Diam itu Emas,... Tapi Engkau Punya Intan ;)

Silvia Ramadhani 26 Februari 2012

 

 

Jan, 2012

Hari yang cukup istimewa. Kurasa. Pagi ini pergi ke gereja, kebetulan ada pengobatan gratis disana. Luka di tanganku, yang dahulu hanya sebesar koin 25 rupiah, kini telah semakin membesar. Dua kali datang ke dokter spesialis kulit ternyata tak cukup “membayarnya” untuk angkat kaki dari tubuhku. Dan hari ini, seorang dokter kulit dari Korea datang menggelar pengobatan gratis. Aku pun mencoba “keberuntungan” kali ini.

Namun sayang, harapanku pupus setelah sejenak aku duduk dihadapan lelaki tua berumur sekitar 70an itu. Beliau—dengan Bahasa Indonesia yang terpatah-patah—Ia tak mau sama sekali menggunakan Bahasa Inggrisnya, entah mengapa—menyuruhku datang di tempat prakteknya sementara ini, yakni di rumah jabatan Bupati. Besok pagi, kami pun berjanji akan bertemu disana. (Aku heran, kenapa ia tak langsung memberiku obat seperti yang lain. Beberapa kemungkinan yang aku fikirkan adalah 1. Beliau melihatku cukup mampu dan tidak pantas mendapat penanganan disitu 2. Gangguan yang aku derita lebih berat ketimbang yang lain dan membutuhkan penanganan khusus 3. Dia ingin melihat mata indah ku sekali lagi dan lebih lama :D Apppassssihhh...*pasti kata Cella demikian, hehehe...intermezo ;> Udah aki-aki kali Cil...Hahaha...)

Apapun itu, yang jelas keputusannya, besok kami bertemu. Sepulang dari gereja—dengan sedikit rasa kecewa dan sedih di dada ‘.’ Aku pun bersiap untuk segera pergi ke Ba’a. Hari ini, kami, Roters ada rapat koordinasi lanjutan tentang pelatihan guru se-Rote Ndao. Aku pun segera meluncur dengan terlebih dahulu meminjam speeda motor Bapak Frans. Tak seperti biasanya, karena berencana langsung pulang—dan tidak menginap, aku membawa serta Tasya, anak Bapak Frans—sahabat kecilku disini.

*

Bertemu dengan teman-teman seperjuangan memang selalu menjadi charge tersendiri bagiku, atau mungkin juga bagi kami semua. Seperti kali ini, meski baru singkat bertemu dengan mereka, aku sudah merasa dan kembali teringat, bahwa aku tak sendirian.

Lama dan semakin lama ada di daerah penempatan membuat kami semakin belajar banyak. Disalah satu perbincangan ringan kami—yang sering kami sebut dengan “nyampah”—alias ngeluarin unek-unek apapun tentang yang kami rasakan, banyak hal terkuak. Salah satunya adalah pengakuanku tentang “Aku kuq sekarang jajdi jahat ya?” ucapku pada teman-teman. Mereka pun meng-hua...Alias membuka mulut sambil bilang, huuuaaa... Cicil jadi jahat. Hmmm...aku pun merasa...Merasa... Sebelum aku sempat merasa...mereka meneruskan, “Hahahaha... Kita semua kayaknya sekarang jadi lebih jahat,” ujar Cella. Teman-teman lain pun menimpali, “Hahaha...Rote bikin kita jadi orang jahat,” diiringi gelak tawa kami bersamaan.

Kami jadi jahat? ‘,’ Hmmmm...tunggu duluw...Yang kami maksud dengan jahat adalah... Hmmm... Ini salah satu definisi jahat versiku, yang sama sekali tak diamini teman-teman ‘o’...

**

Aku pun menceritakan bagaimana devinisi kejahatan yang telah aku lakukan. Ceritanya singkat saja, aku bilang pada mereka bahwa akhir-akhir ini aku “sudah tak tahan lagi” dengan banyak hal “yang tak seharusnya terjadi di sekolahku”. Aku pun, yang tadinya masih punya batas toleransi—mungkin paling tinggi diantara PM yang lain (*mungkin loghwm ya, mungkin) tak bisa lagi menerimanya begitu saja. Yang selama ini aku hanya mencotohkan yang terbaik untuk hal-hal terburuk, atau katakanlah buruk—saja— (karena pepatah bilang, pertahanan yang terbaik adalah perlawanan) akhirnya berfikir bahwa sudah datang waktunya dimana aku harus memangkas dulu yang buruk untuk hasil terbaik.

