Cat

Hanif Azhar 30 April 2015

“Pak, maaf, apakah Bapak dapat membantu saya untuk masuk ke ruang perlombaan desain batik?,” sapa salah seorang juri pengawas Festival Lomba Siswa Seni Nasional (FLS2N) tingkat Kabupaten Muara Enim. “Ada yang dapat saya bantu, Pak?” sahut saya spontan. “Peserta lomba desain batik, anak laki-laki paling pojok belakang itu murid Bapak kan?” tanyanya lagi. “Iya, benar. Ada apa Pak?,” tanyaku balik. “Sebelumnya mohon maaf Pak, tolong dibantu untuk menuliskan nama peserta dan sekolahnya, serta delegasi dari rayon kecamatan mana. Terimakasih,” Jawabnya panjang. Saya terdiam.

Saya mendekati anak tersebut. Dia terlihat kebingungan dalam mengisi formulir daftar hadir dari panitia. Saya melihat ada tiga kolom rangkap empat yang harus diisi. Lembar pertama, dia mengisi namanya “Satderriii” dari delegasi Kecamatan Baba. Lembar kedua, dia mengisi namanya “Cat deri” dari delegasi Kecamatan Bambang. Saya melanjutkan lembar berikutnya. Isiannya pun bervariasi.

Namanya Satdri. Cat, Begitulah sapaan akrabnya. Salah satu anak didikku di SD Negeri 10 Rambang kelas jauh, di Talang Airguci, Desa Sugihan, Kecamatan Rambang. Dia sudah duduk di kelas 5. Namun kemampuannya baca-tulis-hitung (calistung) belum optimal. Untuk menulis namanya sendiri saja belum konsisten. Bahkan, dia masih kesulitan membedakan beberapa huruf. Misalnya “b” dan “d”, “p” dan “q”, “c” dan “G”, “s” dan “z” dan masih banyak lagi lainnya. Dalam penulisan huruf dan angka juga seringkali dia terbalik.

Kami, para pendidik, masih kesulitan menemukan cara terbaik untuk Cat. Kami juga sulit untuk membaca tulisannya, termasuk saya. Anehnya, serumit apapun tulisannya, dia dapat membacanya dengan mudah. Apa yang ditulis, berbeda dengan yang dibaca. Saya terkesima, semacam kode rahasia.

Masyarakat memandangnya sebelah mata. Untungnya, semua teman mendukung, tak ada yang meremehkan. Selain itu, saya senang rekan guru di pedalaman mengajar dengan kasih sayang dan kesabaran. Melihat ketekunan mereka, saya merasa tertantang. Walaupun saya bukan guru kelasnya, saya membuat tantangan kepada diri sendiri untuk membuatnya lancar calistung dan menemukan bakat terpendamnya. Entah bagaimana caranya.

Sampai pada suatu hari, di Bulan Februari, saya mendapatkan informasi akan diadakan seleksi lomba tingkat sekolah untuk mewakili SD Negeri 10 Rambang dalam FLS2N di Kecamatan Rambang-Lubai. Ada 15 cabang perlombaan. Saya mendapatkan amanah untuk memegang tiga ; Lomba Desain Batik, Melukis, dan Pantomim.

 Kami meyeleksi semua peserta didik. Ternyata, kami menemukan mutiara terpendam. Cat salah satunya. Walaupun belum lancar calistung, dia dapat membuat desain batik yang berbeda dengan yang lain. Ketika teman-temannya membuat motif batik seragam, kotak-kotak, dengan hiasan bunga di tengah, Cat membuat motif tumbuhan sulur dengan assesoris binatang-binatang khas hutan, seperti babi dan ular. Unik! Bagiku, ini adalah modal awal untuk membinanya menjadi Cat, sang desainer.

Terpilih menjadi wakil sekolah adalah awal perjalanan. Setiap sore Cat harus berlatih membuat desain batik bersama pembimbingnya. Bisa jadi ini adalah pengalaman pertamanya untuk memegang kuas dan cat poster, serta berbagai macam peralatan desain. Tapi di luar dugaan, dia mampu menguasainya dengan cepat. Sungguh mengagumkan.

Kerjakerasnya pun terbayarkan ketika Cat menjadi juara 1 lomba desain batik tingkat SD dalam FLS2N 2015 di Kecamatan Rambang dan Kecamatan Lubai.  Sungguh luar biasa, pengalaman pertamanya menjadi juara dari 60 SD peserta. Dia pun menjadi perwakilan FLS2N Muara Enim.

Saya masih ingat, waktu seleksi perlombaan di Muara Enim, tak sedikitpun tampak kegugupan di wajahnya. Walaupun, awalnya kami sempat kaget ketika memasuki ruang perlombaan, hampir semua peserta membawa peralatan membatik lengkap dengan kompor dan canting. Kami hanya datang membawa kuas dan cat.

Untungnya, ketua bidang seni budaya menjelaskan bahwa untuk bidang lomba desain batik hanya membutuhkan pensil. Hanya pensil. Kain disediakan oleh panitia. Sempat beberapa pendamping peserta protes dengan keputusan ini. Namun, sekali lagi, beliau memutuskan hal ini berdasarkan TOR yang sudah dibuat oleh Dinas Pendidikan Muara Enim. “Alhamdulillah, dengan la maseh punya kesempatan Cat. Mangke dengan la harus membuat desain yang ringkeh ya! Dengan anggap bae kain ini sebagai pengganti kertas latihan kite pule. Cat pasti pacak!,” Ujarku menyemangati.

 Puji syukur kepada Tuhan, ternyata Cat membawa pulang piala juara 3 untuk lomba desain batik dalam FLS2N Kabupaten Muara Enim. Ini adalah capaian terbesar dalam hidupnya. Anak yang dianggap sebelah mata, sekarang menjadi inspirator bagi teman-temannya. Percaya tidak percaya, sepulang dia kembali ke talang Airguci, semua anak didik minta diajari membuat desain batik. “Cat bae pacak buat gambar ringkeh lok itu, kami la pasti pacak pule ya, Pak,” Ungkap mereka.

Masih ingat dengan jelas pesan salah satu juri lomba, “Nak, dengan la harus  belajar lagi membaca ngan menulis ya. Mangke jadi uhang hebat pule,” Cat berkata kepada saya, “Pak Hanif, aku hendak belajar serius pule. Mangke kalu aku la kelas enam, kakgi akula pacak menjawab soal ujian sekolah. Aku janji ngan Bapak!,” Senang sekali mendengar janjinya. Semoga Cat lanar calistung sebelum kelas 6, sebelum saya selesai penugasan.

Sekali lagi, Allah membuktikan kuasanya bahwa setiap anak itu spesial. Dia menciptakan setiap manusia dengan sebaik-baiknya. Termasuk Cat. Siswa kelas 5 SD yang belum lancar calistung, tapi berbakat dalam bidang desain. Terus berkarya ya, Nak! Selamat Hari Pendidikan Nasional 2015. Senyummu adalah hadiah terindah untuk bapak.


Cerita Lainnya

Lihat Semua