Kalau Saja Aku Tahu (Rusdi 2)

Hendra Aripin 30 Januari 2011
Hari ini Rusdi memang lebih diam dari biasanya. Dia memang masih berbincang-bincang kecil dengan temannya, tapi memang tidak seperti baisanya. Sampai kelas selesai, dia tidak menjawab pertanyaan yang kuberikan di kelas. Kemarin malam, setelah menegaskan ancaman untuk mengeluarkan dari sekolah bagi anak yang terlalu sering memukul temannya, aku menelepon seorang rekan PM yang merupakan lulusan psikologi UI. Dia mengerti kenapa aku marah dan mencoba menenangkanku. Aku menceritakan semuanya ke dia. Dia diam dan kemudian mengatakan sesuatu yang menurutku terdengar konyol. (malam sebelumnya) “Siapa tahu dia selalu memukul wanita karena ibunya selalu memukul dia?” kata rekanku itu. Aku kesal dan membela diriku, “well, it’s his business. Ini sekolah dan urusanku bukan cuma dia.” “Just talk to him, face to face. Okay?” kata rekanku yang merupakan seorang wanita yang independen dan sebenarnya merupakan wanita yang sangat membela kaumnya. “I won’t and I don’t have to. Let’s talk about other things.” Percakapan kami mengenai hal itu selesai di situ. (kembali ke hari itu) Keadaan dirinya tidak normal. Semua anak tidak sama. Aku sendiri bukan merupakan orang yang paling penurut di dunia. Aku harus bicara dengannya. “Rusdi, bapak ingin bicara denganmu nanti jam 2, oke?” Siangnya, aku melihat dia menungguku depan kelas. Kami berdua lalu masuk ke ruang perpustakaan kami (yang baru saja alih fungsi dari sebelumnya adalah ruang kelas). “Rusdi, bapak ingin tanya, ngana biasanya setelah pulang sekolah ngapain?” “makan lalu main pak” “Ketemu ibumu?” “Tidak” “Kamu sering ketemu ibu bapakmu?” “Tidak pak” “Berkebun?” “Saya” “Kamu benci teman-temanmu?” “Tidak pak” “Kenapa kamu selalu memukul mereka?’ (Rusdi diam) “Kamu suka dipukul?” “Tidak pak.” “Kamu marah kalau bapak memukul kalian di kelas” “Tidak pak.” “Ngana yakin?” (Dia diam kembali) “Tidak, Rusdi. Bapak tidak akan memukul kalian. Bapak percaya kalau memukul hanya menimbulkan kebencian. Kamu dulu diajar Bapak X toh? Bapak tahu kalau kalian sering dipukul olehnya. Kamu mau dia ajar kamu lagi dan bapak berhenti mengajar kalian?” “Taramau pak” “Kalian tidak suka dengan dia toh? Dan itulah yang mulai dirasakan teman-teman perempuanmu sama kamu. Lihat kertas ini. (aku merobek kertas yang aku pegang). Mau pakai lem atau apapun, kertas ini tarabisa kembali ke semula. Mereka tetap akan rusak selamanya. Apalagi, anak-anak perempuan yang kamu pukul sudah ada yang 14-15 tahun. Bayangkan rasanya kamu dipukul oleh anak yang lebih kecil. Tidak enak toh? Dipukul saja sudah tidak enak, apalagi dipukul oleh yang lebih muda.” “Saya pak.” (menunduk) “Tegakkan kepalamu. Rusdi, kamu pernah dipukul orangtuamu?” “Sering pak. Oleh ibu. Ibu sering mukul kita.” (Aku terdiam sebentar) “Rusdi, dengar bapak. Memukul karena alasan apapun tidak bisa dibenarkan. Rusdi sangat pintar, dan dengan kerja keras, bapak percaya, Rusdi bisa jadi dokter, pengacara, atau bahkan presiden. Ngana perlu belajar menghargai orang lain. Salaman dengan bapak sebentar, kamu janji tarakan pukul orang lagi?” “Saya pak. Kita janji.” (Aku menyodorkan tanganku. Kami bersalaman.) “Ini adalah gentleman agreement. Bahasa Indonesianya persetujuan laki-laki. Kamu tidak akan pukul perempuan lagi, oke?” “Oke pak.” Setelah itu, aku memulangkan dia. Rekanku benar. Mungkin karena ia memang kurang mendapat perhatian di rumahnya sehingga ia mencari perhatian di sekolah dengan berteriak-teriak. Mungkin karena ia sering dimarahi dan dipukuli ibunya dia menjadi seorang anak yang begitu anti bila ada anak perempuan yang menyuruhnya untuk diam. Aku teringat sepenggal lagu Marvin Gaye, what’s going on “Don’t punish me with brutality. Talk to me, so you can see..ooh, what’s going on..”

Cerita Lainnya

Lihat Semua