Peristiwa

Hari Triwibowo 2 Maret 2015

Tatibajo, Kab. Majene

Yang terjadi pada Sinar (10) sejak siang itu ialah ia hilang. Orang-orang di kampung mencarinya hingga jauh. Sebagian lainnya memilih untuk mengira saja; beradu pendapat dengan mereka yang tidak ikut mencari. Atau mencari dalam perkiraan; dalam imajinasi. Menjelang malam, belum ada satu orang pun (di kampung) yang mengetahui keberadaan Sinar.

Sinar menjadi buah bibir. Setidaknya, ia diperbincangkan di kampungnya. Si ibu, sambil menggendong anaknya yang bungsu, menangis. Dalam bahasa setempat, ia mengeluh-mengumpat-mengharap atas peristiwa hari itu. Peristiwa hilangnya Sinar.

Belum ada yang menemukan Sinar saat hari telah gelap. Warga sudah mencari hingga ke kampung sebelah. Ada juga yang mencari hingga ke kebun. Hasilnya nihil.

Hilangnya Sinar merupakan peristiwa bagi masyarakat di Dusun Tatibajo. Faktanya, ada kejadian dan ada bukti. Namun, peristiwa ini bukanlah berita sampai ada seseorang yang menceritakannya lewat berbagai media. Entah lisan ataupun tulisan. 

Peristiwa tidak pernah “terjadi” sampai ada seseorang yang melihat dan melaporkannya. Hanya jika terdapat nilai berita, maka peristiwa dilaporkan. Kalau kata Frank Luther Mott, berita selalu merupakan suatu laporan; peristiwanya sendiri bukanlah berita.

Kala peristiwa terjadi tanpa adanya saksi dan bukti, orang akan menyebutnya dengan misteri. Yang seringkali dianggap sebagai hal-ihwal “isapan jempol” belaka.

Tuhan memang Maha Asyik, kata Sudjiwo Tedjo. Ia beri manusia kemampuan untuk melakukan analisis dan intepretasi atas sesuatu yang tidak “tersaksikan”. Satu jalan yang ditempuh sebagai dasar intepretasi adalah bukti. Namun, bukti belumlah menjadi fakta sampai hal tersebut “benar” terbuktikan. Fakta mengarahkan kita pada peristiwa.

Hilangnya Sinar patut menjadi catatan. Mengapa? Karena peristiwanya berupa “kehilangan”. Tidak ada saksi atas keadaan “ada lalu tak ada” Sinar di kampung. Yang disepakati, saksi merupakan orang-orang di kampung yang melihat “tidak adanya” Sinar. Orang di luar sana mungkin melihat “ada” Sinar. Tapi ia tidak mengalami peristiwa “hilangnya” Sinar.

Bukti dikumpulkan. Orang ramai mencari Sinar di kampung hingga ke luar kampung. Sinar tidak ditemukan. Buktinya? Dalam hal ini, saksilah yang bertindak sebagai bukti. Mengapa? Karena saksi membawa pelaporan atas “ketiadaan” Sinar di tempat yang mereka buktikan.

Sekali lagi. Hilangnya Sinar tidak berlaku bagi orang di luar sana yang melihat ia “ada”. Tiga puluh kilometer jauhnya dari kampung, Sinar  sedang bercengkrama dengan saudara perempuannya. Atas permintaan Sinar, ia di sana dibawa oleh seorang guru yang juga mengajar di kampung. Baik sang guru ataupun saudara perempuan Sinar sama-sama tidak mengalami peristiwa kehilangan Sinar. Mereka adalah saksi atas kondisi “adanya” Sinar.

Entah bagaimana caranya, antara saksi “tidak ada” dan saksi “ada” terjadi satu peristiwa lagi. Adalah peristiwa pertemuan. Pertemuan ini seolah men-verifikasi dua kondisi: Sinar “hilang-namun-tidak hilang”.

Bukti terbuktikan. Fakta menyatakan peristiwa. Sinar ada, tetapi ia paradoks bagi dua kondisi yang “berbeda”.

Andai saja komunikasi nirkabel sudah sampai di kampung, tentu cerita Sinar tidak begini “adanya”. Dan mungkin sekali saya tidak perlu menulis tentang peristiwa ini.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua