Menunggu
Hendra Aripin 21 Juli 2011
Terkadang keberadaan momen yang berharga untuk kita muncul karena sebuah peristiwa di mana kita tidak terlibat di dalamnya.Aku baru saja sampai di Belang-Belang. Aku sampai jam 6.30 pagi. Banyak warga di desaku yang belum bangun. Termasuk anak-anakku. Sekitar jam 7, anak-anak mulai menyadari aku sudah sampai di desa. Beberapa di antara mereka ada yang melihat dari jendela, beberapa berkeliaran di depan pintu, ada juga beberapa yang nekat masuk rumah dan cengar-cengir dari jauh. Ingin sekali kupanggil mereka, tapi masih ada rasa gengsi. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke sekolah. Sedikit lebih siang daripada biasanya. Hari itu memang merupakan hari pertama sekolah kembali dibuka. Karena masih merupakan hari pertama, aku dan Pak Azhar memutuskan perlu dilakukan kerja bakti untuk membersihkan sekolah terlebih dahulu. Anak-anak tidak memakai pakaian sekolah. Mereka datang dan mulai bersih-bersih. Beberapa menggunakan parang untuk menebas rumput, beberapa menyapu lalu mengepel lantai, ada juga yang merapikan buku di perpustakaan. Sebelum ikut membantu, sebelumnya aku bersilahturahim dengan Pak Azhar dan Pak Muhammad, 2 guru yang hadir hari itu. Ketika sedang asyik bertukar cerita, aku perhatikan anak-anakku melihat dari kejauhan. Sambil senyum-senyum dan beberapa terlihat tersipu-sipu. Kuputuskan untuk mendatangi mereka. Aku pikir aku mesti jujur pada mereka. Jadi aku katakan pada mereka, “Pak guru kangen sekali dengan ngoni.” Mereka malu-malu tapi senyum mereka tetap tidak bisa disembunyikan. Gengsi mungkin, tertular oleh gurunya. Tiba-tiba, salah seorang muridku, Anti, yang baru saja naik ke kelas 4 bercerita.
“Pak Hendra, torang pikir Pak datang kemaren sore. Torang dengar Pak Dani so datang ke Indomut kemarin. Tong pikir Pak bakal datang. Jadi tong tunggu dengan lainnya.”
Aku diam. Hatiku senang, tapi kasihan juga ke mereka. Sebenarnya, aku tidak balik ke Belang-Belang lebih cepat karena laptopku tertahan di Ternate, dipinjam kawan.
Aku dekati mereka. Mereka menjauh karena malu, tapi senyum indah mereka tetap melebar.
“Pak juga so ingin pulang ke sini dari kemarin.”
Pulangnya, seorang anak kelas 1, Takir menghampiriku.
“Ta kemarin tunggu Pak di jembatan tara muncul-muncul. Tong tunggu sampai sore pak.” Lalu ia tersenyum. Hebat ya anak-anak, mereka menunggu lama dan mereka masih bisa tersenyum tulus.
Teman-temannya yang lain juga ikut bersahutan. Membuat mereka menunggu tidaklah menyenangkan, tapi mengetahui mereka menunggu dirimu rasanya hangat.
Rasanya hangat. :)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda