Efriansyah, Bujang Talang Penggerak Perubahan

Hanif Azhar 8 Maret 2015

“Bisa jadi, Saya belum pantas menjadi guru bagi mereka. Tapi saya juga ingin menjadi bagian dari perjalanan mimpi mereka. Saya hanya memiliki harapan yang sederhana. Saya tak pernah berharap menjadi orang yang spesial di mata mereka. Saat ini, berbagi waktu bersama mereka merupakan suatu kebahagian tersendiri. Memang bahagia tak selalu sederhana seperti yang orang orang pikirkan. Tapi bagi saya, kebahagian adalah bagaimana penerimaan dan penghargaan terhadap kesederhanaan itu sendiri.” Ungkap Efriansyah, guru muda bersemangat dari sebuah sekolah terpencil di pedalaman hutan Sumatera Selatan.

 

Efriansyah adalah salah satu sosok inspiratif di penempatan saya mengajar, SDN 10 Rambang (kelas jauh) di Talang Airguci, Rambang, Muara Enim, Sumatera Selatan. Sudah lebih dari empat tahun, sejak lulus SMA tahun 2010, pemuda ini mengabdi untuk mengajar anak-anak di pedalaman. Tidak banyak pemuda seusianya yang berfikiran untuk mengabdi kepada ibu pertiwi.

Memang, empat tahun bukanlah waktu yang lama. Namun juga bukan waktu yang singkat untuk mengabdi di pedalaman. Usianya yang masih sangat belia selalu memancarkan energi positif dalam berbagi pengalaman. Termasuk pengalaman pertamanya ketika memutuskan untuk mengabdi di pedalaman. Salut.

 

***

Tak pantas bukan berarti tak berhak

Saat pertama kali mendapat tawaran menjadi guru, sedikitpun tak ada keyakinan dalam hati bahwa saya memiliki kemampuan mulia tersebut. Secara pendidikan, saya hanya lulusan SMA, apalagi secara pengalaman. Belum genap setahun saya lulus dari SMA N 01 Rambang, Muara Enim. Bagiku, menjadi guru bukan hanya tentang mengajar membaca dan menulis saja, tetapi menjadi role model yang akan diditiru oleh anak didik. Perasaan takut, merasa belum pantas menjadi guru, selalu hadir dalam pikiran saya. Bagaimana nanti anak-anak didik jika saya menjadi guru.

Saya dihadapkan pada posisi yang dilematis. Saya masih sulit untuk mengambil keputusan.  Tapi disisi lain, aku tak dapat menolak tawaran tersebut karena desakan keadaan. Saya akan merasa sangat  jahat jika membiarkan sekolah di talang saya hanya memiliki dua orang guru, Pak Hasnel Latif dan Pak Depriadi.

Seminggu kemudian, saya memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Tidak mudah mengambil keputusan ini. Saya harus berdiskusi dengan keluarga, dan bertanya kepada banyak orang. Akhirnya saya mengerti mengapa harus menerimanya. Mereka sangat membutuhkan saya bukan karena kemampuanku. Tapi mereka memang butuh seorang yang benar-benar bersedia menjadi guru untuk mereka.

Hari pertama menjadi guru adalah hari yang paling bersejarah bagi hidup saya. Ketika tiba di sekolah, saya langsung disambut anak-anak dengan suka cita. Mereka langsung menyalamiku.  Ada yang memperkenalkan diri, bahkan ada yang memberi saya makanan. Saya masih tetap kaku dan belum tahu apa yang harus saya lakukan disini. Saya benar-benar gugup. Ini adalah pengalaman pertama sekaligus menegangkan sepanjang hidup saya.

Ketika masuk ke kelas lima, saya merasakan hal yang berbeda. Di dalam kelas, saya melihat anak-anak yang tidak begitu suka dengan kedatangan saya. Ketika saya memperkenalkan diri, semua siswa tertawa.  Ada seorang siswa berseru,”Lihat Bapak guru, pakai rompi seperti tukang ojek!”. Merasa dipermainkan, saya benar-benar marah. Tanpa sadar emosi saya meledak. Saya tumpahkan semua kekesalan kepada mereka. Semua anak tertunduk diam.  Tak ada yang berani menatap mata saya. Dalam hati ada sedikit rasa lega karena mereka takut kepada saya.

Saya merasa senang telah memberi  pelajaran kepada mereka. Saya menunjukkan kepada mereka bahwa saya bukanlah orang yang bisa mereka permainkan seenaknya. Saya berharap dengan melihat kemarahan, akan memberikan efek jerah.

Ternyata apa yang saya pikirkan salah. Bukannya jerah, tapi mereka semakin menjadi jadi. Puncak kemarahan saya meledak ketika waktunya pulang, motor saya tidak ada lagi di tempat parkir. Pada saat kebingungan, tiba-tiba mereka tertawa lepas penuah kepuasan. Sekejap saya langsung naik pitam dan mengeluarkan kalimat sumpah serapah. Melihat saya emosi, mereka berlari menjauhi saya sambil menunjuk di mana motor mereka sembunyikan.

Saya sangat emosi, melihat motor sudah berada di dalam semak belukar. Kesabaran saya diuji. Dengan penuh emosi, saya kembali masuk ke dalam ruang kelas mencari anak-anak yang telah mempermainkanku. Ketika saya masuk ke dalam ruang kelas lima, saya menatap mereka satu persatu. Terlihat beberapa anak pucat ketakutan. Bahkan beberapa anak perempuan matanya mulai memerah menahan tangis. Saya pun memberikan ancaman jika mereka berani mempermainkan saya lagi.

