Lukisan Pagi
Hendra Aripin 21 Juli 2011
Baru-baru ini, aku mengambil cuti liburan sekolah. Cutiku berjalan menyenangkan karena bisa bertemu dengan orang-orang yang penting bagiku. But the thing is, I miss my kids too. Mereka di Belang-Belang lagi ngapain ya? Pertanyaan itu sering bergulir di kepalaku. Aku jadi memikirkan apa jadinya 4 bulan lagi? Aku tahu aku mesti berbuat yang terbaik, 4 bulan sisa ini adalah masa-masa untuk menanamkan rasa yang indah bagi diriku dan bagi anak-anakku. Membekali diri mereka tidak hanya dengan sekedar ilmu, tetapi juga dengan persiapan mental dan moralitas untuk menjadi manusia yang berguna.
Akhirnya aku sampai juga di kota Labuha. 40 menit lagi menuju desaku di Belang-Belang menggunakan perahu ketinting. Subuh-subuh, jam setengah 6 pagi, aku sudah bersiap di pasar ikan, mencari ketinting ojek yang biasa mengantarkan sagu dari desa Indomut, desa tetanggaku. Karena langit masih gelap, Pak Baim, warga Indomut yang membawa ketinting itu memutuskan untuk menunggu terlebih dahulu. Sekitar jam 6 kurang, ketinting akhirnya siap berangkat. Aku adalah satu-satunya penumpang. Telah lama kutunggu waktu ini. Memang sih hatiku tidak berdebar kencang, tapi aku tahu aku gugup. Gugup sekali. Di perjalanan, di atas ketinting, perlahan matahari berpendar, menghapus gelap malam. Betul-betul seperti lukisan. Indah sekali. Aku jadi teringat sebuah lagu yang pernah dibawakan Tohpati dan Shakila, Lukisan Pagi.
bulan terangi malam
diam seribu bahasa
menanti sepercik harapan dalam khayalan
fajar yang berkilau
datang membuka hari
sinarmu memberi harapan yang bersahaja
lihatlah warna
ada cahaya
menjadi lukisan pagi
bukalah renda
agar cahaya
sinari dalamnya arti kehidupan
Setiap anak adalah fajar, mereka memberi harapan dan arti dalam kehidupan.Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda