Skenario Tuhan Jilid 6; PinJur
Hairul 13 April 2015Sepi.
Sekolah saat ini sepi. Kemarin saat kapal bersandar, hampir setengah siswa beserta orang tuanya pergi ke Tahuna. Ada pengambilan beasiswa untuk anak-anak di mana orang tua dan anak harus menandatangani pernyataan bahwa dana sudah di ambil. Sehingga, jumlah siswa sekolahku yang memang sedikit, makin tak berisi.
Bagaimana dengan guru? Sama.
Entah sebenarnya apa yang mereka lakukan, beberapa guru juga ikut berangkat ke Tahuna. Sehingga, pagi ini, kelas 3 dan kelas 4 aku gabungkan kembali dalam satu kelas.
Semua kesepian ini dibayar oleh peristiwa istimewa sebelum lonceng aku bunyikan. Baru saja kakiku melangkahkan ke halaman sekolah, semua anak laki-laki kelas 1 langsung meneriaki dan menghambur keluar kelas, buru-buru mereka memelukku. Menubrukkan badannya, menyembunyikan wajah-wajah penuh bedaknya ke dalam dekapanku.
Lalu, di mana istimewanya?
Hal seperti ini memang biasa saja, namun, tahukah kalian, bahwa siapa yang memelukku itu? Mereka adalah anak laki-laki yang kebanyakan, guru atau bahkan orang tuanya mengatakan bahwa mereka ‘nakal’. Tapi menurutku, mereka adalah anak-anak yang terlalu aktif dan terlalu bersemangat dalam menyampaikan apa yang ingin mereka lakukan.
Kini, mari kita bayangkan saja, ada anak laki-laki yang dibilang nakal, berhamburan keluar kelas, lebih dari empat orang secara bersama-sama memelukmu? Meski dalam dekapanmu, mereka saling berebutan untuk siapa yang paling dekat ke dalam pelukanmu.
Indah, bukan?
Ditambah, salah dua di antaranya berbicara dengan suara yang nyaris sesak karena berhimpitan dengan yang lain,
“Engku, mengajar di sini saja, ya. Kita ning mau kalau sama bapak guru.”
bagaimana? Masih tidak setuju denganku, kalau itu adalah indah?
Setelah beberapa jam keluar-masuk kelas yang satu dengan kelas yang lain, lonceng istirahat dibunyikan.
Semua siswa tanpa harus bertanya, tanpa diminta untuk bersitirahat, mereka sudah sangat peka untuk berlarian menuju lapangan sekolah. Apa lagi kalau bukan untuk bermain? Meski, halaman hijau yang luas itu, kali ini terlihat sepi sekali. Namun, tidak mengurangi sedikit pun rasa bahagia mereka.
Pantai dermaga pukul 15.40 Wita
Daun kering yang berjatuhan karena tertiup angin sore ini, jatuh tepat di antara kami yang sedang duduk-duduk di putihnya pasir pantai. Aku, Putra, Inne, Ical, dan Acil sedang bercerita sambil menikmati semilirnya angin.
“Siapa yang berani bercerita, kalau sudah besar nanti, kalian ingin melakukan apa?” tanyaku.
Aku mengganti, “Apa cita-cita kalian?”, menjadi “Apa yang ingin kalian lakukan?”, mengapa? Menurutku, jika aku bertanya tentang cita-cita, –seperti yang selalu guru atau orang tua tanyakan padaku atau pada anak-anak lainnya saat kecil- itu hanya memberikan batasan pada apa yang akan anak lakukan. Membatasi kreativitas mereka.
Mudahnya, jika kita bertanya tentang cita-cita, maka anak akan menjawab, “Dokter”, “Guru”, “Polisi”, dan segala jenis profesi lainnya.
Saat anak menjawab dokter semisal, maka ia akan selalu memikirkan bagaimana setelah ia lulus SD, SMP, dan seterusnya, ia harus mengambil jurusan apa yang mendukung, dan lain sebagainya (ini di luar asumsi bahwa, cita-cita anak akan selalu berubah. Kalau kalian menjawab seperti itu, ya, sudah, selesai perkara). Sehingga, ia akan terbatas melakukan kreativitas yang dimilikinya. Tanpa kita mengetahui bahwa sebenarnya, setiap anak memiliki daya kreativitas yang luar biasa.
Lain halnya jika, aku bertanya “apa yang ingin kalian lakukan?”, mereka akan berpikir lebih dalam, mengeluarkan segala jenis kreativitasnya, membuka segala hal ‘liar’ yang akan mereka lakukan. Tentunya, aku mengarahkan ke dalam hal-hal yang positif. Bebas di sini tetap sesuai aturan. Tapi semua ini hanya menurutku, lho.
“Saya ingin mengajar seperti engku. Tapi bukan jadi guru. Ya, seperti engku. Mengajar anak-anak di pulau-pulau, mengajar anak yang tidak bisa sekolah, atau mengajar opa-opa juga oma-oma yang belum bisa membaca.” jawab Inne yang satu-satunya anak perempuan sore ini.
Kalian dengar? Apa yang Inne inginkan? Sungguh mulia, bukan? Itu maksudku. Seandainya aku bertanya tentang apa cita-citanya? Mungkin ia akan menjawab, “Menjadi Guru”. Tanpa mengetahui sebenarnya ia sedang memikirkan anak-anak yang tidak sekolah, atau bahkan kakek-kakek dan nenek-nenek yang tidak bisa membaca.
“Waahh... luar biasa, Inne. Semoga Tuhan mengabulkannya, ya.” aku memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan, dan diikuti oleh yang lainnya.
“Siapa lagi?” tanyaku pada yang lain, mereka sudah khusyuk pada topik sore ini.
“Pemain sepak bola!” teriak Putra sambil berdiri dan memeragakan salah satu tendangannya. Di sekolah, Putra memang salah satu siswa yang pandai sekali bermain sepak bola.
“Tapi saya nggak mau bermain hanya di Indonesia saja, Ngku. Saya ingin ke luar negeri. Saya ingin main ke Jerman, Italia, Brazil, Filipina juga boleh deh. Hehehe.” ia duduk kembali.
Saat mengatakan Filipina, ia menunjuk ke arah pulau terluar Filipina yang terlihat dari pantai kami. Aksinya menunjuk pulau itu diikuti oleh tawa yang lain. Bukan menertawakan negaranya, melainkan, bahwa, kenyataan ke luar negeri yang satu ini bisa mereka tempuh kapanpun dalam waktu tidak sampai tiga jam. Dan tidak harus bermain bola untuk sampai ke sana.
“Saya, engku!” Ical terlihat berpikir.
“Hemmm... saya ingin membela tanah air. Tapi kalau menjadi tentara angkatan darat, saya sering mabuk. Kalau angkatan udara, saya takut jatuh ke bawah dari langit. Nanti bisa mati.” ia berhenti sejenak. Masih terlihat berpikir, kemudian ia tersenyum. “Saya mau di angkatan laut saja, engku. Saya tidak mabuk laut. Saya juga bisa berenang jika kapal di tembak musuh. Tinggal balompa, kong ia kumalang.[1]” anak-anak yang lain tertawa tak kalah kencangnya. Ekspresi Ical saat berkata balompa dan kumalang sangat lucu. Ia memeragakan jika ia tertembak musuh, meluncur ke laut, dan berenang secepatnya.
“Kong ikau, Acil?” tanyaku.
“Kalau menjadi nelayan, boleh?” tanya Acil yang kemudian disoraki oleh teman-temannya.
“Ssstt...” perintahku cepat sambil memberi isyarat untuk berhenti tertawa.