Setelah kejadian bersejarah itu, saya yakin mereka akan jerah. Tapi sekali lagi, ternyata dugaan saya salah. Mereka semakin  menjengkelkan. Setiap hari, selalu ada tingkah mereka yang membuat saya kesal. Saya sangat lelah dengan keadaan ini. Setiap hari saya marah-marah dan membuang energi sia-sia.

Saya hampir menyerah dengan keadaan. Saya ingin sekali mengakhiri semua kekonyolan ini. Tak akan Saya biarkan mereka mempermainkan harga diri saya. Bagaimanapun juga, saya tetaplah seorang guru yang harus mereka hormati. Saya berpikir keras tentang cara menghadapi kejahilan mereka. Jika dibiarkan terus menerus, saya pasti akan stres, tidak fokus mengajar, atau bahkan bisa berhenti mengabdi menjadi seorang guru.

Siang malam saya memutar otak, mencari solusi. Tantangan ini membuat saya ingin sekali menemukan resep jitu untuk membuat mereka bertekuk lutut di hadapan saya. Beberapa cara dan metode telah saya coba, namun belum ada hasil yang menggembirakan. Kegagalan demi kegagalan membuat saya semakin tertantang. Saya berjanji pada diri sendiri akan mengubah mereka menjadi anak baik.

Akhirnya, saya menyadari, saya harus merebut hati mereka dan membuat mereka menyadari betapa berartinya kehadiran guru di pedalaman. Mereka hanyalah anak kecil. Saya tidak akan pernah dekat jika selalu menggunakan emosi. Hal pertama yang saya lakukan adalah membuat mereka merasa nyaman dengan saya.

Keesokan harinya, dengan ide yang telah saya siapkan,  saya masuk ke dalam kelas dengan penuh semangat. Berbeda denga sebelumnya, hari  itu kusapa mereka dengan senyuman termanis dan bersahabat. Saya tidak memberikan pelajaran, tapi lelucon. Hari itu saya membuat mereka tertawa. Saya percaya, tertawa bersama adalah jurus paling ampuh untuk mendekatkan hubungan kami. Saya membawakan sebuah cerita lucu disertai suara dan gerakan yang ekspresif. Hari itu saya harus lucu meskipun sudah lama tak pernah melakukanya. Terakhir saya melucu bersama teman-teman saya SMA dua tahun silam.

Mereka fokus mendengarkan dan hanyut dalam cerita. Belum sampai semenit, suara tawa langsung bergemuruh memecah keheningan ruang kelas. Semakin lama bercerita, ruang kelas bertambah penuh dengan anak-anak dari kelas lain. Ada sedikit kebanggaan di dalam hati saya. Ternyata, bukan hanya anak kelas lima yang tertarik dengan cerita saya.

Setelah bercerita, saya melihat perubahan sikap mereka. Ada anak yang menarik tangan, meminta agar saya bercerita lagi. Ada pula anak yang masih belum berhenti tertawa. Bahkan, beberapa anak meminta ceritanya diulang kembali. Mereka tidak menyangka bahwa saya dapat menjadi guru yang menyenangkan. Selama ini, mereka menganggap saya hanya bisa mengeluarkan amarah saja. Saya tersenyum simpul, ternyata selama ini saya salah, karena lebih mementingkan harga diri di hadapan mereka. Saya belajar menekan mengalahkan ego demi senyum mereka.

Sekarang, saya tidak perlu membuang energi sia-sia hanya untuk marah marah seperti dulu. Mereka selalu berkerumun untuk mendengar cerita. Saya tak menyia-nyaikan kesempatan ini untuk lebih dekat dengan mereka. Tidak hanya memberikan cerita, tapi mereka juga harus bercerita balik kepada saya. Kami pun sering menghabiskan waktu bersama-sama, dengan bercerita dan tertawa sekeras-kerasnya. Di mata anak-anak, saya tidak hanya seorang guru, tapi teman yang siap menjadi pendengar atas segala keluh kesah mereka.

Banyak pengalaman yang saya dapatkan sejak menjadi guru. Sekolah memang guru terbaik bagi manusia. Di sana, di hadapan anak anak, saya dapat melihat begitu banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Saya baru memahami, ternyata jurus yang paling ampuh memenangkan hati anak anak bukan hanya metode mengajar, atau seberapa banyak ilmu gurunya. Bagi saya hubungan guru dengan murid bukan hanya sekedar hubungan antara pemberi dan penerima saja. Tapi harus dapat menjadi teman yang baik, dimana terjadi hubungan timbal balik antara keduanya. Anak-anak juga manusia, sama seperti gurunya. Tidak ada salahnya mengalahkan gengsi dan  ego demi melihat senyum tulus di wajah mereka.

Bicara pantas, Saya memang belum pantas menjadi guru bagi mereka. Terlalu banyak kekurangan, pendidikan, dan pengalaman. Namun, kekurangan bukanlah alasan untuk menjadi pesimis. Boleh jadi saya memang belum pantas menjad guru, tapi saya juga berhak menjadi bagian dari perjalanan mimpi mereka. Saya hanya memiliki harapan yang sederhana. Saya tak pernah berharap menjadi orang yang spesial di mata mereka. Saat ini, berbagi waktu bersama mereka merupakan suatu kebahagian tersendiri. Memang bahagia tak selalu sederhana seperti yang orang orang pikirkan. Tapi bagi saya, kebahagian adalah bagaimana penerimaan dan penghargaan terhadap kesederhanaan itu sendiri.

 

NB : Tulisan ini diambil dari catatan pengalaman hidup yang ditulis oleh Efriansyah dengan sedikit editing redaksional. (https://www.facebook.com/notes/efriansyah/tak-pantas-bukan-berarti-tak-berhak/455297004626580)


Cerita Lainnya

Lihat Semua