Belajar dari Keluarga Bapak Nuing

HappyBerthalina 29 Juni 2016

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya, ada waktu untuk bertemu, ada waktu untuk berpisah 

 

Ungkapan ini yang saya rasakan saat Fikri, mama, dan adiknya berpamitan untuk pindah dan melanjutkan pendidikannya di Palu (29/6). Fikri merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Kakaknya sekarang duduk di kelas 3 SMP dan tinggal bersama nenek dan kakeknya, sedangkan adiknya Wawan sekarang duduk di kelas 6 SD dan Jenni yang masih duduk di bangku TK. Fikri merupakan ketua kelas yang baik, suka menolong, dan rajin beribadah. Dia juga merupakan anak yang pintar, terbukti dia berhasil lulus dengan nilai UN tertinggi di sekolah. Karakter dan kepandaiannya inilah yang membuat saya, teman-teman, dan guru-guru merasa sedih dan kehilangan Fikri. 

Papa Fikri bernama Bapak Nuing Sadi. Beliau bekerja sebagai seorang supir taksi (baca: angkot) jurusan Sinorang – Luwuk dengan waktu perjalanan selama 2-3 jam. Beliau bekerja enam hari dalam seminggu, bekerja dari pagi hingga sore. Penumpangnya tidaklah menentu, karena jarang orang desa yang pergi ke ibukota kabupaten. Kalo pun ada yang ingin pergi ke kota, mereka akan pergi dengan mengendarai motor. Untunglah masih ada orang-orang yang menggunakan jasanya untuk mengantarkan titipan berupa barang, uang, atau karung kopra yang akan dijual di kota. Usaha yang dilakukan Bapak Nuing tidaklah sebanding dengan penghasilannya. Penghasilannya mungkin hanya cukup untuk membeli lauk pauk untuk makan sehari-hari, sedangkan untuk mendapatkan beras, keluarga ini terkadang harus berhutang dan melunasinya dengan cicilan. 

Sehari sebelum Fikri berangkat ke Palu (28/6), saya menaiki taksi (baca: angkot) Bapak Nuing untuk mengantarkan saya kembali ke desa. Saya percaya perjalanan saya pulang ke desa kali ini bukanlah suatu kebetulan, semua ada dalam rencana Tuhan. Percakapan saya dengan beliau selama di perjalanan ke desa membuat saya mengetahui bahwa keputusan Beliau dan juga istri untuk menyekolahkan Fikri ke Palu bukanlah keputusan yang mudah. Keluarga memutuskan agar Fikri, mama, dan Jenni untuk pindah ke Palu dan akan meyewa rumah petak disana, sedangkan Papa dan adiknya, Wawan tetap tinggal di desa. Keputusan ini sebenarnya membuat keluarga ini harus mengeluarkan biaya hidup yang lebih besar. Bapak Nuing harus membayar sewa rumah petak dan membiayai hidup istri dan anaknya di Palu serta membiayai hidupnya dan Wawan di desa. Saya pun menanyakan kepada Beliau mengapa Beliau dan istrinya tetap memutuskan untuk menyekolahkan Fikri di Palu dengan biaya hidup yang harus ditanggung lebih besar. 

“Disini hanya ada satu sekolah dan mamanya tidak kasih Fikri sekolah di dalam desa, Bu. Kalaupun ada yang bagus , sekolahnya jauh sekali dari desa. Lebih baik Fikri sekolah SMP Negeri di Palu. Kami lebih tenang jika menyekolahkan Fikri disana karena pendidikan di kota pasti lebih baik dari di desa. Jarak sekolah dengan rumah petak nanti juga dekat sehingga Fikri dapat pergi kesekolah dengan berjalan kaki. Nggak apa-apa kami harus mengeluarkan biaya hidup lebih besar, asalkan Fikri mendapat pendidikan yang lebih baik”, jawab Bapak Nuing dengan tetap fokus mengendarai taksinya. 

Aku terdiam mendengar jawaban Beliau, kagum sekaligus bangga. Di sebuah desa di timur Sulawesi ini saya menemukan sebuah keluarga yang tetap mengedepankan pendidikan ditengah keterbatasan ekonomi. Banyak orang tua yang berpikir “Tidak usah sekolah jauh-jauh, sekolah didekat rumah saja,”, namun keluarga Bapak Nuing hadir dalam pemikiran berbeda. Mereka memikirkan bagaimana lingkungan sekolah nantinya membentuk karakter anaknya. Fikri beruntung memiliki orang tua yang peduli dengan pendidikan anaknya. 

 

Keluarga Bapak Nuing telah menjadi teladan yang baik bagi keluarga-keluarga lain dalam kesederhanaan dan keterbatasannya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua