu anak-anak itu melepaskan kelelawar itu atau tidak. Well, i’ve got my fears. Binatang kedua yang mereka taklukkan adalah ikan. Yup, dalam sebuah kesempatan, beberapa anak kelas 5-6 tiba-tiba melompat di dermaga dan menyelam. 10 menit kemudian. Tangan mereka memegang beberapa ikan kecil. Some, not one. I never got one before. Selanjutnya? Mereka menangkap salah satu binatang melata paling mengerikan di dunia. Binatang yang dalam kebudayaan tertentu dipuja dan dalam beberapa kepercayaan dipandang sebagai jelmaan setan. Terserah, yang penting bagiku ular adalah binatang yang mengerikan. Ular-ular di Belang-Belang memang ular-ular yang kecil. Semacam ular sawah. Tidak besar. Tetap mengerikan. Pertanyaan aneh muncul di kepalaku, bagaimana mungkin mereka menangkap burung yang terbang di udara. Sisi rasionalku mengambil alih dengan cepat. Itulah mengapa burung itu terlihat tidak seimbang. Salah satu sayapnya nampak patah. Dia jatuh. Tiba-tiba, Rusdi kelas 6 berteriak dari belakang. “Pak, torang goreng saja! Enak!” Muka anak kelas 3 seperti tidak setuju. Oke, aku memutuskan meninggalkan kelas 6 sebentar dan pergi ke kelas 3. “Di mana ngana menemukan burung ini?”tanya. Ternyata burung ini jatuh di depan pintu kelas 3. Rupanya, dia menabrak ventilasi yang terletak di atas jendela. Si burung memang nampak pusing. (atau memang semua burung selalu kelihatan pusing?) Muncul ide di kepalaku. Kelihatannya, oke juga jika anak kelas 3 mempunyai satu binatang piaraan bersama. Itu akan meningkatkan sisi afektif anak-anak ini. Kutanya mereka. Responsnya bagus. “Tapi ngana semua mesti kasih dia makang dan minum tiap hari. Sekarang, torang mesti cari cara menyembuhkan lukanya. Kalau sudah sembuh, kita lepas dia ke tempatnya. Di langit sana.” Satu anak ingin mengikat burung itu dengan tali. Kubilang jangan. “Memangnya ngana suka kalau kaki ngana diikat?” sembari bercanda. Anak itu, Sultia, tertawa. Kukatakan kepada anak-anak itu, aku tidak tahu cara menyembuhkan sayap-sayap patah. Beberapa anak memegang sayap burung itu yang patah. Beberapa mengelus kepalanya. Aku melihat sebuah kesempatan emas mengajar IPA. Anak-anak itu sedang mengobservasi burung itu. Kukatakan kepada mereka, “Lihat paruhnya, burung ini makan biji-bijian. Ada yang tahu burung apa ini?” “Burung kombo pak.” Jawab beberapa anak. Sungguh, penamaan beberapa binatang di sini kadang-kadang mengagetkanku. Tuturaga adalah nama lain penyu. Beberapa kadal yang terlihat agak besar disebut komodo. “Kita butuh nama. Bagaimana kalau kita beri burung itu nama? Ada yang punya usul?” Semua diam. Aku mencoba bertanya ke personal tiap anak. “Ajan, Isma, Rival.” Well, mereka malah menyebutkan nama temannya. “Si Lucu!” kata seorang anak. Aku mau bilang setuju. Tapi malah muncul perdebatan. Ada anak yang bilang, “Kita mesti cek dulu cowok atau cewek!”. Riweuh. Hmm. Aku mencoba memberi usul. Siapa tahu mereka tergerak untuk berhenti berdebat dan memulai kembali brainstorming nama. “Si Tongki!” (aku masih tidak mengerti kenapa nama itu yang keluar dari mulutku). Aku berharap mereka bilang tidak. Mereka bilang iya. And that’s how the bird got its name. Aku kembali ke kelas 6. Aku minta anak kelas 3 menjaga Tongki. Kira-kira 10 menit kemudian, mereka kembali. Beberapa di antara mereka berwajah murung. “Si Tongki so mati”, kata Rusdi kelas 3. “Torang goreng saja!”suara Rusdi kelas 6 muncul lagi. “Hukumnya haram makan bangkai Rusdi!” kataku dengan nada sedikit kesal. Aku mengajak anak-anak kelas 3 untuk mengubur Tongki di luar lapangan sekolah. Aku meminjam peda (parang) seorang ibu yang penasaran melihat kerumunan anak-anak berseragam sekolah. “Katakan selamat tinggal kepada Tongki!”kataku pada mereka. Daah Tongki!” sambil melihat kuburan Tongki. Seorang anak kelas 3, Isma tiba-tiba berkata, “Pak, ada burung terbang di langit. Torang jadikan peliharaan saja.” Sekitar 2 menit yang lalu, anak ini bermuka sedih. Sekejap, ia ingin punya peliharaan baru. Anak-anak ternyata cepat lupa. Aku ingin menasehati mereka untuk tidak menangkap binatang untuk keperluan bermain. Tapi, aku pikir mereka baru saja kehilangan piaraan pertama mereka. “Tangkap saja kalau ngana bisa!” kataku sambil nyengir. Sekitar 1 jam setelah anak kelas 3 pulang dan aku sedang mengajar shift keduaku di kelas 4, Isma kembali ke kelas. “Pak Guru, itu su ada anjing dekat sana, nanti dimakang Tongki”katanya. Oke, mungkin anak-anak tidak semudah itu melupakan sesuatu. J

Cerita Lainnya

Lihat Semua