Dulu saya anak kota, sekarang saya seorang pengajar muda

Gracia Lestari Tindige 4 Juli 2011
Perkenalkan Saya Gracia Lestari Tindige. Saya adalah seorang anak kota. Maaf, maksud saya, dulu saya adalah seorang anak kota. Well, saya memang bukan bagian dari anak kota gaul yang kerjanya hang-out di mall, berburu tempat makan baru, nonton film terbaru di bioskop atau pergi ke salon setiap hari. Saya anak kota, tapi bukan jenis anak kota yang di gambarkan di sinetron-sinetron TV. Yang saya maksudkan dengan anak kota adalah saya lahir dan kemudian dibesarkan di kota besar. Saya bersekolah di kota. Saya naik transportasi kota (mulai dari Bajaj sampai transjakarta). Jika saya sakit, saya akan pergi ke Rumah Sakit besar di Kota, bukan PusKesMas. Jika saya ingin berkomunikasi saya tinggal gunakan HP yang sinyalnya penuh dimana-mana, jika tidak punya pulsa saya tinggal menggunakan telepon rumah. Jika saya tidak mengerti tentang sesuatu, saya akan berselancar di Internet dan bertanya pada Mbah Google, yang konon memiliki hampir semua jawaban dari pertanyaan yang ada di dunia ini. Jika saya ingin makan, saya akan pergi ke meja makan, dimana makanan saya sudah siap di atasnya. Jika saya tidak berkenan dengan makanan tersebut, saya tinggal menjentikkan tombol di kompor gas rumah saya untuk masak mi instan. Jika saya benar-benar tidak selera juga makan mi instan, saya akan jajan di luar. Bisa beli bakso dekat rumah, restoran cepat saji yang mengerti isi kantong anak muda, atau ratusan kuliner lainnya bisa saya jelajahi. Saya menikmati kemacetan kota, hampir setiap hari. Saya akan bangun pagi dan mandi, kemudian berangkat dari rumah jam 5.30. Saya bangun pagi pada hari kerja, bukan karena saya rajin bangun pagi, tapi karena saya harus meluangkan waktu untuk fenomena alam yang bernama kemacetan. Setiap hari saya akan disapa oleh asap racun yang keluar tanpa malu dari ratusan kendaraan bermotor. Pemandangan yang akan saya lihat adalah gedung-gedung menjulang tinggi dan pusat-pusat perbelanjaan yang berkilau dan tampak tidak pernah mati. Sungguh kontras dengan gubug-gubug kumuh di pinggiran rel kereta atau pinggiran sungai yang sudah kelewat hitam. Saya akan lihat anak-anak kecil sibuk di jalan, menjajakan makanan, suara yang kadang sumbang atau bahkan acaman dan permohonan belas kasihan. Ibu-ibu dengan bayi dalam gendongan menadahkan tangan ditengah teriknya siang dan orang lalu-lalang tampak tak peduli. Saya adalah seorang anak kota. Pergi pagi dan pulang kelewat senja. Saya pergi sebelum matahari terbit dan sering pulang waktu dia sudah jauh tenggelam. As a result, saya memiliki banyak alasan untuk tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Saat libur tiba, saya biasa bangun lebih siang dari hari-hari kerja untuk tetap menghindari pekerjaan rumah. Tapi, saat ini saya adalah seorang anak desa. Oh, lebih tepatnya saya adalah seorang pengajar muda di sebuah desa terpencil di bagian paling selatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, berubahlah hidup yang selama ini saya kenal. Saya akan mengajar di SD Inpres Bandu, di desa Bebalain kecamatan Lobalain – Rote Ndao. Sekolah saya terletak di area perbukitan hampir selatan pulau Rote. Sementara itu saya akan tinggal 8 Kilometer jauhnya dari sekolah, tepatnya di dusun Tuabuna, desa Kolobolon di kecamatan Lobalain. Bagi saya, kedua tempat ini akan menjadi kawah Chandradimuka selama setahun ke depan. Saya akan mendapatkan begitu banyak pelajaran hidup dan pengalaman yang tidak akan dapat diukur dengan uang. Saya pun berharap bahwa kehadiran saya di kedua tempat ini mampu memberi energi positif dan inspirasi. Tiga minggu sudah saya lalui dan saya sudah dihujani dengan pengalaman dan pelajaran hidup berharga di tempat ini. Saat ini bagun pagi saya lakukan bukan karena saya takut terjebak kemacetan. Hal itu saya lakukan karena kedua orang tua angkat dan adik-adik angkat saya di rumah bangun ketika matahari belum terbit. Pada hari libur seluruh anggota keluarga dengan sigap menuju tugas pagi harinya masing-masing. Adik-adik akan memasak sarapan atau memanaskan nasi di dapur. Di pagi hari mereka sudah bergumul dengan asap, mengepul dari kayu bakar hangus di dapur. Melihatnya hati terasa hangat dan perut terasa keroncongan. Padahal di Kota saya jarang sekali menyentuh sarapan. Bapak akan masuk ke gudang dan mempersiapkan makanan untuk hewan peliharaan. Mama akan menyiapkan minuman, sementara yang lain akan menyapu rumah dan halaman. Semuanya dilakukan dalam keteraturan tanpa sungut-sungut. Saya belajar untuk tidak menghindari pekerjaan. Saya belajar bahwa pekerjaan rumah bukanlah suatu hal yang sederhana untuk dilakukan. Saya belajar untuk menghargai kerja keras setiap mbak yang berjasa membantu di rumah waktu masih di kota. Saya belajar bahwa beradaptasi di tempat tinggal baru dengan budaya dan kebiasaan berbeda bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan tetapi bukannya tidak mungkin. Di rumah ini saya mendapatkan pengalaman perdana untuk mencabut rumput di halaman rumah, memasak dengan kayu bakar sampai mata berair dan tubuh beraroma asap sampai mencuci piring sambil dikelilingi ayam-ayam peliharaan. Saat bangun di pagi hari saya akan menikmati matahari terbit dari sela-sela rimbunnya daun lontar. Udara segar dan angin pertengahan tahun yang dingin akan berhembus sesekali. Ditengah-tengah kesibukan rumah, saya dapat melihat tetangga lalu-lalang di jalan. Sebagian memikul dua ember di pundak, menuju bak-bak penampung air terdekat untuk mencuci atau mengisi cadangan air di rumah masing-masing. Sebagian sambil mengunyah sirih pinang mungkin menuju ke ladang. Hewan-hewan bebas berkeliaran. Dari sapi sampai babi boleh bolak-balik di jalanan. Kadang tanpa malu-malu mereka juga buang hajat di jalan, meninggalkan jejak-jejak yang tidak pantas tapi jika dikelola dengan baik dapat menyuburkan tanah atau menjadi bahan bakar. Oleh karena itu, di sini kami jalan hari-hati. Takut-takut kami melakukan tabrak lari, karena sapi dan babi jika menyeberang tidak lihat kanan-kiri. Langit siang yang penuh dengan awan-awan yang bergerak dengan cepat sama cantiknya dengan langit malam yang ditaburi jutaan bintang, bahkan lebih banyak dari pada yang dapat ditunjukkan proyektor canggih di planetarium. Galaksi Bima Sakti yang dulu tersembunyi di semarak cahaya kota sekarang muncul tanpa malu-malu setiap malam. Melihatnya membuat saya merasa betapa manusia begitu kecil dan tidak signifikan jika dibandingkan dengan alam semesta, tapi manusia juga begitu berharga karena diberikan kemampuan untuk berusaha memahami rahasia-rahasia alam. Pemandangan pencakar langit berganti dengan rumah-rumah, sebagian beratapkan daun lontar dan sebagian dari seng. Beberapa berdiri dengan kokoh dari tembok bata (hasil kerja keras si pemilik rumah yang bekerja sebagai pegawai negeri atau TKI), sementara rumah bertembok kayu-kayu lontar biasanya dimiliki oleh para petani. Anak-anak bermain di jalan. Ban bekas yang digelindingkan dan dua batang kayu tampaknya mampu membuat jiwa mereka yang haus untuk bermain terpuaskan. Permainan mereka sederhana