Skenario Tuhan Jilid 5; 5 Jagoan

Hairul 13 April 2015

Hujan pagi ini tak membuat semangat murid-muridku hilang. Nyatanya, mereka masih duduk di hadapanku, lima kursi dan meja yang tersusun berdampingan. Aku semakin mencintai mereka dengan segala kelebihan dan ‘hal yang belum tergali’ –aku tak menyebut kekurangan untuk para muridku. Karena sesungguhnya, mereka masih akan terus berkembang dan akan terus menemukan jati dirinya, tho?

Dari beberapa tulisanku, aku belum sempat menceritakan tentang murid kelasku lebih dekat, ya? Rasanya, kali ini tepat untuk memperkenalkan 5 murid hebatku. Kelas 3 SD GMIST Smirna Kawio.

Pertama, anak perempuan berusia 9 tahun ini bernama Miranda Katiandagho. Oh, iya, sebelumnya, nama terakhir dari setiap muridku atau setiap orang Sangir adalah nama marga. Atau orang biasa mengatakannya dengan nama “Fam”. Dan untuk daerah Sangihe, fam di ambil dari nama keturunan ayah.

Miranda, ia biasa di sapa, adalah anak dari pulau tetanggaku –Pulau Kemboleng. Ia salah satu anak yang harus berjuang menyebrang laut setiap pagi. Kadang tak hadir jika ombak kencang. Bisa di bilang, Miranda merupakan satu-satunya ‘penenang’ku.

Saat aku sudah putus asa ketika hampir seluruh muridku belum bisa membaca, maka Miranda satu-satunya yang sudah sangat lancar. Saat murid-muridku yang lain melupakan pelajaran-pelajaran yang telah aku berikan, maka Miranda satu-satunya yang akan menjawab dan melegakanku. Sejak kelas 1, menurut guru-guru yang lain, ia menjadi juara kelasnya. Dan tak heran, Miranda tak hanya pintar, perilakunya juga sangat santun. Miranda Katiandagho sang ‘Jagoan Tenang’.

Kedua, Delvanto Barahama yang biasa di sapa oleh teman-temannya Anto atau Yantole. Satu yang aku ingin beritahu pada kalian, uniknya masyarakat di sini, ketika memanggil nama orang, selalu di tambah huruf “Y” di depan, dan huruf “E” –cara membacanya seperti huruf “E” pada kata “Peti” atau “Enam”- di belakang nama tersebut. Misal, Dowes, maka akan di panggil dengan “Yowese”, Acil akan di panggil “Yacile”, Aris –Yarise, Ical –Yicale, dan lain sebagainya. Baiklah, aku akan lanjutkan tentang Anto. Anto masih belum bisa membaca, bahkan mengejanya pun masih terbata-bata. Namun, Tuhan memang adil, ia sangat pandai dalam pelajaran matematika; karena angka bisa di lihat tanpa harus di baca –begitu katanya saat aku tanyakan mengapa ia suka sekali dengan matematika.

Sebenarnya, dalam menulis, Anto adalah satu-satunya yang memiliki tulisan sangat rapi di kelasku. Saat aku menugaskan pada mereka untuk menyalin sebuah bacaan atau soal-soal, maka Anto-lah yang paling membuatku tersenyum saat membaca tulisannya. Rapi, jarak teratur, dan yang pastinya, mudah terbaca olehku. Daya tangkap Anto juga cepat saat menerima pelajaran dariku. Jadi, bukankah memang seharusnya kita menemukan kelebihan dari setiap orang yang kita temui? Bahkan, tak boleh sedikit pun kita mempermasalahkan kekurangan orang lain, bukan? Mari kita belajar dari Anto sang ‘Jagoan Hitung’.

Selanjutnya, Jesika Horman.

Jesika adalah salah satu dari banyaknya anak-anak Kawio yang tidak pernah mengenal ayah kandungnya. Bukan karena meninggal, namun, karena ia lahir dari hubungan luar nikah. Fam Horman adalah dari nama ibunya. Satu lagi, bagi masyarakat yang tidak menikah, meski sudah berpuluh-puluh tahun tinggal bersama, maka anak-anak mereka tidak bisa memakai fam ayah, melainkan harus menggunakan nama fam dari ibu.

Jesika harusnya sudah kelas 5 saat ini. Ia masih harus belajar kembali saat kelas 1 sebanyak 3 kali. Namun, dengan ia mengulang di kelas 1, saat ini ia sudah bisa membaca. Meski, ia hanya sekedar membaca apa yang ia baca, belum bisa memahami maksud dari bacaan tersebut.

Jesika memang sedikit unik. Sikapnya masih perlu ditingkatkan untuk semakin baik. Namun, meski saat ini, ia tidak tahu ayahnya, dan harus tinggal berjauhan dengan ibunya, ia sangat menuruti semua perkataan nenek dan kakeknya. Ia meyakini bahwa, ibunya hebat. Karena mau memilih melahirkannya ke dunia meski seharusnya ia bisa menggugurkannya saat di kandungan. Takjub, bukan? Itu perkataan seorang anak SD, lho.

Aku selalu salut dengan ketegarannya. Karena dia, Jesika sang ‘Jagoan Tegar’.

Keempat, memiliki nama lengkap Ulinsia Adingkaka dan biasa di panggil dengan sebutan Uli. Seperti Anto, Ulinsia masih harus lebih giat lagi untuk membaca. Daya tangkapnya belum berkembang secara maksimal. Ia masih harus perlu banyak belajar untuk menjadikannya tahu apa yang sedang ia pelajari. Seperti Jesika juga, bahwa, Ulinsia tidak pernah melihat ayah kandungnya. Ia juga tidak tinggal dengan Ibunya. Ibunya berada di Tahuna dan tinggal dengan kakaknya yang sudah SMA.

Adapaun yang memilukan dari Uli adalah, ia tahu bahwa ayahnya gila. Ya, gila dalam makna yang sebenarnya. Ayahnya hilang dan belum di temukan karena ‘tidak waras’. Uli pernah melihat foto ayahnya dari dalam buku tua milik neneknya. Saat aku tanya tentang ayahnya, ia menjawab bahwa ia tetap mencintai ayahnya. Di manapun ayahnya berada saat ini, ia selalu mendoakan yang terbaik untuk sang ayah. Ia percaya, bahwa, di dalam lubuk hati ayahnya yang gila, ayahnya tahu bahwa ada anak yang bernama Ulinsia yang sangat merindukannya.

Semoga kamu bisa bertemu dengan ayahmu, ya, Li. Sang ‘Jagoan Santun’.

Terakhir, Junikson Betahai. Icon biasa ia di sapa adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Keluarga Icon adalah keluarga Kak Priska –PM ke-2 di Kawio. Seperti Anto dan Ulinsia, Icon belum bisa membaca. Masih harus mengeja meski terbata-bata. Dalam menulis Icon juga harus sabar dengan waktu. Tak jarang aku menunda pelajaran karena harus menunggu Icon selesai menuliskannya.

Menurut cerita dari keluarga dan orang-orang di sini, saat kecil, Icon pernah menderita penyakit saraf. Ia sempat di bilang idiot. Keterbelakangan mental.

Untuk menulis, dulu ia harus di pegang tangannya, karena tangannya tidak mampu di gerakan dengan sendiri. Lemas. Icon juga sudah 2 kali harus mengulang belajarnya di kelas 1 dan kelas 2.

Aku memang harus lebih bersabar dengannya. Ia selalu menangis jika aku menugaskan apa pun. Terlambat ke sekolah, maka ia akan menangis. Aku tanya mengapa tidak mengerjakan PR? ia pun menangis. Mengapa tidak membantu piket teman-temanya? maka menangis adalah jawaban dari semua pertanyaanku. Sedikit kesal karena jika bermain, maka ia akan dengan jago dan semangat berlari-larian ke sana-sini. Saat aku menceritakan ini ke orang tuanya, maka hanya bisa di jawab, “Icon punya penyakit sejak kecil, engku.”

Terlepas dari itu semua, Icon adalah anak yang selalu mencium pipiku dan berlari menghampiriku saat melihatku. Memelukku sambil memperlihatkan dua lesung pipi yang sangat manis. Icon yang selalu menangis, tapi selalu memanggilku dengan manja dan merangkulku tanpa peduli di mana ia berada.

Jauh dari apa pun kelebihan dan sesuatu yang masih belum berkembang dari kalian, engku sudah terlanjur jatuh cinta pada kalian. Dan engku percaya dengan pasti, bahwa, kelak kalian akan menemukan potensi yang kalian miliki. Kecintaan kalian pada orang tua, kepedulian kepada sesama, dan kepolosan kalian menatap kehidupan ini, membuat engku banyak belajar. Teruslah menjadi kalian yang apa adanya. Miranda, Anto, Jesika, Ulinsia, dan Icon, 5 sahabat kecilku, 5 jagoan kebanggaanku.


Cerita Lainnya

Lihat Semua