Jawa Rasa Moilong

Hanif Akhtar 26 Maret 2015

“Wah keren sekali kamu Nif ikut Indonesia Mengajar. Ada listrik ga di tempatmu?”

“Ada”

“Tapi sinyal susah pasti ya?”

“Tidak juga, lancar kok, bisa dapet sinyal GPRS malah”

 “Jalan ke desanya gimana? Berlumpur-lumpur atau bebatuan gitu?”

“Nggak kok, cuma beberapa berlobang, tapi udah aspal sih. Cuma hati-hati aja kalau jalan di sini, banyak ranjau tahi sapi berkeliaran”

Bayangan awal saya ketika akan ditempatkan Indonesia Mengajar adalah saya akan ditempatkan di daerah yang terpencil, akses komunikasi dan transportasi yang terbatas, serta fasilitas hidup yang seadanya. Tapi pikiran itu langsung terbalikkan ketika saya datang ke Desa Moilong ini, tempat saya akan ditempa selama setahun. Desa yang secara infrastruktur sudah lebih dari cukup. Lalu kenapa masih diperlukan Pengajar Muda di tempat yang begini bagus? Pertanyaan itu perlahan mulai menemukan jawabannya.

Jika menjadi Pengajar Muda sama artinya dengan mengikuti sekolah kepemimpinan selama setahun, dimana tingkat reciliency dan adaptability kita sedang ditempa, maka ditempatkan di Desa Moilong ini adalah anugerah untuk saya. Menjadi orang baru di lingkungan dengan budaya yang bebeda sesungguhnya bukan sesuatu hal yang mudah, apalagi kalau kamu menjalaninya sendirian. Mayoritas masyarakat desa Moilong adalah suku Bugis, namun ada juga suku lain di sini seperti suku Bajo dan Saluan. Satu keadaan yang membuat saya bersyukur adalah tidak jauh dari sini ada desa transmigran dimana mayoritas penduduknya adalah suku Jawa, suku asli saya.

Lupakan dulu cerita tentang perjuangan orang-orang transmigran sampai bisa sukses bertahan hidup di tanah Sulawesi ini. Ini hanya cerita kecil tentang masyarakat multikultur di sekitar saya. Desa Jawa merupakan pusat perdagangan; pasar, toko besar, dan warung makan sebagian besar letaknya di sini. Setiap hari mereka berbicara menggunakan bahasa Jawa, meskipun sudah banyak tercampur dengan bahasa sini. Orang sini menyebutnya dengan bahasa Toili (nama daerah transmigran), karena memang bahasa yang digunakan bukan lagi murni bahasa Jawa. Jangan tanyakan asal daerah pada anak muda, jawabannya pasti sama, “Saya asli sini, Mas”. Ya, mereka adalah orang Jawa yang belum pernah menginjakan kaki di tanah Jawa. Bagi saya sendiri, bermain ke desa tetangga secara naluriah memberikan rasa nyaman dan ketenangan sendiri karena bisa berbicara memakai bahasa Jawa kembali.

Lucu adalah momen ketika ada rapat Kepala Sekolah dari berbagai desa dan mereka saling bercanda dengan bahasa yang campur aduk. Geli adalah ketika warga desa Moilong yang notabene orang Bugis mengajak saya bicara memakai bahasa Jawa, padahal bahasa Jawa mereka amburadul. Bahagia adalah melihat bagaimana masyarakat yang multikultural ini bisa hidup berdampingan, saling menghormati, dan saling kolaborasi. Mengharukan melihat masyarakat transmigran yang sering dianggap orang kampung, justru menjadi aktor utama dalam pembangunan pondasi toleransi di tempat yang jauh dari sejarah hidup mereka. Sungguh butuh kearifan dan kecerdasan untuk menyikapi perbedaan yang ada. Dan butuh kelapangan hati untuk menerima suku bangsa lain tinggal dan bermain di tanah yang sudah lama kita diami. Tempat ini memberikan pelajaran yang luar biasa banyaknya untuk bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan.  


Cerita Lainnya

Lihat Semua