KONSEP

Hendra Aripin 16 April 2011
Guru seringkali melihat siswa sebagai bejana kosong yang siap dicekoki dengan informasi. Tetapi, terkadang, anak-anak ini sebenarnya sudah memiliki pemahaman praktis terhadap informasi tersebut, hanya masalah pelabelan saja. Mungkin juga pemaknaan yang anak-anak ini miliki jauh lebih baik dari yang kita miliki, mereka cuma butuh sedikit rangsangan untuk mendefinisikan dan mengumpulkan makna tersebut menjadi satu kesatuan pemahaman. Ketika mengajarkan pelajaran IPS, mengenai kehidupan ekonomi, aku kembali menemukan keadaan seperti ini. Aku menghadapi anak-anak kelas 4 yang merupakan pelaku ekonomi sejati. Tidak sulit mengajarkan pelajaran ini ke mereka karena banyak dari anak-anak ini yang pergi ke kebun (untuk berkebun tentunya) dan menangkap ikan di laut. Konsep produksi begitu konkrit, kurang embel-embel “produksi” saja. Konsep distribusi juga tidak begitu sulit, mengingat hampir setiap hari, orang tua mereka (baik yang berkebun atau menjadi nelayan), pergi ke pasar kota untuk menjual kepada pengepul atau terkadang menjual sendiri. Beberapa dari anak ini malah ikut berjualan di pasar dan lainnya ada yang berjualan makanan di desa. Konsumsi juga sama. Konsep barang jasa juga mudah mereka ikuti, karena tidak seperti kebanyakan anak-anak di perkotaan, anak-anak ini benar-benar tahu, melihat, dan bahkan terlibat pekerjaan orang tua mereka, mereka tahu apa itu konsep barang. Konsep jasa juga mereka lihat jelas dari keberadaan guru dan bidan (mantri) di desa. Ketika aku menjelaskan konsep kebutuhan primer, sekunder, tersier, kelihatannya aku juga belum menghadapi hambatan yang besar. Mungkin ini dikarenakan anak-anak ini tidak perlu berhadapan dengan kesenjangan ekonomi seperti yang dialami di kota-kota besar. Barang sekunder dan tersier dikelompokkan berbeda pada anak dari kelas ekonomi yang berbeda pula. Di Belang-Belang tidak. Aku jadi berpikir. Anak-anak desaku mendapat asupan protein kadar tinggi dari ikan segar, sayur-rempah yang dulu jadi incaran Portugis, Spanyol, Belanda, dan mereka dibesarkan oleh alam. Mereka terlibat kegiatan ekonomi sejak dini, mereka melihat alam langsung, tidak perlu buku. Mereka dekat dengan konsep pengetahuan yang dianggap penting oleh komunitas dunia saat ini. Bahasa? Terlepas dari penggunaan bahasa Indonesia yang kacau balau, mereka masih bisa bicara dan berkomunikasi kan? Mereka hanya punya bahasa yang berbeda. Artinya sih sama. Matematika? Well, butuh kerja yang cukup keras untuk hal yang satu ini. Tapi, kupikir di semua tempat di manapun di dunia, matematika memang momok. Mungkin perlu pendekatan yang berbeda saja, kata teman-temanku. Intinya, anak-anak ini berpotensi menjadi hebat. Mereka perlu bimbingan yang tepat dan telaten. Dan tentu saja, mereka butuh kesempatan. Jangan-jangan, dari merekalah muncul generasi penyelamat bangsa kita yang sedang terpuruk ini. Siapa tahu 

Cerita Lainnya

Lihat Semua