Iuran Publik Ala Anak SD
Hanif Akhtar 1 Juni 2015Republik ini dibangun dengan orang yang iuran, iuran tenaga, iuran pikiran, iuran nyawa dan darah - Anies bawedan
Moilong, 27 Mei 2015
Ketika Yayaysan Gerakan Indonesia Mengajar sedang menggalakan iuran publik untuk menggalang keterlibatan seluruh masyarakat Indonesia untuk ikut serta menyelesaikan masalah pendidikan, konsep iuran publik sendiri sebenarnya bisa ditemui dalam kehiduan sehari-hari kita dalam bentuk yang lebih sederhana. Dan ini terjadi di SD tempat saya mengajar.
Hari ini adalah hari ulang tahun saya. Sebenarnya saya sudah tidak berekspektasi apa-apa, mengingat saya baru kembali dari kota kemarin jam 10 malam. Mungkin anak-anak tidak tahu kalau saya sudah pulang ke desa dan mungkin mereka tidak ingat hari ulang tahun saya. Saya datang ke sekolah dengan suasana biasa-biasa saja, anak laki-laki bermain bola di halaman, anak perempuan joget-joget di kelas, dan ruang guru masih sepi, kemudian memulai pelajaran di kelas I dengan biasa juga. Sampai akhirnya ada anak kelas I bicara ke saya.
“Pak Guru, tadi Lala minta uangku seribu”
“Lala siapa?”
“Lala kelas III”
“Trus kamu kasih?”
“Iya Pak Guru. Katanya buat ulang tahunnya Pak Guru”.
Saat itu saya udah senyum-senum sendiri, menunggu apa yang akan dibuat oleh anak-anak ini. Memang setiap ada anak yang ulang tahun, saya selalu memberikan roti harga seribuan dan lilin peninggalan PM sebelumnya. Sederhana sih, tapi biasanya anak-anak melanjutkan dengan ritual siram-siraman, yang meskipun sudah sering saya larang, tapi masih selalu dilakukan.
Jam pelajaran berikutnya saya masuk mengajar di kelas III. Begitu saya masuk kelas, anak-anak dari kelas 1-6 sudah melihat-lihat di muka pintu. Oh, pertunjukan sudah mau dimulai, pikirku. Tapi ga mau kalah, saya juga membuat skenario sendiri dengan menutup pintu kelas dengan alasan anak-anak ini mengganggu pelajaran. Kemudian saya lanjut mengajar. Anak-anak kelas III nampak sudah tidak fokus lagi, mereka sering melihat ke arah pintu. Sementara di luar, suara semakin gaduh. Tak lama kemudian ada atu anak berlari membuka pintu, dan masuklah semua anak-anak dari kelas 1-6 sambil menyanyikan “selamat ulang tahun”. Tapi sayangnya, mereka lupa menyalakan lilinnya.
Selesai menyanyi, tiup lilin, saatnya bagi-bagi kue. Dan begitu rebutan kue dimulai, beberapa anak protes karena tidak kedapatan kue, sementara banyak yang tidak setor uang malah dapat kue banyak. Ah, ternyata mereka mengamati juga siapa yang ikut menyumbang siapa yang tidak. Dan setelah acara tiup lilin dan bagi-bagi kue, di tengah kerumunan saya mengdengar obrolan soal telur dan tepung. Tentu ini bukan obrolan soal membuat kue, tapi tentang mengerjai gurunya. Tapi rencana ini gagal, karena guru-guru lain yang tahu rencana ini dan mereka dimarah. Ternyata iuran publik ala anak SD itu sederhana, ada yang kumpul uang, ada yang beli kue, dan ada yang mengkonsep acara.
Begitulah iuran publik di SD kami, sederhana bukan, hanya untuk menyenangkan gurunya. Tetapi meskipun begitu iuran publik ini berlanjut lho, tiap ada anak yang ulang tahun pasti dikasih beginian. Anak SD saja bisa melakukan iuran publik secara sederhana tapi berdampak berdampak besar, dengan hal-hal kecil yang mereka miliki. Kita orang dewasa pasti bisa berbuat lebih lagi. Menyumbang apa yang bisa kita berikan, mengerjakan porsi kita, mengawasi yang lain, dan menciptakan dampak yang besar untuk kemajuan bangsa.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda