Bingung? Tidak Usah Bingung

Gatya Pratiniyata 10 Desember 2011

Kalau kalian menganggap ngajar SD di pedalaman adalah bakal ngajar di hutan dengan sekolah berdinding kayu lapuk atau bata bolong-bolong, beralas tanah, meja kursi bobrok, atap mau rubuh, bermodal papan tulis hitam dan kapur, dan ngajar 10-15 anak-anak tak beralas kaki dan tak berseragam, well, reset your mind. This one’s not Laskar Pelangi.

First thought waktu melihat gedung SDN Bibinoi adalah “Gak salah nih gedung sekolahnya? BAGUS BENER!”. Yup, buat saya gedung SDN Bibinoi ini lebih bagus dari banyak gedung sekolah yang ada di pulau Jawa. JAUH. Sekolah ini berdinding bata tak berlubang dan di cat rapi berwarna warni, lalu lukisan mural di dinding luar sekolah. Ruangan kelasnya ada 7, dan 4 diantaranya sudah berlantai keramik, tiap kelasnya sudah menggunakan papan tulis whiteboard. Ruang gurunya cukup besar dan tiap guru mempunyai meja masing-masing, lapangan sekolahnya besar dan layak, belum lagi tepat di samping sekolah ada lapangan sepak bola desa. Sekolah ini pun sudah memiliki WC yang sudah dilapis keramik toilet, ada komputer dengan monitor LCD lengkap dengan printernya, bahan peraga mata pelajaran ada banyak dan macam-macam, buku-buku perpustakaannya cukup banyak dan bagus-bagus. Jumlah muridnya ada 200 lebih, dan jumlah guru termasuk saya dan kepala sekolah ada 11 orang. Secara fisik sekolah di pelosok ini WOW banget. Sehat wal afiat. Saya sampe bingung kenapa di tempatkan di sini. Satu yang saya tahu, ini tidak akan menjadi bulan madu.

Kalau boleh memilih, saya akan jauh lebih milih dapet di sekolah yang secara fisik boleh bobrok, tapi integritas guru dan muridnya baik. Alasannya simple, 1. Tekanan batin, 2. Saya bisa belajar dari guru yang lain. Seminggu pertama mengajar di sini saya asli misuh-misuh sendiri di jurnal, bener-bener kaget dan gak kuat melihat guru yang membiarkan muridnya luntang lantung gak puguh di sekolah. Tidak semua guru hadir di sekolah minggu itu. Kemudian kalaupun hadir, para guru-guru itu hanya duduk di DPR sekolah (Dibawah Pohon Rindang), ngobrol-ngobrol sambil minum teh dan makan kue. Bisa ya, hadir di lingkungan sekolah tanpa masuk dan mengisi kelas sama sekali? Padahal seharusnya kegiatan belajar mengajar sudah kembali aktif setelah Idul Adha. Holiday blues bukan alasan. Sementara para murid juga tak berbuat banyak. Mereka hanya duduk diam atau ngobrol, sama tidak jelasnya. Sungguh pemandangan yang menyiksa batin. “Kenapa guru-gurunya gak masuk kelas?, kenapa murid-murid banyak bengong kaya gada permainan??, Kok? Kok? Kok?”.

As it turns out, guru gak masuk kelas itu sudah biasa. Istilah gaulnya, korupsi waktu. Disini, murid lah yang menyambut guru. Kebanyakan murid sudah datang lebih pagi. Menurut jadwal, pelajaran pertama mulai pukul 07.30, dan apel pagi dimulai sekitar 07.15. Pada saat itu biasanya siswa sudah ramai dan hanya 1-2 guru yang sudah datang untuk memimpin apel pagi, guru yang lain baru datang jam 8 kurang. Guru yang terlambat tersebut tidak jadi kemudian betah di kelas. Kebanyakan hanya memberikan penjelasan sebentar, memberikan tugas, lalu keluar menuju ke ruang guru lagi. Jam istirahat yang sudah terpampang jelas hanya 20 menit, pada prakteknya molor menjadi 45 menit bahkan 1 jam. Alasannya, air untuk bikin teh belum mendidih, atau murid-murid masih banyak yang pulang kerumah dan belum kembali ke sekolah. Setelah jam istirahat, jangan harap jumlah murid akan sama seperti jam pertama. Sebagian dari mereka yang pulang saat istirahat untuk makan dan minum, tidak akan kembali lagi ke sekolah. Jumlah murid akan jadi sangat drastis berkurang ketika apel pulang. Tidak usah bingung.. sekali lagi, semua itu sudah biasa.

Tell me I’m whining too much. But hey, this is should be everyone’s concern. School is a disciplinary institution, dimana seharusnya kita diajarkan kedisiplinan. Sekolah boleh gratis, tapi kan bukan berarti jadi menganggap enteng pendidikan. Atau apakah ini masalah budaya setempat? As it turns out, tidak juga. Hal yang saya alami disini dirasakan juga oleh teman-teman saya di penempatan lain. This is sickness. Ini masalah integritas, profesinalisme, dan tanggung jawab amanah. Apalagi kalau mengaku kuat beragama. Murid berhak mendapatkan pelajaran, dan guru wajib memberikan pelajaran tersebut. Guru sudah rajin datang , masuk kelas, lalu memberikan pelajaran saja anak-anak belum tentu paham dan menangkap. Bagaimana kalau guru tidak hadir sama sekali?! Jadi jangan bingung kalau anak kelas atas disini masih gagap membaca, dan tidak mengerti pelajaran apa yang di terangkan.

Pengajar Muda mengabdi hanya satu tahun disini, apakah semangat kami mengajar akan terus tinggi menjulang? Well, I suppose everyone has ups and down. Jadi, pasti ada masanya juga capek, malas dan gak mood buat mengajar. Terus, bagaimana dengan para guru PNS, Honorer, PTT yang lain? Yang sudah terikat janji pengabdian entah sampai kapan untuk menjadi guru dengan rutinitas yang itu-itu saja setiap hari? Bagaimana menjamin motivasi, semangat, integritas, dan perjuangan mereka untuk mendidik para calon penerus bangsa?

Baik, mungkin saya sudah terlalu banyak ngedumel. Tapi dari hal ini saya (dan saya harap kalian semua) jadi bisa semakin menghargai para pahlawan tanpa tanda jasa sejati yang senantiasa bersungguh-sungguh memenuhi kewajiban mereka menjadi pendidik anak bangsa. Mereka yang selalu penuh semangat menyambut murid setiap pagi di sekolah. Mengisi kelas-kelasnya dengan keragaman dan cahaya ilmu pengetahuan. Mereka yang dengan sepenuh hati dan kepedulian tetap memenuhi kewajiban moril mereka tidak peduli lelah dan bosan. I gave them all 4 big thumbs up. I know it’s not an easy job. ☺


Cerita Lainnya

Lihat Semua