Kelas Pertama Sekolah Kehidupan Rote Ndao

Gracia Lestari Tindige 6 Juli 2011

“domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya”

Selasa, 05 Juli 2011 Ini adalah sore yang cantik di Tuabuna. Angin dingin bertiup agak kencang semenjak pagi menggesek dedaunan pohon lontar yang sudah siap disadap niranya. Wajah sebagian penduduk cerah merekah, mengingat musim panen nira sudah tiba. Saya dan Mama Ani (mama piara saya) beserta 3 orang adik melenggang santai ke depan Gereja. Bukan untuk beribadah, tapi untuk berburu kayu api. Cadangan kayu api di rumah sudah menipis, but thanks God ada tumpukan kayu di depan gereja yang boleh di ambil siapa saja. Gratis! Tidak ada yang berebut, semua boleh ambil sesuai dengan yang dibutuhkan dan kemampuan untuk membawanya sampai ke rumah masing-masing. Maklum, di sini belum ada kendaraan umum dan tidak semua warga memilki motor. Mama Ani beruntung karena punya tenaga srikandi-srikandi muda, yang meskipun berbadan kecil kekuatannya tidak boleh diremehkan. Kami berjalan pulang membopong kayu api ditangan bersama dengan dua orang oma. Di sini saya menyapa mereka dengan panggilan mama. Usia mama yang tidak saya ketahui namanya mungkin sudah sekitar 70 sampai 80 tahun, tergambar jelas dari keriput-keriput akibat usia lanjut. Dengan ramah dia menyapa saya dalam bahasa Indo-pang (Indonesia Kupang-red): “Sonde berat ko?” tanya mama itu pada saya. Dengan ringan saya menjawab, “Sonde mama, ini ringan sa. Mama pung berat ko?” karena memang mama tersebut mengangkut dua ikat kayu bakar besar-besar di pundaknya, yang saya yakin, jikalau saya yang membopong saya pasti sudah berhenti di tengah jalan kelelahan. Mama menjawab, “Ho, berat.” Saya kemudian bertanya, “mama pung rumah masih jauh ko?”, “Sonde dekat sa,” Jawab mama sambil menunjuk arah ke samping rumah saya. Wuah, ternyata mama itu adalah tetangga sebelah rumah. Setelah dua kali bolak-balik, kayu bakar di depan gereja tinggal sedikit yang tersisa. Karena masih memiliki cukup banyak cadangan tenaga, saya memutuskan untuk kembali ke gereja dan mengambil kayu bakar yang tersisa. Di tengah perjalanan saya terperangah dengan pemandangan yang lagi-lagi belum pernah saya lihat sebelumnya secara langsung. Biasanya adegan-adegan seperti itu hanya saya lihat di televisi. Seekor kambing coklat berjalan hati-hati di sebuah jalan setapak, dibelakanggnya ada puluhan kambing berwarna putih berbercak hitam mengikuti. Seakan-akan si kambing coklat adalah komandannya. Tidak ada yang berdiri di depan kambing coklat, tapi dia seakan-akan tahu kemana harus berjalan. Dan tanpa banyak tanya puluhan kambing lain, mengikuti dengan setia di belakangnya, tidak ada yang bahkan berani mendahului si coklat. Setelah sampai jalan utama, si coklat menyadari keberadaan saya di pinggir jalan, menatap gerombolan itu dengan wajah terkesima. Melihat saya dia seperti waspada. Dia berhenti pura-pura menjilat-jilat bulunya, tidak maju selangkahpun. Herannya, puluhan pengikutnya pun berhenti, tidak ada niatan mendahului. Sesekali gerombolan kambing putih hitam itu mencicipi rumput di pinggir jalan. Karena tidak ingin membuat mereka merasa tidak nyaman, saya pun sedikit menyingkir dan pura-pura berjalan. Ah, si coklat kemudian mulai berani bergerak kembali. Dalam pikiran saya bertanya-tanya, apakah sekarang ini kambing menjadi begitu pintar sehingga bisa pulang sendirian ke kandang? Bahkan bisa begitu teratur berjalan. Si coklat terus berjalan. Rombongannya tetap setia dibelakang. Kemudian sampailah mereka di depan pintu pagar sebuah rumah. Si coklat ragu-ragu, mau masuk atau tidak ke rumah itu. Saya tahu bahwa kandang mereka terletak di rumah itu, meski demikian pintu masuk untuk kambing tidak lewat situ. Maka terjadilah antrian mengembik di depan pintu. Si coklat masih ragu-ragu. Lalu, terdengar suara lembut “Has! Has!” Ah! Ternyata dibelakang gerombolan itu ada Ba’i (kakek-red) yang menggembalakan mereka. Mendengar suara Ba’i si coklat kemudian meninggalkan pintu pagar dan melanjutkan perjalanan. Wow! Saya pikir “has!has!” dalam bahasa kambing mungkin berarti jalan terus. Tiba-tiba dari arah depan melaju sebuah motor, rombongan kambing masih menguasai jalanan. Si coklat pun dengan cuek melenggang ditengahnya. Kemudian terdengar lagi suara Ba’i “Has! Has!” dan ajaib! Kambing-kambing sedikit bergeser ke kiri, menyisakan sedikit ruang agar motor dapat melanjutkan perjalanannya. Kali ini saya berpikir, “Has! Has!” mungkin berarti “ganti posisi, grak!” dalam bahasa kambing. Si coklat tetap jalan di depan. Ba’i tetap jalan di belakang. Saya berjalan di samping rombongan, memperhatikan satu-persatu anggotanya. Ada kambing yang besar, ada yang sedang mengandung, ada yang biasa-biasa saja dan bahkan ada yang masih kecil dan sangat imut. Rombongan terus berjalan bersama-sama. Kambing-kambing kecil kadang tertinggal oleh kambing yang lebih dewasa, tapi Ba’i dengan setia tetap berjalan di belakang mereka, memastikan bahwa tidak ada satupun yang ketinggalan rombongan. Ba’i berjalan di belakang, tapi pandangannya menatap ke depan memastikan semua anggota rombongan baik-baik saja. Saat harus belok ke kandang, “Has!” Ba’i terdengar kembali. Layaknya orang tua terhadap anaknya Ba’i mengantarkan gerombolan itu sampai ke pintu kandang. Menunggu dengan sabar sampai kambing yang terkecil masuk ke kandang. Setelah semua aman, Ba’i menutup kandang dan pulang. Jika nanti saya mengajar bisakah saya menjadi seperti Ba’i yang tidak selalu berdiri di depan dan menjadi pusat perhatian? Dapatkah saya seperti Ba’i memberikan kesempatan pada murid-murid saya nanti untuk mengembangkan kemampuan mereka semaksimal mungkin dan memimpin teman-temannya yang lain? Dapatkan saya seperti Ba’i meski berjalan di belakang, tetapi mampu menjaga rombongan, mengarahkan bukan dengan kekerasan melainkan dengan suara yang paling lembut? Dapatkah saya seperti Ba’i dengan sabar menahan langkah agar anggota terlemah dari sebuah rombongan tidak tertinggal? Dapatkah saya seperti Ba’i yang bangun pagi-pagi dan baru pulang di sore hari, seharian bersama dengan rombongan kecil, jauh dari hiruk pikuk dan kemegahan? Ini sore yang cantik di Tuabuna. Angin dingin bertiup agak kencang menggesek daun-daun lontar. Di bawah sinar mentari jingga, Ba’i dan saya berjalan dalam diam dan meskipun tanpa kata beliau telah memberikan saya kuliah pertama saya dalam sekolah kehidupan di Rote Ndao

Cerita Lainnya

Lihat Semua