Desa Baru di Atas Air

Asri Diana Kamilin 29 Juni 2016

Pernah mendengar Kabupaten Hulu Sungai Selatan? Sejujurnya, saya pun baru mendengar nama ini ketika di camp pelatihan Indonesia Mengajar. Saya sama sekali tidak memiliki pandangan akan seperti apa lokasi, masyarakat dan budayanya. Saya girang sekali ketika mendapat foto dari hasil asesmen daerah bahwa lokasi penempatan saya di atas sungai. Saya membayangkan akan tinggal di rumah terapung, melakukan segala hal di atas sungai dan segala hal  yang berkaitan dengan sungai. "Pengalaman baru yang menyenangkan!" pikir saya.

 

Hari ini masa ke-27 sejak saya menginjakkan kaki di kabupaten ini. Saya mulai memahami jika kabupaten ini tidak hanya terdiri dari sungai, melainkan banyak daratan-perbukitan. Kalau dari penempatan Pengajar Muda, hanya ada tiga daerah yang berlokasi di sungai: saya di Desa Baru, dua rekan di Desa Bejayau dan Desa Muning Dalam. Akses menuju lokasi kami dari melalui jalur darat lalu lanjut sungai menggunakan taxi (sejenis perahu ukuran sedang bermotor). Sisanya di kawasan perbukitan yang terkenal dengan suku Dayaknya (Loksado) dan di desa Sindawak (Telaga Langsat).

 

Sebenarnya, lokasi saya tidak benar-benar di atas sungai, melainkan di atas rawa. Desa saya terbelah menjadi dua bagian dengan jalan berukuran kurang lebih satu meter sebagai pemisah. Rumah yang berderet sebelah barat dibangun di atas rawa sedangkan yang berderet sebelah timur di atas sungai Nagara. Rawa dan sungai ini menjadi pusat segala aktivitas warga disini. Hampir semua aktivitas dipengaruhi oleh naik-turunnya air di kedua perairan ini.

 

Pertanian misalnya, akan dilakukan jika air di rawa surut. Ketika itulah warga akan turun ke ladang yang terbentang di belakang desa. Masyarakat hampir keseluruhan bertani padi, sayur-mayur seperti terong, mentimun, cabe dan labu. Jika air sedang tinggi, masyarakat mencari ikan di sungai Nagara dan mengeringkannya. Ikan yang dikeringkan biasanya ikan sepat yang disusun membentuk bunga atau persegi panjang. Ikan haruan atau yang biasa kita kenal dengan ikan gabus juga menjadi salah satu ikan yang dikeringkan disini. Kedua jenis ikan ini akan sangat mudah ditemukan sebagai oleh-oleh dari Kabupaten HSS.

 

Desa saya dipimpin oleh seorang kepala desa yang disini disebut dengan istilah pembekal. Namanya Pembekal Yani. Beliau menjabat di kali kedua. Keluarganya terdiri dari tiga putri dan seorang istri. Beliau menjadi pusat bertanya warga desa. Sering sekali orang datang ke rumah Beliau. Saya mengetahui ini karena saya pernah tinggal di rumah Beliau.

 

Selama saya tinggal di desa ini, saya beberapa kali mengikuti buka puasa bersama warga. Dalam pandangan awam, saya menikmati setiap senyuman dan sapaan warga terhadap saya. Apapun makna di balik setiap senyuman, saya perlu banyak belajar jika saya berada di tahun pertama. Saya berada di desa yang sama sekali belum mengetahui apa tugas saya. Saya di tahun pertama.

 

Lumrah ditanyakan: kenapa jauh-jauh dari Jakarta mau kesini? Kenapa lebaran tidak pulang? Apa Ibu punya tunangan? dan pertanyaan lain yang membuat saya tidak bosan-bosan mengulang jawaban pada setiap warga yang bertanya. Saban sore, saya mengunjungi rumah-rumah warga, menyapa, memperkenalkan diri, mendengar cerita-cerita mereka yang tidak benar-benar keseluruhan saya pahami. Tersenyum dan tertawa setiap ada bagian yang saya mengerti. Ini aktivitas awal saya: beradaptasi dengan tempat tinggal baru saya. Oh iya, nama desa saya adalah Baru. Desa Baru, sebuah desa di atas air. Inilah sekelumit gambaran di desa saya.

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua