info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Nusantaraku di Sudut “Bima”

Gatot Suarman 14 Juli 2011
Aku berjalan di pematang yang becek karena hujan.  Sepenuhnya kakiku dibaluti lumpur cokelat kehitaman hingga sebetis. Ku terus melangkah seperti hamparan hijau di depanku terus memanggil untuk bermain . Ku toleh ke belakang, pak Sanun masih berjalan setia mengikutiku sambil sesekali mengarahkan pematang mana yang mesti ku injak agar kaki ku tidak menginjak lumpur yang lebih dalam. Tibalah kami di tengah sawah yang hijau. Kemanapun menoleh laksana karpet membentang dengan rima tertentu menari anggun di hembus angin. Ku hirup dalam nafasku sambil memejamkan mata. “ Pak Guru, itu ada yang sedang menyemprot hama dan memotong ilalang, ayo diambil fotonya pasti bagus Pak Guru”. Pak Sanun menunjuk ke arah seorang bapak yang sedang menyemprot hama. “ iya pak, ayo ke sana”. Aku mengajak Pak sanun menuju bapak yang sedang sibuk menyemprot. Saat menyadari kedatangan kami, bapak tersebut langsung tersenyum ramah. Pak Sanun langsung meminta bapak untuk terus bekerja sambil aku mengambil fotonya. Pak Sanun adalah sahabat baruku di sini. Aku mengenalnya ketika dia datang masuk ke kelasku hanya untuk tahu siapa Bapak Gatot yang katanya Guru utusan pusat yang berasal dari Padang. Yang menarik perhatian Pak Sanun bukan karena aku Guru utusan Pusat, tapi lebih karena aku berasal dari Padang. Pak Sanun mempunyai kakak yang mempersunting gadis Minang yang pada akhirnya menetap di kabupaten Solok, Padang. Beliau pernah ke Padang dan merasa memiliki kisah tersendiri dengan kota  Bundo Kanduang itu. Itulah sebabnya beliau sangat ingin bertemu denganku untuk bercerita kisah perjalanannya selama di Padang.Beliau sendiri merupakan pendatang di desa ini yang berasal dari Cirebon Jawa Barat. Waktu itu beliau langsung membagi nomor HP nya kepada ku dan memintaku untuk datang ke rumahnya. Hari ini kali kedua aku bertamu ke rumah pak Sanun. Sekitar tiga hari yang lalu aku juga mampir ke rumah Pak Sanun dan beliau langsung mengajakku melihat bekas tambak udang yang menurut cerita merupakan bisnis yang sangat sukses dulu nya di desa ini. mengetahui aku yang selalu membawa kamera untuk memotret berbagai objek yang aku temui, Pak Sanun semakin semangat mengajakku melihat rahasia lain dari alam desa Laju yang sangat menarik. “ Sini Pak saya ambil foto bapak di tengah sawah ini”. Pak Sanun meminta aku beridiri di tengah pematang dan mengambil fotoku. Dari tengah sawah ini tampak jelas bukit menjulang dengan awan seperti berbaris menyenggol puncaknya. Tak jauh di sisi lain tampak pantai yang merupakan teluk langsung bersatu dengan gunung. Sebuah keajaiban yang luar biasa. Di sini aku bisa menikmati tiga panorama  sekaligus dalam jarak yang berdekatan. Ada gunung yang perkasa berdiri di sambut goyangan gelombang laut di kakinya dan di hiasi hijau sawah yang tak jauh dari pantai. Begitu kaya negeriku, aku berbisik dalam hati. Tidak sanggup berkata apapun seolah tidak ada kata yang bisa mewakili keindahan di depanku. Setiap aksara seperti lumpuh hilang makna. Aku masih berjalan menyusuri pematang hingga tiba di petakan yang sudah tampak kuning. Tampak beberapa orang sedang memotong padi dan siap menggilingnya. Ku pegang beberapa butir padi yang merunduk hampir menyentuh tanah. Teringat sebuah pelajaran semasa SD “ ambil lah ilmu padi semakin berisi semakin merunduk”. Sebuah ilmu yang dikenal sebelum huruf dan angka. Ilmu yang diajarkan alam tentang hidup yang sesungguhnya. Seketika aku teringat teman-teman selama pelatihan. Sebuah kerinduan menyusup hingga batas terdalam hatiku. Sebuah kata yang sangat akrab denganku yaitu kata “ Kaya’ yang sesungguhnya membuat ku bingung mengapa teman-temanku memanggilku dengan sebutan tersebut. Namun sekarang kutemukan makna kaya yang sesungguhnya. Makna yang mekar dan berkembang dalam batang padi yang merunduk karena isinya. Yaitu “kekayaan yang tiada batas adalah kesederhanaan”. Sungguh pengenalan ku terhadap pribahasa di atas berakhir pada penemuanku  hari ini tentang maknanya. “ ayo pak, sekarang kita ke sana, ada sungai yang sangat jernih dan kita bisa langsung menuju pemukiman seberang”  pak sanun kembali menawarkan sesuatu yang  tidak henti –hentinya membangkitkan semangat ku. “ ayo pak” jawabku singkat karena tidak ingin menunggu lama, kami berjalan hingga batas pematang dekat pagar. Kami melintasi pagar dan memasuki perkebunan cabe. Pemandangan lain ku lihat titik-titik merah menggantung dengan segarnya.  Kami terus berjalan hingga menemukan sungai. Perlahan aku dan pak sanun menyebrangi sungai setinggi paha tersebut. Berkali-kali Pak Sanun mengingatkanku agar berhati-hati supaya tidak tergelincir karena dasar sungai yang merupakan tanah bercampur lumpur yang licin. Kami sampai di seberang sungai dan memasuki pemukiman penduduk. kamipun berjalan melewati rumah-rumah kayu panggung. Tidak terasa matahari telah lelah bersinar, gelap pun telah mulai merayap menutupi bumi. Aku berjalan di atas kerikil-kerikil sepanjang jalan. Sebuah pelajaran tentang negeriku menari-nari dalam pikiranku. Sebuah sesak kebanggaan yang ingin segera ku luapkan.... Aku bersujud di senja yang merona, Terimaksih tuhan kau anugerahkan aku negeri yang kaya Kaya yang membuatku belajar kekayaan yang sebenarnya Terimakasih tuhan, Kau jadikan aku putera alam negeriku, Bergelut dengan lumpur, Berkejaran dengan pasang, Membaca cerita gelombang, Belajar dari bintang dan Padi, Terimakasih Tuhan, Untuk Nusantaraku... Gatot Bimasakti 2011

Cerita Lainnya

Lihat Semua