Lawan Bapak Kalau Berani! vs Patahkan Saja Rotannya!

Hendra Aripin 7 Januari 2011
Anak-anak itu berlarian. Tiba-tiba terdengar tangisan yang keras. Sekali lagi, seperti biasa, seorang anak menangis karena dipukul temannya. Kali ini, giliran Sri yang menangis. Sri, anak perempuan kelas IV, badannya memang kecil sekali. Yang memukulnya adalah seorang anak lelaki bernama Jihan. Jihan memang sering memukul temannya, tetapi anak ini sungguh penurut di depan saya. Saya berusaha menenangkan Sri dan sambil kemudian berusaha berbicara dengan Jihan. “Jihan, kamu senang kalau dipukul?”, tanyaku. “Tidak pak”, Jihan menjawab dengan muka ketakutan, takut saya memukulnya. “Lalu kenapa kamu memukul temanmu? Kamu kan tahu itu sakit toh?”, jawabku. “...”,Jihan diam. “Dengarkan bapak, Jihan, Bapak tara akan pukul kamu, yang lain juga dengar. Bapak tara akan pukul satupun dari kalian. Tetapi Bapak betul-betul sedih kalau kalian saling memukul. Sesama teman harus...”,saya sengaja membiarkan mereka melanjutkan. “rukun pak!”, suara beberapa anak berteriak serentak. “Oke, Jihan, minta maaf. Kalau ga mau minta maaf, kamu bukan pemberani”, kataku padanya. Jihan minta maaf ke Sri. Masalah selesai, paling tidak untuk saat ini. Saya melanjutkan pelajaran IPA hari ini. Ujian tinggal 1 bulan lagi, dan mereka masih di bab 1 mengenai rangka tulang (mereka tidak memiliki guru tetap  waktu hampir ½ tahun terakhir dan guru yang kebetulan hadir hanya memberikan mereka soal latihan penjumlahan tiap hari). Terdengar ribut-ribut di kelas sebelah. Kelas 3, gurunya memang jarang sekali hadir. Ada anak yang menangis, Ina. Gadis kecil ini dipukul Udi. Saya mendekati Udi dan tiba-tiba terlintas pendekatan lain, sebuah metode yang diceritakan seorang teman sesama Pengajar Muda. “Di, kamu tuh beraninya mukul yang lebih kecil ya. Kalau berani lawan yang lebih kuat dong. Kalau berani, lawan bapak!”, saya sambil memperagakan gaya bertinju yang kaku. Semua anak tertawa, Udi menggaruk-garuk kepalanya. Saya dekati Udi, saya minta padanya untuk minta maaf. Dia awalnya menolak, tapi setelah saya memancing teman-temannya untuk memberinya semangat untuk meminta maaf, dia meminta maaf. Saya katakan kepada mereka, sambil tertawa, “Bapak tidak bisa sering mengajar di sini. Bapak kan wali kelas 4 dan 6. Makanya, kalau ada yang ribut dan berkelahi, lebih baik melawan bapak saja. Hayoo, jangan jadi pengecut, beraninya memukul yang lebih kecil atau sama. Harusnya, lawan bapak saja.” “Sayaaa, pak!” (saya = iya) Saya sekarang menuju kelas 6. Sudah beberapa hari terakhir, saya mengajar kelas 4 dan kelas 6 secara simultan. Hasilnya tidak optimal, tapi kedua kelas ini memang benar-benar tidak ada guru sama sekali. Mulai semester depan, memang butuh perubahan. Kelas 6 juga ternyata sedang ada. Sekarang anak kelas 6, Rugaya, yang menangis. Dia dipukul oleh Fikar dengan rotan. Kali ini, saya sebenarnya cukup kelas. Usia Fikar sudah menginjak 14 tahun, dan sebenarnya dia adalah ketua kelas 6. Saya dekati dia, dan saya ambil rotannya. Saya patahkan rotannya dengan kaki saya. “Satu orang, ke depan dan kembalikan rotan ini!” Saya bernada agak keras. “Tarabisa pak,” suara beberapa anak perempuan pelan. “Fikar, kamu bisa?”tanyaku. “Tarabisa pak..”jawabnya pelan. Saya mengulangi pertanyaan itu tiga kali. Jawaban mereka makin lama makin nyaring, kecuali Fikar. “Fikar, dan kelas 6 yang lain. Dengarkan bapak. Rotan ini kalau sudah patah, tidak bisa kembali. Sama juga dengan hati kalian. Coba, Rugaya, Mila, Ratna, kalian kesal kalau dipukul?”tanyaku. “Kesal..” jawab mereka serempak. “Sakit hati?” tanyaku lagi. “Sayaaa pak!” kata mereka. “Kelas 6, dengarkan Bapak. Kalau kalian memukul teman kalian, mereka akan kesakitan, sering kali mereka menangis. Sering juga, mereka tarabisa maafkan kalian. Sakit hatinya. Lama-lama mereka tarakan maafkan kalian. Seperti rotan, hati yang sudah rusak, tarabisa kembali. Ingat itu!”kataku. Saya meminta Fikar minta maaf setelah itu. Hari-hari ke depan, saya masih menemukan perilaku saling memukul. Saya tidak bisa marah ke anak-anak ini. Setiap hari, mereka memang terbiasa mendapat perlakuan “keras” dari pihak orang tua dan guru. Otak anak kecil seperti spons, dan mungkin itulah sebabnya, mereka hanya menyerap apa yang mereka lihat dan rasakan. How can you blame them? Masih ada 11 bulan. Saya berdoa agar waktunya cukup dan yang pasti, saya tidak akan menyerah.

Cerita Lainnya

Lihat Semua