Tepuk Semangat!!!

Habiba Nurul Istiqomah 17 Januari 2017
"Jeniaaa, salah! Bukan begitu. Begini hee bodoh!!" Teriak seorang anak laki-laki mengomentari langkah tegap maju temannya. "Seng ada yang komentar. Su Ibu bilang to di sini cuma Ibu yang boleh kasih komen." Ucapku pada anak-anak itu. Baru aku menutup mulut sejenak. Komentar negatif datang dari anak yang lain. "Jeniaa bodoh ee, buta huruf paling nau-nau." Terik matahari siang itu rasanya bisa membuat darah semua orang mendidih. Ditambah lagi dengan hujan makian yang sedari tadi sulit ku kendalikan. Beribu kata yang kuucapkan rasanya tidak dapat menghentikan peluru makian yang terus menerus meluncur dari mulut kecil anak-anak ini. Ku perhatikan wajah Jeni mulai memerah dan mata sudah berkaca-kaca. Ku dekati dia. "Jeni seng usah dengar apa yang dong bilang. Dong sendiri sa belum bisa gerak jalan. Ayo semangat, sedikit lai pasti bisa. Jeni pung gerakan su lebih baik dari yang ke muka." Jeni mengangguk dan melanjutkan latihannya. "Ganti sudah Ibu. Jang Jeni. Jeni paling nau-nau ee." Mendengar ucapan itu, air mata Jeni tak sanggup dibendungnya lagi. Gadis kecil itu pun berlari sambil menangis menuju kampung. Aku berusaha mencegahnya tetapi gagal. Kericuhan pun terjadi antara si pembela Jeni (red:sahabat) dengan si pemaki. Jujur saja sebenarnya aku lelah, ingin ku lem rasanya mulut mereka agar tidak bisa lagi memaki. Ini bukan kali pertama kericuhan terjadi. Setiap kali pelajaran di luar kelas, pasti ujung-ujungnya ribut. Berbagai cara preventif maupun kuratif sudah ku lakukan. Tapi hasilnya sama. Aku tidak bisa menghentikan makian yang terjadi di antara mereka dan hasilnya pasti ada yang menangis lalu kabur ke kampung. Hah, sampai bosan aku dengan tingkah mereka. Aku terus berpikir dimana salahnya. Kenapa setiap di kelas mereka bisa akur, kalaupun saling mengejek pasti tidak sampai ada yang kabur ke kampung. Hingga kemudian aku sadari satu hal tentang apresiasi positif. "Tepuk Semangat!" "Prok-prok-prok Se, Prok-prok-prok Ma, Prok-prok-prok Ngat, Seee-Ma-Ngat!!!!” Tanpa dipandu olehku lagi, anak-anak akan langsung memberikan semangat pada anak yang belum bisa menjawab atau mengerjakan sesuatu di dalam kelas. Kata-kata makian atas kelemahan orang lain mulai sedikit demi sedikit tergantikan oleh gemuruh "Tepuk Semangat". Hal itulah yang tidak aku biasakan ketika pelajaran di luar kelas. Tujuh matahari yang menyinari pulau ini menyebabkan aku ingin cepat-cepat mengakhiri pelajaran outclass sehingga tepuk-tepuk apresiasi dan energizer jarang aku berikan. Pada dasarnya hati kecil manusia pasti menyadari setiap kesalahan maupun ketidaksempurnaan tindakannya. Mengungkitnya kembali hanya menambah kekhawatiran akan terulangnya kembali kesalahan itu maka kesalahan akan terus terjadi atau malah membuat seseorang tidak mau bertindak lagi lantaran takut salah. Sebaliknya, mengungkit usaha kecil walau hanya sebutir debu sekali pun akan mendorong seseorang mencobanya lagi, lagi, dan lagi hingga akhirnya ia bisa. Apresiasi itu begitu sederhana. Sesederhana saat mama piaraku berkata "Eh nona su bisa masak nasi di belanga", ketika beras yang aku masak tidak hangus. Padahal menurutku nasi itu sedikit tidak matang. Sesederhana saat muridku berkata "Ibu pung gambar paling jelas ee", padahal aku tidak bisa menggambar. Sesederhana tepuk satu, dua, atau tiga kali ketika ada yang melakukan kebaikan. Apresiasi hanya tentang bagaimana merespon positif setiap usaha kecil yang dilakukan, bukan tentang pemberian material. Dan aku melupakan hal sederhana yang berefek besar ini.

Cerita Lainnya

Lihat Semua