info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

terima kasih dok

Hendra Aripin 18 Februari 2011
Aku mendapat kejutan pada hari Minggu. Seorang temanku, dokter PTT  lulusan UI,angkatan 2004, Adit, berkunjung ke Belang-Belang. Kebetulan, ia juga merupakan kenalan Pak Azhar, guru yang paling rajin di Sdku. Adit bertemu dengan Pak Azhar di Labuha dan berhubung Senin itu Adit mendapat giliran jaga RSUD Labuha malam, ia memutuskan untuk sekedar berkunjung ke desaku. Aku mengobrol sampai malam dengannya. Terkadang menyenangkan mengobrolkan sesuatu di luar bidang mengajar. Tiba-tiba di kepalaku terlintas sebuah gagasan. Kenapa aku tidak mengajaknya untuk menjadi guru tamu di SD Belang-Belang. Jarang sekali ada anak yang ingin menjadi dokter di sini. Dari gambar cita-cita yang mereka buat beberapa waktu lalu, hanya 2 orang dari 16 orang kelas 6 yang ingin menjadi dokter. Dari kelas  1,2,3,4,5? Seingatku tidak ada. Mungkin mereka belum tahu dokter itu apa. Susah menjelaskan sebuah profesi jika anda bukan orang yang ahli. Adit pastinya lebih tahu soal kedokteran. Kedatangan Adit membuat anak-anak diam. Mereka terlihat gugup. Kelas 6 mendapat giliran pertama. Adit mulai bercerita mengenai profesinya. “Kalau ngoni sakit, yang menyuntik itu dokter. Jadi kalau ngoni ingin suntik-suntik orang, jadilah dokter.”kata Adit. Buatku terdengar aneh, tapi anak-anak terlihat tertarik. “Kalau jadi dokter, ngoni bisa menolong orang yang sedang sakit,” kurang lebih begitu katanya. “Dokter itu perlu belajar keras. Tapi ngoni pasti bisa,” kata Adit. Kelas 6 memperhatikan presentasi Adit dengan muka bingung. Tertarik, tapi clueless. Saatnya sesi tanya jawab, pikirku. Sayangnya mereka tidak bertanya kepada Adit. Wajar, mereka memang tidak begitu mudah terbuka dengan orang yang baru mereka temui. Tapi, paling tidak, mereka jadi tahu mengenai apa itu dokter. Setelah mengucapkan salam perpisahan, Adit keluar dari kelas menuju perpustakaan, menunggu giliran untuk memberi presentasi lagi ke kelas 4 dan 5 di siang hari. Aku sedikit mereview presentasi singkat Adit mengenai perlunya mereka belajar keras untuk menjadi dokter. “Tadi itu dokter Adit. Biar kalian terbayang, kalau beliau sudah jadi dokter spesialis, penghasilannya sungguh wauw,” tambahku. Kelihatannya, sedikit motivasi ekstrinsik tidak ada salahnya. Terima kasih kepada  Dr. Adit yang telah memberikan gambaran mengenai profesi dokter kepada anak-anak Sdku. Siapa tahu, beberapa belas tahun lagi, salah seorang dari anak-anak ini akan kembali sebagai lulusan UI, dan menceritakan apa itu dokter kepada adik-adik mereka. Amin.

Cerita Lainnya

Lihat Semua