info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Skenario Tuhan Jilid 4; Bukan Sekedar Teriakan "MAK!"

Hairul 7 Maret 2015

Kicau burung gereja di atap rumah menggantikan kokok ayam pagi ini. Hari ini Mbak Iir kembali ke Pulau Nanedakele, sedangkan aku dan Shaski (Pengajar Muda Pulau Matutuang) mengisi waktu menunggu kapal dengan berkunjung ke pulau Beeng Darat –pulau penempatan Revi. Sekitar pukul 11 siang, kami sudah berada di dalam mobil angkutan lintas kota. Sambil menunggu mobil penuh oleh penumpang lain, kami bercerita ringan mengisi kejenuhan.

“Kalian sudah siap mengarungi perjalanan panjang? Tidak sejauh ke pulau kalian, sih. Tapi, kalian pasti akan baru pertama kali merasakan sensasi ‘puncaknya’ Tahuna.” kata Revi. Semakin lama, penumpang bertambah. Semakin sesak juga karena supir terus memaksakan kursinya diisi oleh lebih dari batas wajar jumlah penumpang.

“Kalau enci Revi saja bisa, berarti enci Shaskia dan engku Hairul juga pasti bisa.” Sahut Shaski sambil menyenggol bahuku.

“Ho-oh.” jawabku singkat.

Mobil keluar dari pelataran terminal dengan kondisi yang malas sekali aku ceritakan. Panas, sumpek, aroma yang tak sedap dari campuran keringat dengan parfum penumpang, dan bahkan aroma dari ayam goreng yang semakin membuat semuanya tidak nyaman. Lima belas menit pertama keluar dari kota Tahuna, mobil sudah masuk ke perbatasan kota lain. Jalanan sudah tidak ada yang datar. Kali ini, kami mulai menanjak sambil mobil terus berkelok-kelok. Memang seperti di Puncak-Bogor. Namun, ini lebih menyeramkan. Sisi sebelah jalan adalah jurang, yang di bawahnya terlihat laut yang sebenarnya sangat indah jika kita tidak berada di dalam mobil tua yang sesak ini.

Satu persatu penumpang tidur. Revi dan Shaski mencoba peruntungan untuk menahan sesak dan mualnya dengan tidur juga. Sedangkan aku? Mana mungkin bisa tidur. Alhasil aku hanya menyaksikan pemandangan yang indah dan sesekali mempererat pegangan saat mobil berbelok sambil terus menanjak.

Satu jam pertama sudah kami lewati. Menurut Revi, kami harus menempuh perjalanan darat selama 2 jam untuk memutari gunung-gunung agar bisa sampai ke kota sebelah. Berarti, sudah satu jam juga aku mulai menyadari bahwa, sedari tadi tak ada barang sedikitpun jalanan yang lurus untuk sekedar melepaskan pegangan pada sandaran kursi di depanku. Miring sana-miring sini. Belok sana-belok sini. Sambil terus menanjak tentunya.

Deru mobil tua tak hentinya memekakkan telinga. Suara klakson yang dibunyikan supir saat melewati tikungan, menjadi hal yang selalu terdengar juga karena memang jalanan selalu berkelok. Sesekali kami berpapasan dengan mobil serupa, dan antar supir yang satu memberikan beberapa kode pada supir yang lain. Kode jika di sana akan ada polisi lalu lintas atau tidak, kode jika ada penumpang di depan sana atau tidak, atau bahkan hanya sekedar menyapa.

Kalau tidak salah hitung, harusnya lima belas menit lagi kami sampai di ujung daratan. Kami akan turun di kecamatan yang setelahnya akan menaiki pumpboat untuk menuju Pulau Beeng Darat. Mataku tak henti-hentinya memandangi jam di pergelangan tangan kiriku. Aku rindu sabuk nusantara-ku. Meski harus melewati minimal 12 jam laut, ‘serunya’ menaiki sabuk hanya terasa jika ada ombak besar saja. Selebihnya aku bisa tidur-tiduran di kasur kapal sambil membaca atau benar-benar tertidur. Namun kali ini? Hampir dua jam melewati jalan darat yang berkelok-kelok sembari terus menanjak, membuatku ingin segera turun dari mobil ini. Keadaan diperburuk dengan tidak adanya penumpang yang turun ditengah perjalanan seperti kita naik angkot. Panas dan sumpek tetap menemani perjalanan panjang ini.