“Memang apa yang salah dengan menjadi seorang nelayan?” tanyaku pada semua anak-anak. Sambil memandang mereka satu persatu, aku mulai menjelaskan sesuatu yang mungkin baru bagi mereka.
“Menjadi nelayan itu pekerjaan yang mulia. Setiap hari, kalian makan ikan dari siapa? Apakah ikan-ikan itu datang sendiri ke rumah kalian tanpa harus di pancing, atau di tangkap? Nyandak, toh? Lalu, apakah semua orang bisa mengail ikan dan mendapatkan ikan yang banyak dan besar-besar? Tidak juga, toh?” anak-anak menunduk.
Saat ini, langit sudah kemerahan. Angin pantai juga semakin kencang. Kusuruh mereka tiduran, membuat lingkaran dengan kepala mereka saling bersisian. Memejamkan mata dan aku melanjutkan.
“Kalian boleh dan bebas ingin melakukan apa saja jika besar nanti. Menjadi guru dan mengajar anak-anak atau oma dan opa? Boleh. Menjadi pemain sepak bola yang hebat dan terkenal? Itu juga boleh. Menjadi tentara, menjadi polisi, dokter, atau nelayan? Tidak ada yang melarang. Yang paling penting adalah, kalian menjadi seseorang yang PinJur alias pintar dan jujur. Menjadi guru? Jadilah guru yang jujur. Tidak boleh mengambil apa yang bukan haknya. Bisa membedakan mana yang baik dan tidak. Pun juga saat ingin menjadi nelayan. Jadilah nelayan yang pintar dan jujur. Jujur dengan tidak menipu timbangan berat ikan, tidak menjual ikan yang busuk atau beracun, dan jadilah nelayan yang pintar agar tidak di bodohi atau di tipu oleh orang lain. Sehingga, untuk menjadi apapun, untuk ingin melakukan apapun nanti, kalian tetap harus bersekolah. Sekolah sampai setinggi-tingginya. Tidak hanya pintar membaca dan berhitung, tapi, pintar mengetahui mana yang baik, dan mana yang tidak baik. Di negara kita, orang yang pintar sudah sangat banyak. Tapi, orang yang pintar ditambah jujur, masih sedikit. Oleh karena itu, jika kalian sudah pintar, maka kejujuran adalah hal terpenting yang harus kalian miliki juga. Semoga semua hal mulia tersebut dapat di dengar Tuhan.”
Inne menangis. Air matanya mengalir perlahan membasahi pasir. Dada Putra terlihat naik-turun. Mereka mendengarkan dengan baik. Alam bawah sadar mereka meresponnya dengan sangat baik.
Aku memposisikan keadaan yang sangat tenang pada tiap masing-masing dari mereka. Saat pelatihan Pengajar Muda yang lalu, kekuatan alam bawah sadar setiap manusia sangat memiliki kekuatan yang besar. Tentunya diisi oleh hal-hal yang baik agar apa yang dikeluarkan bersifat positif.
Sebelum aku mengakhiri, aku mengulangi beberapa kalimatku,
“Jadilah apapun yang ingin kalian raih. Lakukan apapun yang baik yang ingin kalian lakukan. Tapi, ingat, jadilah apapun dengan pintar dan jujur. Sekolah yang benar untuk mendapatkan itu semua, ya.” Aku hanya ingin memberikan semangat, bahwa mereka harus tetap mengenyam pendidikan. Mereka harus tetap melanjutkan sekolah.
Kami beranjak bangun. Pasir-pasir yang menempel di celana dan baju tidak kami hiraukan. Kami bergandengan tangan melewati pasir pantai menuju rumah masing-masing. Terdengar suara mesin generator yang sudah dinyalakan dari beberapa rumah. Segerombolan siluet burung-burung kecil berterbangan, membelakangi sunset membentuk kerumunan yang mengindahkan mata.
***
[1]Tinggal lompat, terus saya berenang.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda