Bermimpilah, maka Tuhan akan Memeluk Mimpi Kita*

Gilar Cahya Nirmaya 1 Februari 2013

 

“Mimpi adalah kunci..untuk kita menaklukkan dunia..Berlarilah..tanpa lelah..sampai engkau meraihnya..” (Laskar Pelangi-Nidji)

Sedikit berbagi cerita tentang semangat murid-murid saya, kawan..dari anak-anak pulau Bajo yang akan terus bermimpi.

Kami semua ingat, hari Sabtu tanggal 19 Januari 2013 adalah hari yang bersejarah bagi kami. Tepat pada tanggal tersebut diadakan kegiatan Festival Seni Anak Bima 2013. Acaranya berupa lomba menyanyi dan lomba menari tingkat SD se-kabupaten Bima. Tiap-tiap kecamatan di kabupaten Bima wajib mengirimkan delegasinya sejumlah 2 tim. 1 tim untuk ikut lomba menyanyi dan 1 tim lagi untuk mengikuti lomba menari. Saat berada di arena lomba, kami jadi teringat perjuangan kami sebelum dapat berangkat ke Bima..

Akhir November 2012

Kecamatan kami tidak mengadakan seleksi untuk memilih SD mana yang akan mewakili kecamatan kami dalam festival tersebut. Hasil komunikasi dengan kepala UPT, beliau rencananya akan menunjuk saja salah satu SD di kota yang biasa mengikuti lomba untuk mewakili kecamatan. Saya mencoba mengajukan kepada beliau untuk memperbolehkan murid-murid saya mewakili kecamatan lomba menari. Saya menjelaskan bahwa saya ingin memberikan pengalaman pergi ke Bima kepada murid-murid saya, karena selama ini banyak sekali dari mereka yang belum pernah pergi kesana padahal jaraknya hanya 2 jam dari desa kami. Setelah meyakinkan bahwa anak-anak pulau juga bisa menari, alhamdulillah izin pun dapat dikantongi.

Desember 2012

Mulailah diadakan seleksi bagi murid-murid saya yang mau mengikuti lomba menari. Seleksi ini melibatkan guru tari dari kecamatan. Saya dan guru tari tersebut mencari 4 orang anak laki-laki dan 4 orang anak perempuan. Seleksi ini pun berjalan amat menarik, ada anak laki-laki yang ketika dites, gerakan menarinya sangat bagus, namun sayangnya dia tidak mau ikut lomba karena tidak mau meluangkan waktunya untuk latihan. Dia lebih memilih untuk tetap menghabiskan waktu luangnya di laut, pergi menjaring ikan. Yah inilah anak-anak Bajo, selain menjadi murid SD, mereka juga harus membantu orangtua pergi menjaring ikan, walaupun tidak diwajibkan oleh orangtuanya.

Singkat cerita, terpilihlah 8 anak sebagai 1 tim lomba menari. Mengumpulkan 8 anak ini dalam satu waktu merupakan kendala awal yang saya hadapi. Seringnya ketika kami mau latihan, butuh waktu 1 jam untuk mencari mereka yang sedang pergi main di berbagai penjuru desa, belum lagi ada 1 anak laki-laki yang tidak datang karena mendadak pergi menjaring ikan, oh No! Mendekati lomba pun ada personil yang terpaksa harus diganti karena tangannya keseleo dan bengkak.

 Selain di sekolah, seminggu sekali kami juga melakukan latihan tari di kecamatan agar dapat terpantau gerakan anak-anak oleh guru tarinya. Biasanya, kami melakukan latihan di Gedung Serbaguna Kecamatan Sape. Gedung ini cukup luas dengan langit-langit yang tinggi. Setiap akan masuk gedung, anak-anak akan berkomentar, “Ibu saya pusing”. “Loh, kenapa memang pusing?” tanya saya heran. “Iya bu, soalnya gedungnya besar sekali bu, atapnya tinggi sekali, saya jadi pusing melihatnya”. Saya hanya bisa menahan tawa mendengarnya, maklum mereka jarang menyebrang ke darat dan terbiasa dengan atap rumah panggung yang rendah seperti rumah-rumah di desa kami.

Awal Januari 2013

Tinggal dua minggu menjelang kegiatan festival dilaksanakan. Anak-anak sudah cukup lancar melakukan gerakan tarinya. Tiba-tiba pihak UPT meminta kami tampil di kantor UPT untuk memastikan kesiapan kami tampil. Saya dan guru tarinya cukup pede menampilkan anak-anak di depan pegawai-pegawai kantor UPT Dikpora, selama ini latihan juga suduh cukup lancar, pikir kami.

Sayangnya, ketika ditampilkan anak-anak hanya dapat menari dengan lancar di 1 menit awal, gerakan selanjutnya kacau balau. Saya cemas. Belum lagi ditambah pertanyaan salah seorang pengawas ke saya setelah melihat penampilan anak-anak, “Ibu Maya, nanti lombanya khusus untuk anak-anak terpencil?”.Saya bingung dan bertanya balik,”maksudnya pak?”. “Iya kalau lombanya khusus untuk anak-anak di desa terpencil ya tidak apa-apa mengirimkan anak-anak ini ke perlombaan, kan kemampuannya sama-sama anak terpencil. Tapi kalau nanti yang dikirim kecamatan lain anak-anak kota, ya kan tidak sama kemampuan anak kota sama anak terpencil”, kata beliau. Saya hanya dapat menjawab,”kalau soal anak kota ataupun terpencil, itu kebebasan masing-masing kecamatan untuk memilih anak SD mana yang akan dikirim ke festival”. Lagi-lagi saya harus menarik nafas panjang, menenangkan diri. Walaupun Bajo Pulo hanya 15 menit naik sampan dari kecamatan, tapi tetap saja orang Bajo dianggap terpencil oleh orang-orang di kecamatan. Namun ucapan bapak pengawas tersebut dapat saya maklumi pula, beliau pasti menginkan yang terbaik. Ucapan beliau menjadi motivasi saya untuk membuktikan bahwa murid-murid saya pasti bisa tampil dengan baik di level kabupaten nanti. Ketika dikonfirmasi ke anak-anak kenapa gerakan mereka kacau saat tampil tadi, ternyata mereka grogi karena harus tampil di depan orang banyak. Baiklah, berarti ini memang soal pembiasaan.