Kami pun sampai di ujung daratan. Sudah tersedia perahu kampung yang akan mengantarkan kami ke seberang. Di dalam perahu sudah ada Om Hengky –anak dari oma angkat yang tinggal bersama Revi. Mengarungi sekitar lima belas menit untuk menyeberang tak begitu sulit untuk kami yang memang biasa memandangi lautan jika harus kembali ke pulau. Kami tiba di Beeng Darat dengan selamat dan di sambut oleh oma angkat Revi.

***

Pulau Beeng Darat pukul 22.22 Wita

Pulau ini sangat besar. Bisa dua atau tiga kali lipat besarnya dari pulauku. Namun, pulau sebesar ini hanya berisi beberapa ratus jiwa saja. Jumlah penduduknya hanya sekitar puluhan lebih banyak dari jumlah penduduk di pulauku. Di pulau yang sudah memiliki sinyal telepon yang ‘agak’ baik ini juga sama seperti pulau penempatan PM Sangihe lainnya –belum ada listrik. Mirisnya, Pulau Beeng Darat ini hanya berjarak lima belas menit saja terpisah laut dari daratan besar yang dengan mata telanjang kita, daratan besar sangat terlihat terang benderang. Entahlah.

Revi tinggal bersama seorang nenek –oma biasa kami sapa- dan seorang anak lelakinya, Om Hengky. Mereka tinggal di pinggir pantai yang jauh dari rumah-rumah penduduk lain. Hingga sampai menjelang sore, tempat ini benar-benar sejuk. Cuaca yang dingin membuat aku malas beranjak dari balai-balai yang memberikan kehangatan dari kayu dan daun-daun kelapanya yang kering. Namun, beda lagi jika malam yang datang. Keadaan semakin membuat siapa saja malas untuk beraktivitas ke luar rumah. Bukan karena dingin, melainkan karena gelap yang sangat menakutkan. Jarak pandang mata tak sampai satu meter. Selebihnya, hanya cahaya dari petromak atau lampu senter yang bisa menerangi jalan. Ditambah dengan pemandangan tebing-tebing tinggi dan suara aliran sungai di sekitar rumah oma. Membuat semuanya semakin setuju untuk mengatakan bahwa ini mencekam.

“Enci Revi, Minjo kumang. Ajak ngana pe hapi. Kumang su dapur.[1]” Om Hengky meneriaki dari dalam dapur. Oh iya, rumah Revi ini beralaskan pasir dan dinding-dindingnya masih terbuat dari buluh bambu. Atapnya ditutupi oleh anyaman daun-daun seperti pohon kelapa yang sudah sangat kering. Dengan lampu petromak yang disangkutkan pada paku di dinding, makan malam kami saat ini sangat romantis. Kami berlima duduk mengitari sebuah meja yang cemong karena arang disana-sini, dengan menu makan malam ikan goreng yang sore tadi baru saja Om Hengky tangkap, ditambah dabu manta[2].

Sambil makan, oma yang sudah sangat tua tetap menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang memiliki selera humor yang tinggi. Selalu beradu cerita dengan Om Hengky, yang kemudian membuat aku, Shaski, dan Revi selalu tertawa. Suara jangkrik dari hutan yang semakin nyaring terdengar, tak menghilangkan betapa harmonisnya keluarga ini.

Ada hal yang sangat membuatku terharu saat ini, saat Om Hengky meninggalkan meja makan dan pergi menimba air di sumur, oma bercerita tentang sifat anak lelakinya ini. Om Hengky yang sebenarnya sudah sangat berumur ini memilih untuk tidak menikah terlebih dahulu. Semasa mudanya, ia menghabiskan waktunya dengan bekerja di luar pulau untuk membantu orang tua satu-satunya yang ia miliki itu. Setelah fisiknya tidak terlalu mendukung aktivitas berat yang ia lakukan, ia kembali ke Beeng Darat dan memutuskan untuk tinggal bersama oma.

“Maaak....” teriak oma menirukan suara Om Hengky. “Setiap malam, atau siang sekalipun, Hengky selalu berteriak memanggil oma.” sambung oma. “Dia akan terus memanggil oma sampai oma benar-benar menyahut panggilannya. Baik dengan kata ‘iya’, ‘apa’, atau hanya sekedar memukulkan piring jika oma sedang mencuci piring. Ia baru akan berhenti setelah mendengar sahutan oma.” oma berhenti bercerita sejenak. Bayangan api dari petromak yang terlihat di dinding kayu bergoyang-goyang mengikuti irama angin yang berhembus.

