Laut terbelah dan cita-cita mereka

Gracia Lestari Tindige 21 Agustus 2011
Berhadapan langsung dengan seorang anak membuat saya sering bertanya dalam hati: akan jadi apa mereka ketika mereka sudah dewasa nanti? Pada suatu hari, seusai sekolah saya duduk santai dan mengobrol dengan wajah-wajah polos tersebut. Saya bertanya pada mereka, “Kalau nanti lu su besar, lu mau jadi apa?” (kalau nanti kamu sudah besar, kamu mau jadi apa? –red) Mereka kemudian menjawab, sebagian dengan teriakan antusias, sementara yang lain dengan suara pelan dan wajah malu-malu. “Beta mau jadi guru!” “Beta mau jadi Polisi!” “Kalau beta, mau jadi pemain bola seperti Christiano Ronaldo” “Beta mau jadi guru”, “Beta juga sama, mau jadi guru” “Beta mau jadi petani” “hahahahahaha!” teman-temannya tertawa. Sambil tersenyum saya berkata “Awiii, kalau sonde ada yang mau jadi petani nanti kotong makan nasi dari mana? Harus ada itu yang jadi petani.” (kalau tidak ada yang mau jadi petani, nanti kita makan apa? Harus ada yang jadi petani -red) Si calon petani pun tersenyum merekah, setelah sebelumnya tertunduk malu atas cita-citanya. “Beta mau jadi dokter” “Beta mau jadi tentara” Pembicaraan terus berlanjut, cita-cita yang disebutkan berkisar itu-itu saja dengan profesi guru sebagai juaranya. Hampir sebagian besar anak-anak murid saya ingin menjadi guru. Dalam hati saya bernapas lega, dengan demikian dalam 10-15 tahun ke depan, Rote tidak akan kekurangan guru. Saya belum mendengar ada anak yang bercita-cita menjadi arsitek, insinyur, peneliti, astronot, menteri, presiden, artis ibu kota atau bentuk profesi lain yang lazim disebutkan oleh anak kota. Entah apa sebabnya. Mungkin karena profesi tersebut tidak pernah mereka dengar atau mungkin karena mereka merasa tidak mungkin mencapai cita-cita tersebut. Kadang saya pikir, alasan kedua adalah jawabannya, setidaknya alasan itu yang diberikan oleh orang tua dan guru-guru mereka. Karena bangga mendengar cita-cita anak-anak itu, selepas bicara dengan mereka saya kemudian bercerita pada kepala sekolah tentang cita-cita tersebut. Sambil tersenyum kepala sekolah berkata pada saya, “Kalau jadi guru atau polisi dong masih bisa, tapi kalau jadi dokter su sonde mungkin. Dong semua anak desa sa, orang tua son mampu kasih biaya dong sekolah sampai jadi dokter. Itu mimpi sa, kalau dong sampai mau jadi dokter.” (mereka masih mungkin kalau mau jadi guru atau polisi, tapi tidak mungkin kalau mereka mau jadi dokter. Mereka itu anak desa, orang tua tidak akan mungkin mampu membiayai mereka sekolah sampai jadi dokter. Cuma mimpi lah kalau mereka mau jadi dokter –red). Wajah sumringah saya berubah menjadi raut sedih. Sedih karena guru sebagai pemberi harapan, justru kehilangan harapan. Meski saya sudah bercerita tentang ketersediaan beasiswa dan pengalaman pribadi teman-teman saya para penerima beasiswa, rasanya cerita saya dan cita-cita anak-anak itu hanya seperti dongeng saja. Indah tapi tidak nyata. Kadang saya pikir, harapan tipis dan kurangnya informasi yang diberikan pada anak-anak itu membuat mereka tidak berani menaruh harapan tinggi-tinggi. Suatu ketika saya bertanya pada mereka, “Siapa nanti yang sudah besar mau jadi Menteri atau presiden?” Biasanya mereka akan menjawab, “Awiiii! Beta son bisa!” (aih, saya tidak bisa –red) atau ketika saya bertanya, “Siapa yang mau sekolah sampai kuliah di Jawa?” Lagi-lagi pertanyaan saya biasanya disambut dengan senyum malu-malu yang seakan berkata, itu tidak mungkin. Saya jengah dengan tipisnya harapan anak-anak itu. Saya ingin mereka lihat apa yang saya bisa lihat dari diri mereka. Bahwa mereka, meski anak-anak adalah pejuang tangguh yang bergelut dengan alam dan keterbatasan untuk mengecap pendidikan. Kalau saat ini mereka mampu berjalan telanjang kaki 4 Km mendaki bukit ke sekolah untuk belajar, maka cita-cita dokter dan menteri bukanlah sekedar harapan kosong. Mereka hanya perlu kembali berjuang, dalam bentuk yang berbeda. Mereka butuh diberi tahu, bahwa mereka memiliki kekuatan dan harapan. Suatu hari saya diberi kesempatan untuk menyampaikan harapan itu. Hari itu saya berdiri di hadapan sekitar 20 orang anak-anak, mereka adalah anak-anak sekolah minggu yang saya ajar. Saya bercerita tentang sebuah keajaiban besar yang pernah terjadi ribuan tahun lalu. Kisah ketika Musa membelah laut teberau. “Cerita ini dimulai dengan kepulan debu dan pasir di udara... suara ringkikan kuda dan roda kereta sayup-sayup terdengar. Tidak lama kemudian terlihatlah bayang-bayang... ratusan orang berwajah merah, marah, mengejar dengan kecepatan penuh sambil tangan memegang pedang panjang. Mereka siap menghabisi siapa pun yang berani melawan...” Suasana begitu hening. Mata bening mereka menatap saya dengan penuh keseriusan. Wajah mereka terpaku, seakan-akan pasukan marah pembawa pedang sudah berada di dekat mereka. “Bangsa itu terdesak, dibelakang sudah berkumpul pasukan besar yang siap mencabut nyawa mereka... sementara itu di depan lautan luas membentang... mereka kehilangan harapan, satu-satu orang mulai menangis dan berharap supaya mereka mati saja di tanah perbudakan... Musa pemimpin mereka, diam dan mulai berdoa... dan terjadilah sebuah keajaiban... ketika Musa mengangkat tangannya angin kencang datang dan laut pun terbelah menjadi dua... kalian ingat waktu kita ke pantai dan kalian lari karena dikejar ombak, kali ini ombak yang terjadi jaauuuhhh lebih besar daripada yang pernah kalian lihat! Bahkan lebih tinggi dari gedung gereja! Ombak besar membelah lautan, sehingga tembok air ada di kiri dan kanan mereka.” Wajah mereka berbinar-binar, napas tertahan, mata melirik tembok gereja, seakan-akan merekalah yang berjalan ditengah-tengah lautan itu. “ Lihat! Tanah yang mereka injak kering...dan mereka berjalan di tengah-tengah lautan! Mereka berjalan dengan sukacita menuju ke seberang! Mereka selamat! Yeeeaahhh! Mereka selamat!” Mereka menarik napas lega, tersenyum dan kemudian tertawa! Saya lalu bertanya, “Menurut kalian siapa yang keren di cerita tadi?” “Muuussssaaaa!” serempak mereka menjawab! “Oke, Musa memang keren. Tapi, karena siapa Musa bisa membelah lautan?” “Tuhhhaaannnn!” lagi-lagi dengan kompak mereka menjawab. “Kalian percaya tidak, kalau Tuhan yang menolong Musa, sama dengan Tuhan yang kalian percaya?” “Peeeerrrcccaaayyyaaa!” mereka masih kompak menjawab. “Kalian percaya kalau Tuhan yang membelah lautan, juga mampu membantu kalian mencapai cita-cita kalian?” “...” Kali ini mereka kompak tidak menjawab. “Kalau waktu itu Tuhan mampu membelah lautan, maka Kak Gracia juga percaya kalau Tuhan yang sama juga mampu membantu kalian menjadi dokter atau guru, menjadi tentara atau menteri, atau kuliah ke luar negeri!” Suasana masih begitu hening, mata polos dan bening menatap ke depan. Dalam hati saya berdoa, “Tuhan berikan mereka harapan. Tuhan bantu mereka mencapai cita-cita mereka.” “Kalian bisa membelah lautan?” “Tidaaaakkk!” “Apakah Tuhan bisa?” “Bisssaaaa!” “Kalau begitu, Tuhan yang sama juga bisa membantu kalian mencapai cita-cita kalian yah! Ingat itu oke!” “Okkeee!” Saya melanjutkan cerita tentang pengalaman diri saya yang harus menunggu 2 tahun semenjak lulus untuk cita-cita saya tercapai dan bagaimana Tuhan dengan manis-nya memenuhi cita-cita tersebut. Ada 20 wajah polos menatap saya pada hari itu. Keduapuluh wajah itu tersenyum. Orang tua mereka mungkin tidak memiliki cukup uang untuk mengantarkan mereka sampai bangku kuliah. Guru-guru mereka mungkin terpaku pada kenyataan hidup yang keras setiap harinya. Mereka mungkin berpikir asal bisa sekolah, membaca, menulis dan berhitung cukup sudah. Saya mungkin tetap dipandang sebagai seorang pemimpi. Tapi saya yakin, jika Tuhan mampu membelah lautan, suatu saat, salah satu dari mereka yang pernah saya ajar akan mengapai apa yang mereka citakan. *sepulang gereja, salah seorang murid sekolah minggu berkata, “Tadi waktu kak Gracia bercerita, beta sonde mau ceritanya selesai” (tadi waktu kak Gracia cerita, saya tidak mau ceritanya selesai -red), berbagi harapan – priceless.

Cerita Lainnya

Lihat Semua