Tetesan itu, Akhirnya Jatuh Juga...

Ginar Niwanputri 21 Januari 2011

Jadi selama seminggu di sini, rutinitas harian wajib saya bertambah, yaitu tidur siang dan mandi sore. Tidur siang, saya dari kecil paling anti tidur siang, lebih senang main di luar atau ngerjain apa pun deh pokoknya, meskipun di MTC kemarin jadi nyandu tidur siang juga, hehe, tapi itu karena padatnya kegiatan dan berkurangnya waktu istirahat.

Setiap pulang dari sekolah, Bu Yani, pemilik rumah sekaligus induk semang saya, selalu bilang “Istirahat dulu Mbak” begitu, yo wes, ya saya disuruh istirahat ya tidur toh, hehe. Tapi rata-rata emang orang-orang di rumah ini kalau siang ya tidur siang.

Mandi sore, helow? “Apa itu mandi?” Biasanya saya jawab gitu kalau ditanya sore-sore sudah mandi atau belum sama anak-anak kamar bumi, haha. Sekarang di sini, saya ga pernah absen mandi sore, tapi cuaca mendukung sih, puanas tenan. Kalau di Bandung, mandi 1 kali beneran cukup deh, hihi, masih aja pembenaran.

Ngomong-ngomong soal kamar bumi, kangen kalian sayangku semua, hope you’re all fine there, on your own place, we’ll meet soon, sure, SOON! Go Bumi Go Bumi Go! XOXO ;)

Let’s turn back the time to Wednesday, 10 November 2010.

MTC, Jam 1.30 dini hari, semua barang dengan berat minimal 1020 kg, lebih dari 1 ton, dimasukkan ke dalam mobil barang dan bagasi bis. Semua pengajar muda bergegas menaiki bis tanpa sempat menikmati kasur MTC di malam terakhir kami di sana, semua karena kesibukan packing kami yang menggila. Di jalan, hampir semua orang terlelap, saya entah kenapa tidak bisa menikmati perjalanan pagi itu, beberapa kali terbangun. Bis sempat tidak kuat mendaki jalan menanjak di Pancawati, hanya beberapa orang yang tersadar, namun akhirnya bis mampu melaju kembali.

Tanpa terasa perjalanan ke Cengkareng hanya berlangsung sekitar 2 jam saja. Semua dibangunkan untuk bersiap mengangkat barang-barang turun dari bis. Soekarno Hatta telah menanti para pejuang muda yang siap bertarung memenuhi janji kemerdekaan Indonesia. Pagi itu semua sibuk, masing-masing tim mencari barang dengan pita warna daerah mereka, kami, TBB, mencari pita hijau. Semua barang telah berada di atas trolley, kami menunggu di depan pintu, menanti flight masing-masing.

Banyak teman-teman berfoto bersama, berpelukan, bercanda-tawa, menangis, namun saya memilih untuk duduk diam di samping trolley, sambil berusaha memejamkan mata walau sesaat. Entah kenapa, buat saya ini bukanlah sebuah perpisahan, tidak ada yang perlu ditangisi, sure, I dont know, rasanya saya biasa saja, seakan-akan kita masih akan bertemu kembali esok hari. Entah saya yang kurang sensitif atau memang hati saya sedang kaku, masih angkuh untuk meneteskan air mata.

Tiba saatnya upacara perpisahan dimulai, dengan peralatan seadanya, kami upacara di selasar luar bandara, semuanya masih terasa biasa buat saya, hingga akhirnya pak anies bercerita tentang titipan dari Abah Iwan Abdurachman untuk kami semua pengajar muda. Sebuah CD berisi lagu-lagu Abah, termasuk di dalamnya lagu mentari, lagu yang selalu mengingatkan saya akan kampusku rumahku.

Akhirnya ketangguhan yang saya pertahankan goyah juga, tetesan itu tak dapat lagi terbendung, rasanya begitu mengharukan merasakan sokongan dan dukungan yang begitu besar dari berbagai pihak. Semuanya semakin terasa nyata, perpisahan yang akan terjadi, perjalanan yang akan dilalui, perjuangan yang akan dilakukan, dan semangat itu, yang tak akan pernah padam, selalu bernyala di dalam hati kami. “Kapan-kapan kita berjumpa lagi, mungkin lusa, atau setahun lagi..”

Lampung, 18 November 2010

Ginar Santika Niwanputri


Cerita Lainnya

Lihat Semua