“Kalian tahu kenapa Om Hengky selalu begitu? Bukan karena dia suka bercanda, tetapi, ia hanya memastikan bahwa keadaan oma baik-baik saja. Ia akan merasa tenang jika sudah mendengar sahutan oma.” sambung Revi yang sudah mengetahui ceritanya. Ku lihat ada linangan di sudut mata tua oma. Kulitnya yang sudah keriput, ditambah rambutnya yang sudah tak terlihat sedikit pun warna hitam, membuat wajah cantik oma semakin sendu. Tak terasa, air mataku sudah mengalir. Teringat ibu di rumah.

“Pernah sesekali oma tidak menyahut teriakan Om Hengky, niatnya ingin mengerjai Om Hengky. Diluar dugaan, Om Hengky benar-benar panik dan mondar-mandir mengelilingi rumah oma. Mencari di sekitar tempat mandi, mencari ke tempat mencuci piring, di dapur, di dalam rumah, sampai ke pantai. Terlihat wajah om Hengky yang sangat tegang. Tak terlihat senyuman sedikitpun yang biasanya selalu menghiasi wajahnya.” lanjut Revi. Kali ini oma bangkit dari tempat duduknya. Sebelum ia pergi ke tempat masak, ia berkata, “Saat itu, oma keluar dari persembunyian, dan berjanji setelah itu sampai saat ini untuk selalu menyahut teriakan-teriakan Hengky. Oma tahu, ia sangat mencintai oma dan tak ingin kehilangan ibunya yang sudah tua ini.” tanpa terasa, Shaski menghapus linangan air matanya.

Sebagai anak laki-laki, dan seorang anak bungsu, mendengar cerita oma tentang Om Hengky membuatku semakin rindu orang tuaku. Sejatinya, pengorbanan Om Hengky yang memilih tidak menikah –karena ia khawatir akan isteri dan anaknya yang membuat waktunya berkurang untuk oma- membuatku semakin ingin melakukan yang terbaik untuk ibu dan bapakku. Sesuatu yang akan selalu membuat mereka bahagia. Apapun itu.

Api dari petromak dimatikan. Tak ada yang bercerita, tak ada yang bersuara, hanya kedamaian yang menyelimuti malam dingin kami. Selamat malam, Beeng Darat. Terima kasih untuk hari ini.

***

            Hujan di lembah Beeng ini menggoda sekali untuk sekedar memeluk guling lebih lama lagi. Ku tengok rajutan dedaunan yang menjadi atap dapur oma yang terpisah dari kamar tidurku, sudah dipenuhi asap. Oma sudah bangun sejak pagi sekali pikirku. Padahal ini baru pukul lima pagi.

            “Selamat pagi, oma!” sapaku saat bertemu oma ketika mengambil air wudhu di kamar mandi –tempat untuk mandi berukuran 1 x 2 meter tak beratap di luar rumah, yang dibuat dari kayu di empat sudutnya, dan ditutupi dengan kain seperti bekas spanduk.

“Pagi, engku! Bangunkan enci-enci itu. Teh manis masih panas. Ada sagu bakar juga. Enak di makan saat hujan dan dingin seperti pagi ini.” jawab oma sambil mengangkat sagu-sagu bakar yang asapnya masih terlihat putih.

“Iya, oma.” aku membangunkan Revi dan Shaski dari balai-balai dapur. Mereka tidur di dapur karena kamar hanya ada satu, dan itu untukku. Oma tidur bersama mereka di balai-balai. Padahal aku sudah menolak, namun, menurut oma, balai-balai di dapur berukuran lebih besar dan lebih hangat dibandingkan balai-balai yang ada di kamar yang hanya untuk 2 orang. Itu pun harus berdesakkan. Sebelum mandi, kami menyantap sarapan yang sudah oma siapkan. Sagu bakar dengan ikan goreng sisa semalam. Semuanya masih panas. Oma benar-benar bangun lebih pagi, dan menurut Revi, oma selalu seperti itu. Oma hobi masak dan siapapun yang datang, harus makan masakannya. Hal ini juga yang membuat Revi semakin ‘subur’ selama penempatan.

