Bahasa Tinggi
Hendra Aripin 18 Februari 2011
Bahasa tinggi. Itulah cara mereka menyebut Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Anak-anakku di sini terbiasa bahasa pasar, bahasa Indonesia yang dipengaruhi dialek khas orang Maluku Utara, ditambah perpaduan kosa kata bahasa Tobelo, bahasa Makian, dan bahasa Ternate. Sebenarnya, aku tidak bermasalah dengan penggunaan bahasa pasar. Aku pikir, bahasa tersebut adalah masalah adat mereka. Masalahnya, ujian mereka akan menggunakan bahasa tinggi dan masalahnya, akan sulit bagi anak-anak ini bergaul dengan orang di luar Halmahera Selatan tanpa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pelan-pelan, aku mencoba membuat perubahan. Tidak cukup hanya dengan memberikan kosa kata yang benar. Hari Kamis menjadi hari berbahasa Indonesia. Bagi yang lupa menggunakan bahasa Indonesia yang baik benar (tidak harus dengan tata bahasa yang sempurna berhubung mereka belum mempelajari S-P-O-K), akan mendapat “kesempatan” untuk berdansa diiringi lagu Rasa Sayange versi Lisa Ono.
Anak-anak menganggap hari berbahasa Indonesia adalah sebuah permainan yang seru. Mereka berjuang berbahasa dengan benar. Tapi memang tidak semudah itu melakukan perubahan. Hari pertama, “jatuh 4 korban”. Mereka menikmati “hukuman” mereka. Memang, sejak aku menjadikan pemutaran musik sebagai kebiasaan baru di kelas, lagu Rasa Sayange menjadi trending topics di kalangan anak-anak Belang-Belang. Aku juga baru sadar kalau cara berbicara dengan mereka sering kali keluar dari bahasa Indonesia yang baik. Dan kalau mau jujur, harusnya semuanya, termasuk aku sendiri, setiap hari Kamis, seharusnya berjoget di depan kelas. K.
Contoh kata-kata bahasa pasar dan artian bahasa Indonesianya :
Tagi = pergi badiam = diam!
Kong = kok hayuu = ayo
Saya = ya astagafirullah = astagfirullah
Kita = aku air besar = sungai
Torang = kami baku gara = bertengkar
Ngana = kamu baku pukul = berkelahi
Pe = punya ke muka = ke depan
Su = sudah engku = guru
Tarada = tidak
Tete = kakek
Foya = bohong
Dan berbagai macam bahasa Indonesia dengan perubahan huruf u jadi o (polang,ampong) dan penambahan huruf g di belakang huruf n (makang,biking) serta penggunaan makna kata yang jarang ditemukan di Jakarta. Contoh: “Pak Hendra su polang? Torang su makang, tadi romah kosong, kita pe perut su lapar, kita langsong makang.” Gitu deh :D
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda