info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Namaku Masa Depanku (part 1)

Firman Kurniawan 6 Maret 2011
(corat-coret agak panjang dari Dusun Beroangin, 29 Januari 2011) Banyak orang yang berpendapat bahwa nama adalah harapan dari Orang Tua untuk anaknya. Memberi nama pada seorang anak berarti meletakkan sebuah harapan, agar kelak suatu saat ‘sang penerus’ memiliki cerminan sifat dan sikap yang sesuai dengan namanya. Contohnya adalah pemberian nama Muhammad, dengan harapan anaknya dapat menjadi teladan seperti Nabi Muhammad saw. Ataupun pemberian nama Budi dengan harapan agar anaknya berbudi pekerti luhur (Kelak ia akan tahu bahwa namanya telah menjadi salah satu ikon terbesar di kancah ‘pendidikan Indonesia’). Jadi rata-rata orang tua akan memberikan nama anak sebagus mungkin dan seideal mungkin. Ada pula yang menggunakan nama sebagai tanda pewaris keturunan. Nama yang diberikan akan memiliki unsur nama sang Bapak. Hal ini terjadi pada pamanku, dia bernama Aman Santoso, lalu memberikan nama akhiran putra dan putrinya Rizki Santoso dan Rizka Yunita Santoso.  Adapun artis kondang kebanggaan dunia perdangdutan Indonesia, Roma Irama dan putranya Ridho Roma. Selain itu, nama juga merupakan pemberian julukan bagi seseorang. Walaupun terkadang menyakitkan hati, namun hal ini tetap dapat kita jumpai saat ini. Misalnya nama ‘Budi Cebol’ karena si budi memang berukuran badan pendek, ataupun temanku yang dipanggil ‘YohBap Putih’ karena warna kulitnya bisa dibilang cukup hitam. Ada pula Adi Garuda (sorry adi, ga maksud!), salah satu temanku di Indonesia Mengajar. Nama aslinya adalah Rahman Adi Pradana. Pada awalnya ia dipanggil Awesome karena figurnya persis seperti tokoh Awesome di film serial ‘Chuck’. Tampan, sukses, dan macoa (bahasa mandar : bagus). Namun ada suatu kejadian dimana pada saat sedang melakukan simulasi mengajar, ia lupa menutup retseleting celananya. 10 menit penuh semua orang membicarakannya dan ia tetap tidak sadar. Sampai akhirnya ketika semua orang tertawa, ia pun akhirnya tersadar. Cukup menghebohkan kurasa untuk seorang awesome. Mulai sejak itulah ia diberi nama Adi Garuda (dapat ditebak kenapa) dan secara serempak dan seirama, nama ‘awesome’ pun mulai luntur dari dirinya. Ada satu lagi bentuk pemberian nama yang cukup sering terjadi, biasanya dilakukan oleh orang-orang asing. Mereka meletakkan nama Jr alias Junior di belakang namanya sendiri untuk diberikan pada putranya. Entah alasannya sudah kehabisan bahan ataupun biasanya hal ini dilakukan oleh orangtua yang sukses dan ingin agar anaknya memiliki nasib yang sama. Masih banyak alasan lain kurasa, namun secara tidak langsung dapat kusimpulkan bahwa pemberian nama adalah salah satu momen penting dalam hidup dan biasanya diberikan oleh orang yang penting pula. Itulah yang kualami saat ini. Sudah dua bulan lebih aku tinggal di dusun beroangin. Masih mencoba menyebarkan mimpi bagi siapapun yang ingin tetap bermimpi. Minggu ini terjadi wabah melahirkan di dusun. Bayangkan, 4 orang di sebuah dusun melahirkan hampir berurutan dalam 1 minggu. Jarang kulihat kejadian seperti itu dalam hidupku, apalagi di dusun kecil seperti ini. “Hebat, mungkin yang bisa menyamainya cuma musim buah-buahan”. Kataku sambil tertawa kecil dalam hati. Selasa pagi, lahirlah seorang anak perempuan dari tetangga sebelah rumahku. Sepulang dari sekolah, mampirlah aku bersama beberapa orang guru di rumahnya, sekedar untuk menengok. Seorang bidadari mungil terbaring tidur di dalam ayunan sarung. “Gimana, lucu kan?”. Aku langsung menoleh, melihat ternyata yang berbicara adalah sang ibu yang baru saja melahirkan. “iya, cantik banget!” kataku. Walaupun sebenarnya aku tidak tahu definisi cantik untuk bayi itu seperti apa. Kubilang saja semua bayi perempuan itu cantik. “Kasih nama ya mas.” Samar-samar kudengar. “hah?”. Kurasa baru saja aku salah dengar. “mau kasih nama siapa mas?” Entah masih berbicara samar atau entah aku terlalu kaget mendengarnya. Lebih mirip seperti pertanyaan istri pada suaminya. Melihat mukaku bingung, langsung ia luruskan. “Kasih nama buat dia pak. Supaya bisa pinter kayak bapak” “Ohhh”. Lucu rasanya mendengar ada yang meminta hal itu padaku, terlebih aku orang baru disini. Lalu kubilang bahwa lebih baik orang tuanya langsung yang memberi, karena kehormatan memberi nama sangat pantas bagi orang tua. Namun ia bersikeras, dan mau tidak mau aku pun mengiyakan dengan harapan seiring berjalan hari ia akan lupa dengan janjiku kemudian membuat sendiri nama anaknya. Ternyata kejadian ini tidak berhenti disitu. Keesokan harinya, beberapa orang mulai memintaku memberi nama pada anaknya. “gawat! bisa-bisa selain jadi staff ahli dokter gigitan anjing, aku dapat predikat dokter nama bayi.” Untungnya hal itu tidak terjadi cukup lama. Seminggu berlalu dan hari itu aku diundang untuk datang ke acara akikahan anak tetanggaku. Sejenis acara syukuran dimana rambut si bayi akan dicukur untuk pertama kali oleh orang tuanya. Kukira semuanya akan berjalan seperti hari-hari biasa. Sampai pada detik-detik menjelang acara, seorang anggota keluarga yang mengadakan acara mendatangiku. “Pak firman, ditanya ama mamak, nama anaknya jadinya siapa?” Hening… …. …. Masih hening… .. Tidak kuat menahan kaget dan aku malah melamun. “Pak! Pak! Jadinya siapa?” tegurannya membuyarkan lamunanku. Astaga, kupikir hal ini sudah mereka lupakan. Bahkan hingga hari pelaksanaan, mereka masih menungguku untuk memberikan nama. Ini bahkan bukan anakku, masa aku harus memberikan nama untuk pertama kalinya pada orang lain. Tapi kupikir ini juga merupakan kehormatan tersendiri. Dianggap sebagai salah satu bagian masyarakat tempatku tinggal dalam jangka 2 bulan jelas bukan hal biasa. Akhirnya kuputuskan untuk mulai memikirkan nama.  Yang jelas prinsipku adalah aku tidak akan asal-asalan dalam memberikan nama, walaupun untuk orang lain. Sesaat terhenyak lalu tanpa membuang waktu aku langsung bangkit dan berlari ke kamar. Kututup pintu kamar lalu kutulis di kertas nama-nama yang kuanggap bagus. Nama-nama Arab, nama-nama sunda, nama-nama gaul, nama-nama pertapaan, semua nama perempuan seketika terpaksa mencuat keluar dari kepalaku. Polemik bahwa ini bukan anakku pun tidak henti-hentinya menyerang. Annisa Solehah. “ hhhmmmm,,kayaknya terlalu islami”. Jangan. Kamelia. Entah kenapa aku seperti ingat nama artis sinetron 80’an. Jangan. Maemunah. “ahh! tanggung, sekalian aja juminten”. Jangan. Dina Amalia. “sudah cukup banyak nama anak seperti artis disini”. Jangan. Tok..tok..tok…tiba-tiba pintu kamarku diketuk dan seseorang bicara dari luar. “Pak Firman, acaranya sudah hampir dimulai”. Deggg…semakin kencang jantungku berdetak semakin cepat pula aku berpikir sambil menulis. Imelda sendana. “Arghh..mereka ga suka nama-nama gitu” Nur Kamsiah. “Duh..nama apa sih” Mega Wasto. “Jangan sampai nanti tumbuh tahi lalat di dagunya kayak nama seorang presiden” Umi Kasidah. ”Firmann!! Jangan kelamaan mikir” kataku dalam hati Puput semaput… Tik Tik menjentik. Nini Marni Suarni Karnini.. (waktu semakin mepet dengan acara) Suara yang tidak diharapkan pun datang. Tok..tok…tok…”Pak Firman, sudah akan dimulai acaranya. Bapak ditunggu di rumah sebelah” Ting!!! mirip seperti bunyi mesin tik tua. Sebuah nama muncul di kepalaku dan bagai meriam aku langsung membuka kamarku. Orang yang sejak tadi menunggu di depan pintu kamarku, terjungkal kaget melihatku membuka pintu dan berlari kencang. Tanpa memperdulikannya aku pun langsung berlari ke rumah sebelah. “Ya, itu dia namanya, ya..”. kuulang-ulang sebuah nama dalam hati agar tidak lupa. Sesampainya disana, aku langsung diminta untuk duduk di jajaran petinggi desa, Imam Dusun, Kepala Dusun, dan tokoh dusun. Walaupun kaget mendapat posisi kehormatan seperti itu, aku sudah dapat menebaknya. Karena akulah sang pemberi nama. Setelah Imam Dusun selesai membaca doa, dibawalah sang bayi ke depan kami. Saat itulah namanya disebutkan. Aku diminta menggunting rambutnya. Rambut seorang anak perempuan (putri). Seorang anak perempuan yang hatinya masih bening, sebening mata air di surga (salsabila). Kuumumkan namanya pada semua orang yang hadir. “Putri Salsabila.”

Cerita Lainnya

Lihat Semua