Posisi Ketiga

Gracia Lestari Tindige 2 Maret 2012

Langit berwarna biru berlian dan matahari menggantung tinggi, bersinar terang, angkuh.

Hari yang panas. Rasanya saya ingin pulang, masuk ke kamar yang sejuk dan tidur siang. Tapi, di sini saya, duduk bersama anak-anak yang sedang menekuri kertas gambar bereksperimen dengan warna.

Musik mengalun, sembari menunggu anak-anak yang lain datang saya ikut duduk dan mewarnai gambar bersama mereka, maksudnya untuk memberi contoh bagaimana cara mencampur warna dengan berbagai macam cara.

Kami bicara... tertawa... bercanda... kemudian terjadilah percakapan polos yang keluar dari murid-murid kelas satu itu. Sebuah percakapan yang membuat saya seketika berpikir dan mungkin akan saya ingat seumur hidup saya.

Desi     : “Gambar ibu bagus talalu ooo... paling bagus...”

Tika      : “ Sonde... paling bagus itu Tuhan pung gambar...”

Saya     : (tertawa) “Iya... Tuhan kalau gambar pelangi keren lho...”

Sara     : “Kalau begitu Tuhan nomer 1 baru habis itu ibu”

Desi     : “Sonde naah... yang kedua itu orang tua... Tuhan dulu, orang tua, baru ibu...”

Tika      : “Ibu juga orang tua kotong oo...”

Saya tertawa mendengar polosnya kalimat yang mereka ucapkan. Tapi hati saya mencelos dan otak saya berpikir, sebegitu pentingkah posisi seorang guru dalam hidup seorang anak? Bayangkan! Guru berada di posisi ke tiga setelah Tuhan dan orang tua... bahkan bagi mereka guru adalah juga orang tua (naik dong ke posisi dua).

“Padahal siapa sih guru?” pikir saya dalam hati. Saudara bukan, tetangga bukan (setidaknya saya bukan tetangga murid-murid saya) tapi keberadaannya menjadi penting dalam hidup seorang anak. Suaranya disimpan dalam hati seorang anak. Perkataannya di pahat dalam memori otak mereka. Perilakunya ditiru.

Seketika saya merasa tidak layak mengemban tugas mulia itu... sungguh tidak layak.

Kesadaran kemudian membuncah dari pikiran saya. Sebuah kesadaran bahwa saat saya berdiri di depan kelas, saat tangan dipenuhi debu kapur, saat duduk dan mengeja keras-keras, saat melihat senyum bangga seorang anak yang berhasil menjawab pertanyaan, saat berjingkrakan di kelas mendongeng, saat terpekur menyusun lagu pelajaran, setiap detail momen yang sudah saya lalui untuk mengajar anak-anak ini ternyata adalah sebuah anugerah. Anugerah untuk ambil bagian dalam hidup seseorang. Anugerah untuk ikut berinvestasi di masa depan.

Saya mungkin tidak berusia panjang. 50 tahun lagi mungkin nama saya hanya ada di atas nisan. Tapi bagian hidup saya yang pernah saya paterikan di hidup murid-murid saya pasti sedang bergiat dan berkarya di dunia. Dengan demikan saya mati tetapi saya hidup.

Dari situ kemudian saya berpikir lagi... jejak macam apa yang sudah saya tinggalkan pada anak-anak ini? Apakah selama ini saya sudah berusaha untuk menyarikan bagian terbaik dari diri saya untuk mereka simpan menjadi bagian hidup mereka?

Apakah saya sudah mencontohkan mereka untuk menjadi pribadi yang sabar? Yang mau menegur bukan dengan bentakan atau pukulan, yang memberikan alasan ketika mereka harus menerima konsekuensi dari tindakan mereka. Apakah saya sudah mencontohkan mereka untuk menjadi pribadi yang pantang menyerah? Yang mau putar otak, meluangkan waktu, menyisihkan energi supaya belajar menjadi hal yang menyenangkan dan bersahabat, supaya tidak ada lagi cap “otak berat” menempel dijidat mereka yang saya ajar. Apakah saya sudah mencontohkan mereka untuk menjadi pribadi yang berintegritas? Yang mau memberikan tindakan terbaik dari diri saya bahkan ketika tidak ada orang lain yang melihat.

Apakah saya sudah meninggalkan jejak yang terbaik untuk mereka simpan dan mereka ikuti?

Hari ini panas. Tapi saya bersyukur saya tidak pulang, masuk ke kamar dan tidur siang.

Waktu saya pendek. Kurang dari 4 bulan lagi saya kemudian tidak lagi menunjuk tulisan di papan, berkeliling melihat tangan-tangan kecil membuat coretan, tersenyum mendengar tubuh kecil tapi bersuara lantang sedang menyiapkan barisan, bernyanyi, menari, bercerita, dikerumuni oleh pertanyaan dan cerita-cerita harian ketika duduk di pintu kelas. Tak lama lagi saya akan sangat merindukan ketika ada suara seorang anak berseru “Ibu Grace!”

Guru ada di posisi ketiga, setelah Tuhan dan orang tua. Sungguh sebuah kehormatan bagi saya untuk bisa mengecap pengalaman berada di posisi tersebut. Rasanya ingin memeluk sekaligus 36 orang anak itu dan berbisik pada mereka...” ayo kita kerja lebih keras lagi semester ini, ayo berjuang lebih semangat lagi... karena tinggal sebentar lagi ibu di sini”

Bandu, 16 Februari 2012  


Cerita Lainnya

Lihat Semua