***

Sampai pukul 10 siang, hujan masih tetap mengguyur pulau ini. Aku dan Shaski ikut bersama Revi ke sekolah. Murid-murid yang datang semakin sedikit karena rumah mereka yang jauh dari sekolah, dan akses menuju sekolah yang terbilang sulit –melewati jalan setapak bertanah yang semakin licin jika hujan turun. Aku mengajar di kelas 3, Shaski membantu mengajar di kelas 6. Sedangkan Revi memang menjadi wali kelas 1. SD Inpres Beeng Darat ini tidak jauh berbeda keadaannya dengan sekolah-sekolah kami di Sangir ini. Kurangnya jumlah guru atau guru yang tidak datang ke sekolah, tetap menjadi hal yang paling terlihat di sini. Termasuk di Beeng Darat ini.

Tepat pukul 12 siang, anak-anak sudah meninggalkan sekolah. Hujan masih menyisakan gerimis-gerimis kecil. Kami bertiga kembali ke rumah oma, dan mengurungkan niat untuk jalan-jalan santai mengunjungi lendongan lain lantaran masih becek. Pasir-pasir menyelimuti kaki kami, dan belum saja sampai di dapur, oma sudah beteriak untuk menyuruh kami makan siang. Ah.. oma, apa jadinya jika aku yang tinggal disini? Semakin ‘subur’ karena tak kuasa menahan godaan demi godaan yang terhidang diatas meja makan.

“Maaak!” teriak Om Hengky dari luar dapur. Membuat kami di dalam hanya tersenyum menyaksikan rutinitas memanggil oma.

“Maak!” karena belum ada sahutan, maka Om Hengky tetap memanggil dan tidak peduli seberapa keras suaranya. Oma hanya tertawa sambil membolak-balikkan ikan di wajan.

“Oi” jawab oma singkat. Dan sudah diketahui arah ceritanya, maka tak ada suara lagi dari Om Hengky. Kami melanjutkan makan.

 

***

Kali ini, tugas membangunkanku tidak dikerjakan oleh ayam yang tak pernah jera dalam berkokok pagi-pagi buta. Aku terbangun oleh ‘nyanyian’ tikus-tikus di atap. Decitan suara mereka ditambah suara lari-larian mereka, membuat siapapun yang mendengar, tanpa menunggu suara ‘pesta’ lainnya, sudah akan terbangun. Kunyalakan lampu jam tanganku agar angka-angka terlihat dalam gelap. Waktu masih menunjukkan pukul setengah lima. Aku dan Shaski berencana kembali ke Tahuna, dan memang kami akan diantar oleh Om Hengky sampai daratan pukul setengah enam. Hari ini adalah hari pasar, dan mobil yang mengantarkan kami ke Tahuna akan berangkat tepat pukul 6, atau jika kami terlambat, maka kami harus kembali di hari esok.

Oma seperti biasa, sudah membuat dapur kecil itu mengepulkan asap-asap hangatnya. Revi dan Shaski yang juga sudah terjaga terlihat membantu oma dalam menyiapkan bekal untuk perjalanan pulang kami. Namun, bekal memang untuk bekal yang dimakan di jalan, sebelum berangkat, kami harus sarapan terlebih dahulu. Oma hanya berkata, “Yasudah kalau tidak mau, jatah anak kos akan berkurang selamanya.” candanya. Oleh karena itu, meski hanya sepotong pisang goreng, atau segulung sagu bakar, kami harus mengisi perut-perut kami.

            Tepat sebelum pukul enam, kami sudah sampai di daratan. Mobil tua yang akan mengantarkan kami sudah terlihat bersiap-siap. Semoga pagi ini, tidak ada aroma keringat-keringat yang mengganggu perjalanan, dan semoga, tikungan selama dua jam mendadak menjadi jalan-jalan tol yang dapat membuat laju mobil tua ini sedikit bersahabat. Meski tidak mungkin, dan kenyataannya kami sudah duduk bersama orang-orang yang ingin ke Tahuna, dengan wewangian yang aneh, juga dengan ayam-ayam hidup –bukan ayam goreng seperti beberapa hari yang lalu- yang akan dijual di Tahuna. Baiklah, selamat menikmati perjalanan. Terima kasih, oma. Terima kasih Om Hengky, dan, terima kasih, Beeng Darat!

 

*Nb: 7 Maret 2015 = hari ke-265 penempatan kami. Selamat mengisi 100 hari yang menakjubkan!

[1]“Enci Revi, ayo makan. Ajak kamu punya teman. Makan di dapur.”

[2]Sambal mentah yang dibuat dengan cabai, irisan tomat, dan perasan air jeruk limau yang memiliki rasa segar.


Cerita Lainnya

Lihat Semua