Batas Kesabaran ( Rusdi 1 )

Hendra Aripin 30 Januari 2011
Walaupun seharusnya sabar itu tidak ada batasnya, hari itu, aku mencapai batasku. Sejak awal semester 2, aku mengajar enam kelas. Dengan berbagai keterbatasan, aku membagi kelas yang ada menjadi 2 shift, kelas 1,3,6 shift 1, kelas 2,4,5 shift 2. Kenapa hal tersebut bisa terjadi, it’s another story to be told. Ketika kelas menjadi ribut dan terjadi banyak hambatan atau mungkin beberapa siswa saling memukul lalu ada siswa yang menangis, adalah hal yang normal jika seorang guru menjadi kesal, marah, atau mungkin depresi. Well, seminggu pertama semester 1, i’ve got six classes doing those. Bayangkan sebuah es krim, yang pada bagian puncaknya, ada ceri. Rusdi adalah ceri itu. Kelas 6, cukup cerdas, rangking 3 di kelas. Rusdi adalah anak dengan kemampuan menghafal yang sangat baik, cukup berani, dan tangguh. There’s always a but. Tapi sayang sekali, Rusdi sering kali mengolok temannya yang tidak mampu (memanggil bodoh) dan cukup sering memukul anak perempuan. Beberapa minggu awal kehadiranku di SD ini, hal ini bisa ditekan dengan penggunaan positive reinforcement (aku menggunakan sistem bintang kelas). Namun, sejak aku harus memegang kelas-kelas secara bersamaan, aku kesulitan untuk melakukan itu. Lagipula, yang namanya motivasi ekstrinsik tidak akan bertahan selama motivasi intriksik. Hari itu, di kelas 1 ada yang menangis, anak kelas 3 banyak yang tidak mengerjakan seatwork yang saya berikan, dan aku sedang mengajar di kelas 6. I’m distracted, aku harus menenangkan kelas 1 dulu. Aku kemudian menuju kelas 1. “Bapak bisa percaya dengan ngoni toh? Bicara boleh tapi taraboleh ribut ya..”, pesanku ke mereka. “Saya..”, kata mereka serempak. (10 menit kemudian) Keadaan kelas 6 lepas kontrol dan aku terpaksa kembali ke sana. Kelas 6 dalam keadaan kacau balau. Aku diam di depan pintu kelas menahan marah. Tiba-tiba Rusdi meninju perempuan di hidungnya. Aku marah dan sebagian besar penyebab kemarahanku adalah ketidakberdayaanku mengajar 6 kelas bersamaan. Selain itu, Rusdi memukul Fahria di depan mataku. “Rusdi, ngana ingin berhenti dari sekolah ini? Bapak sudah peringatkan ngana berkali-kali, kalau ngana pukul orang, nanti ngana akan dibenci orang. Ngana tetap saja tidak mau berhenti. Kalau ngana memang suka memukul orang, pukul yang lebih kuat. Maju, pukul bapak!” kataku. “Takut toh? Sekali lagi ngana pukul orang, bapak tidak akan segan-segan mengeluarkan kamu dari sekolah. Bapak terpaksa melakukan ini karena bapak tidak mau anak lain tarabisa belajar karena ngana. Lebih baik ngana yang keluar daripada seluruh kelas terganggu. Biar ngana pintar, memukul tetap salah. Ngana tahu toh ada 6 kelas dan hanya ada 1 guru! 120 orang dan bapak mesti bisa urus semuanya, tidak bisa bapak hanya ngurus ngana!”suaraku agak keras. “Yang lain, kalau misalnya ada di antara ngana yang pukul orang, bapak akan tegas. Kalau ngana tertawa, nakal sedikit, tidak bisa mengerti pelajaran, ngana tahu bapak tarapernah marah. Tapi kalau ngana pukul orang, hina orang, bapak tarakan biarkan.” Aku melanjutkan pelajaran. Keadaan kelas memang menjadi lebih diam. Rasa kesalku belum hilang tapi kali ini bercampur aduk dengan perasaan bersalah karena sedikit banyak, aku melampiaskan kekesalanku terhadap sekolah kepada Rusdi. Aku ingin minta maaf, tapi harga diriku mengatakan anak ini memang terlalu. Besoknya, Rusdi memang lebih diam dari biasanya. Siapa sih yang tidak takut dikeluarkan dari sekolah? (bersambung)

Cerita Lainnya

Lihat Semua