dan tidak makan banyak biaya, tapi apa yang mereka lakukan membuat saya sadar bahwa keterbatasan bahan justru memicu kreatifitas dan bahwa kebahagiaan terdapat di hal-hal yang sederhana. Rasa dan pilihan makanan pun banyak berubah. Orang Rote memasak dengan bumbu yang sederhana diatas tungku menggunakan kayu. Pertama kali mencicip, rasanya begitu asing di lidah, tapi kemudian setelah terbiasa rasanya sulit untuk tidak mengambil porsi yang kedua, karena meski masakannya sederhana rasa begitu menggugah selera. Dulu mi instan adalah menu pilihan jika sudah bosan dengan semua menu lain yang ditawarkan. Sekarang berbeda, mi kemudian menjadi salah satu lauk utama jika tidak ada ikan atau tempe untuk dimakan hari itu. Pasar yang hanya ada seminggu sekali, membuat mi instan menjadi teman akrab sehari-hari. Tidak seperti di kota yang menyimpan ratusan pilihan kuliner, di Rote orang akan makan dari apa yang disediakan di rumah. Tidak ada pedagan makanan yang berjualan di depan rumah, bahkan di ibukota kabupaten, pedagang makanan kaki lima pun jumlahnya tidak seberapa. Lagipula, pergi ke ibukota kabupaten tidak semudah membalikkan tangan, di Rote sangat jarang ada angkutan kota yang menjangkau daerah-daerah terpencil. Kendaraan umum berupa mobil di sini dikenal dengan nama otto bemo. Meski demikian bentuknya sungguh sangat berbeda dengan bemo yang ada di kota tempat saya dibesarkan. Otto bemo sebenarnya adalah mobil carry yang dijadikan angkutan umum dilengkapi dengan sistem pengeras suara yang mengalahkan konser musik rock. Otto bemo full music, membuat orang yang menaikinya dimanjakan oleh berbagai jenis lagu. Mulai dari lagu nostalgia sampai hip-hop terkini. Setelah turun dari otto bemo, badan akan sedikit pegal karena terguncang-guncang di sepanjang jalan dengan aspal yang sudah berlubang-lubang. Untuk naik otto bemo, saya harus berjalan naik turun bukit-bukit kecil selama 30 menit subuh-subuh. Mengapa? Karena otto bemo hanya jalan sekali sehari, pada pukul setengah enam pagi 1,5 Km dari tempat tinggal saya. Meski demkian, semua keringat yang harus saya bayar jika ingin naik otto bemo terbayar dengan pemandangan alam yang mencengangkan. Hamparan padang rumput luas, hutan jati, sawah-sawah tadah hujan yang baru selesai panen sungguh memerangkap jiwa. Pemandangan seperti itu yang tidak akan pernah saya temui di kota. Pemandangan yang membuat rasa nasionalisme saya meningkat ke puncaknya yang paling tinggi. Melihat pemandangan Rote dari otto bemo membuat saya menyadari bahwa Ibu Pertiwi sungguh cantik jelita. Saya tidak ingin dia diambil oleh tangan-tangan asing. Kecantikan Rote yang saya lihat dari jendela otto bemo merupakan salah satu dari ratusan titik cantik Pulau Rote lainnya. Jika saya memiliki cukup uang untuk menyewa motor atau naik ojek, mata dan pikiran saya akan dipuaskan dengan pemandangan samudra Hindia dari atas perbukitan, pantai Oeseli yang lebih cantik daripada pantai kepulauan Karibia yang hanya bisa saya nikmati di layar televisi. Iut belum seberapa, masih ada banyak tempat-tempat cantik lainnya yang belum sempat saya jelajahi. Sekarang saya adalah seorang pengajar muda yang tinggal di desa. Jauh di selatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Baru 3 minggu saya berada disini, tapi sekolah kehidupan ini sudah mengajarkan saya tentang banyak hal. Dan saya yakin, akan masih banyak lagi yang akan saya dapatkan selama setahun menjelang. Tuabuna, 4 Juli 2011 Gracia Lestari Tindige Anak kota (dulu), Pengajar Muda Angkatan II (Sekarang)

Cerita Lainnya

Lihat Semua