Aku pun mulai mengkritik—karena disini harus ada logika baru sebelum logika lama bangkit. Aku mengkoreksi setiap hari beberapa guru yang tidak melakukan tugasnya dengan baik—dan juga memprofokasi guru lain untuk turut “peduli” akan hal yang sama. Tapi, ketika pembicaraan berlangsung, larinya selalu saja pada “Semua kembali ke individu masing-masing”. Dan... Huaaaa.... Kata-kata mutiara yang sungguh “membunuh” banyak orang karena mutiara itu—yang dirangkai menjadi  kalung dan dipakai setiap hari—justru mencekik pemiliknya.

Bayangkan saja, bagaimana sebuah organisasi bisa berjalan dengan optimal jika:

a.       Sebagian besar anggotanya, katakanlah 75 % tidak berperan aktif

b.      Jumlah anggota dengan presentase yang sama tidak tahu tugas pokok dan fungsi

c.       Seluruh anggota tidak peduli antara satu dengan lainnya

d.      Tidak pernah ada evaluasi untuk pekerjaan secara rutin

e.      Absensi hanya menjadi kebiasaan, dan hasilnya hanya akan menjadi “sampah” karena isinya fiktif semua

f.        Dll

Sementara si pimpinan tidak mengadakan fungsi controlling dan hanya bilang, semua dikembalikan ke pribadi masing-masing—karena setiap perbuatan memiliki tanggung jawab sendiri-sendiri (terutama kepada Tuhan Yang Maha Esa, bagi saya Allah S.W.T.).

Aku yang tadinya sangat prihatin dan selalu menanyakan kabar bapak atau ibu guru yang tidak masuk sekolah, juga lama-kelamaan jadi apatis. Mau masuk atau tidak, itu sudah biasa. Hal ini kemudian yang membuat saya menjadi jahat. Untung saja, beberapa waktu yang lalu—yang sebenarnya setiap hari telah saya rasakan—ada bisikan yang membawa saya untuk kembali peduli. Menyerahkan “pembalasan” terhadap apa yang dilakukan masing-masing individu kepada Tuhan-nya bukanlah sesuatu yang salah, karena mungkin, saya fikir demikian, semua agama mengajarkan hal yang sama. Namun disisi lain, bagaimana dengan tugas kita sebagai khalifah di muka bumi ini?

Sekilas, teringat perbincanganku, yang lagi-lagi membicarakan tentang lepasnya tanggungjawab seorang pemimpin dan tanggungjawab masing-masing individu terhadap tugasnya—sesuai dengan jabatannya di mata Tuhan dan manusia.

Saat itu, mungkin sekitar 4 harian yang lalu, aku dan Bapak Frans—salah satu guru di sekolah, sedang ada di atas motor dan melintasi jembatan yang sama sekali tak layak guna lagi—kayunya sudah “ompong” disana-sini. Kami berbincang tentang hal di atas. Lagi-lagi, seperti “orang-orang” baik disini lainnya, Bapak Frans berkata “Di Al-Kitab, berkata...,”  apa yang ia katakan, intinya, semua akan ada balasannya di akhir nanti.

Aku pun menimpali, memang benar demikian, di saya punya Al-Kitab pun demikian. Tapi ada satu hal lagi yang saya pelajari di Al-kitab saya (yang belakangan aku ketahui, ternyata adanya di Hadist) bahwa Jika kamu melihat kemungkaran, ubahlah dengan perbuatan. Dan jika tidak bisa, ubahlah dengan perkataan. Dan jika masih tidak bisa, ubahlah dengan hati, atau doakanlah. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.

***

Teman-teman, yang sedang berjuang, agar menjadi manusia yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama (doaku mulai kecil hingga sekarang ;>), mari sama-sama kita menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menyentuh insan lain yang seharusnya kita sentuh. Tidak melakukan apa yang seharusnya bisa kita lakukan—berdasarkan pengalaman saya pribadi hanya akan mempermegah rasa sesal dikemudian hari. Mari buka hati, mari peduli :D

 

“Diam itu emas. Banyak bicara itu perak. Ada satu lagi... Intan. Bicara di saat yang tepat” J


Cerita Lainnya

Lihat Semua