Setelah penampilan di kantor UPT tersebut, kepala UPT meminta agar anak-anak setiap hari harus menyeberang untuk latihan tari di kantornya. Permintaan yang mudah saja kami sanggupi sebenarnya, asalkan cuaca sedang normal. Sayangnya pada saat itu kondisi cuaca sedang kurang baik. Hujan cukup sering mengguyur kecamatan kami. Angin yang berhembus pun sangat kencang, laut menjadi sangat bergejolak dan gelombangnya sangat tinggi. Orang-orang di desa kalau tidak sangat terpaksa, tidak mau pergi menyebrang. Beberapa orangtua murid melarang saya membawa anaknya untuk latihan di kecamatan. Kata mereka, latihannya ditunda saja dahulu sampai cuaca membaik. Terus terang saya cukup bingung menghadapi kondisi itu, lombanya tinggal 2 minggu lagi dan mereka memang harus intensif berlatih, namun kalau saya nekad, saya juga terpikir resiko bertanggung jawab terhadap 8 anak. Pada akhirnya, saya memberanikan diri untuk tetap membawa anak-anak nyebrang. Saya percaya, Tuhan bersama kami dan akan melindungi kami yang berniat baik. Anak-anak sempat protes kenapa kami harus menyebrang padahal orang-orang tidak ada yang mau menyebrang. Saya meyakinkan mereka bahwa jika mau menjadi juara, kita memang harus berusaha lebih keras daripada orang lain. Saya meyakinkan anak-anak..sekaligus meyakinkan diri saya sendiri.

Sampan-sampan yang biasanya hanya dengan dicarter Rp 10.000,- mau membawa kami ke seberang, saat itu jarang sekali yang mau berangkat. Hanya ada 2 sampan yang masih berani berangkat, namun menunggu keberangkatannya lama sekali. Perjalanan di sampan sangat menegangkan. Suatu ketika, gelombang yang cukup tinggi menghantam sampan dan membuat sampan menjadi bergoyang sangat miring. Beberapa kali air laut masuk ke sampan kami, anak-anak sudah mulai menangis ketakutan. Muka saya pun pias. Untungnya sampan segera mendekati pelabuhan. Latihan pun dapat dilakukan.

Ketika pulang, saya bersama anak-anak menunggu sampan di pelabuhan. Ombak besar silih berganti timbul tenggelam di tengah lautan. Lautan belum juga menunjukkan tanda-tanda ketenangan. Kami sudah menaiki sampan dan bersiap akan berangkat ketika tiba-tiba melihat sebuah sampan di tengah laut. Sampan tersebut terus-menerus diterjang gelombang hingga akhirnya terbalik. Semua yang ada di pelabuhan panik. Ingin menolong namun juga sadar dengan kondisi yang seperti itu sama saja kami menyerahkan diri. Untungnya sampan yang terbalik hanya berisi palimbanya (tukang sampan) dan dapat menyelamatkan diri ke pelabuhan. Sontak saya beserta anak-anak langsung putar arah dan memutuskan menginap di kecamatan.

19 Januari 2013

Disinilah saya berdiri sekarang, di tengah kemegahan Museum Asi Mbojo, tempat pelaksanaan Festival Seni Anak Bima, saya menyaksikan anak-anak pulauku menari dengan anggun dan gagahnya. Saya cukup takjub dengan penampilan mereka, dengan kostum pakaian adat khas Bima, mereka melenggak lenggok dengan percaya diri. Tidak tampak lagi wajah-wajah minder seperti yang saya saksikan ketika mereka pertama kali tampil di kantor UPT. Sayangnya, selesai mereka tampil mereka langsung diajak pulang ke desa oleh pemilik mobil yang mereka tumpangi. Padahal, saya ingin menyaksikan wajah mereka ketika mereka mendengar pengumuman bahwa mereka memperoleh Juara 2 Lomba Menari Festival Seni Anak Bima. Aih, mereka pasti akan bersorak sorai gembira mendapatkan piala tersebut.

21 Januari 2013

Saya masih di Bima karena sedang ada site visit. Siang itu saya memperoleh telpon dari salah satu guru di sekolah saya. “Bu Maya, apa kabar? Bu, anak-anak disini senang sekali, kepala sekolah dan guru-guru juga karena anak-anak berhasil menang, di tingkat kabupaten lagi bu. Pialanya dipandangin terus ini bu, piala satu-satunya di sekolah. Warga Bajo Pulo juga merasa senang dan bangga, mereka bangga anak-anaknya bisa bersaing dan mengalahkan anak-anak dari kecamatan lain”,ujar beliau.

Terima kasih ya Allah. Engkau mau memeluk mimpi kami, mimpi anak-anak Pulau Bajo, untuk meyakinkan kami bahwa ternyata kami bisa apabila mau berusaha lebih keras.

 

 

Suatu Sore di Desa Bajo Pulo

*) Terinspirasi dari Buku Sang Pemimpi karya Andrea Hirata


Cerita Lainnya

Lihat Semua