info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Mas Guru Punya Cerita: Bonek jadi Guru

Agung Firmansyah 22 November 2010
Mas Guru Punya Cerita: Bonek jadi Guru 10 November di Surabaya sangatlah ramai, dulu. 199x, saya masih ingat ketika Ayah mengajakku untuk melihat kembang api di jalanan Surabaya – entah di mana – saat perayaan Hari Pahlawan. Belasan tahun kemudian, 2010, saya merayakan Hari Pahlawan dengan cara yang sedikit berbeda. Bersama dengan 50 orang nekat (Pengajar Muda - red) lain ditambah beberapa biji para pengumpul orang nekat, saya masih sibuk mengemas-ngemas barang, persis seperti orang mau minggat. Dini hari di tanggal itu juga kami merayakan Hari Pahlawan dengan pergi ke Bandara Soekarno Hatta. Bermodal minim, dengan PD-nya kami hendak pergi meninggalkan Jakarta untuk jadi pengajar di pedalaman katulistiwa. Singkat cerita, kami mau jadi guru, guru yang bonek. Pengajar Muda Ok, lets strike to the point. 51 orang bonek ini rencananya akan disebarkan ke 5 kabupaten di 5 provinsi di Indonesia: Bengkalis – Riau, Tulang Bawang Barat – Lampung, Pasir – Kalimantan Timur, Majene – Sulawesi Barat, dan Halmahera Selatan – Maluku Utara. Oh iya, mengapa saya berani dengan lancang menyebut ke-51 Pengajar Muda ini sebagai bonek? Bonek di tulisan bertag ‘Mas Guru Punya Cerita’ memiliki makna ‘bondo lan nekat’. Disebut bondo (bermodal) karena kami memang punya modal, walaupun pas-pasan, untuk jadi guru. Mengapa nekat? Karena walaupun modalnya pas-pasan, ya kami tetap (sok) berani berangkat juga ke daerah yang katanya terpencil. 10 orang yang bertugas di Majene menyebut diri mereka The Majenes (Adeline, Agung, Atika, Soleh, Ujan, BK, Sakti, Nisa, Arrum, Wiwin). Itu bukan nama grup band alay lho..! Tanggal 10 November kami semua berangkat dan pada tanggal itu juga The Majenes sampai di kota Makassar. Saya pribadi, langsung suka dengan kota ini. Udara yang panas, suasana pantai, dan tatanan khas bandarnya mengingatkan saya dengan Surabaya. Setelah memaksa diri untuk puas main-main di kota Makassar, kami langsung tancap gas menuju Kabupaten Majene. Saya akan langsung saja cerita mengenai Dusun Tatibajo tempat saya ditugaskan karena mungkin The Majenes yang lain sudah menceritakan Majene secara umum. Menurut data awal yang diberikan oleh Yayasan Indonesia Mengajar, dusun tempat saya tinggal nanti tidak memiliki sinyal tetapi masih memiliki listrik dengan menggunakan genset (generator). Umumnya, masih kata data awal, generator akan dinyalakan selama 4 jam pada pukul 18.00 – 22.00. Mengetahui hal ini, saya mempersiapkan diri sebaik mungkin, mulai dari meminjam senter hingga membuat rencana kapan saja saya bisa menggunakan laptop untuk mencatat. Setiba di rumah Bapak Angkat tempat saya akan tinggal, ada berita yang sangat mengejutkan. Listrik terdekat dari dusun ada di generator milik perusahaan penambang pasir yang jaraknya sekitar 2 km. Listrik ini hanya nyala malam hari dan biasanya ada biaya untuk charge hp. Listrik terdekat kedua adalah di rumah Bapak Kepala sekola yang ada di pinggir jalan poros Majene – Mamuju, sekitar 4 km dari dusun. What the heaven Man! Tanpa sinyal, tanpa listrik, tidak bisa menghubungi kawan ataupun keluarga ... sungguh, malam itu menjadi malam terpanjang dalam hidupku. Meskipun begitu, bisa juga aku tidur malam itu. Mungkin sudah terlalu lelah, fisik maupun mental. Pagi hari dimulai dengan segarnya udara khas pegunungan. Warga Dusun Tatibajo umumnya masih memiliki hubungan keluarga, jadi wajar saja kalau banyak orang yang saling bertamu, lebih-lebih kalau ada orang baru, macam aku ini. Ditemani secangkir kopi dan kepulan asap rokok dari mulut-mulut warga lokal, aku bercengkrama dan berbagi cerita dengan mereka. Sebenarnya, lebih banyak aku yang mendengar. Tanpa dikorekpun, masyarakat Tatibajo akan bercerita dengan sendirinya mengenai kehidupan, budaya, bagaimana lapuknya pohon coklat mereka, ketertinggalan mereka akan pendidikan, hingga sulitnya mata pencaharian di sana. Obrolan pagi itu cukup membuat hati yang gelisah ini menjadi sedikit lebih tenang. Waktu sudah menunjukkan pukul 7.30, saatnya berangkat ke sekolah.

Sungai Tatibajo Masuk ke sekolah hanya bertemu dengan Pak Jamaluddin, Kepala SDN No. 27 Inp Tatibajo. Menurut beliau, guru-guru lain tidak bisa datang karena cuaca tidak mendukung. Siswa-siswa pun tidak semua bisa hadir. Kalau suasana mendung seperti ini, biasanya air sungai yang mereka lewati dikhawatirkan akan meluap. Karena itu siswa yang tinggal di dusun sebelah (sebelah artinya 1 jam perjalanan kaki, motor tak bisa masuk), Sambalagia, tidak ada yang hadir di sekolah. Kasihan siswa-siswa ini. Kesempatan belajar mereka tergantung cuaca. Karena hanya ada 2 guru dan siswa kelas 1, 2, dan 3 belum lancar berbahasa Indonesia, maka kami bersepakat Pak Jamal mengajar kelas rendah dan saya kelas tinggi. Hehe, padahal semalam tidak ada 1 menit pun saya gunakan untuk persiapan mengajar. Pagi ini tiba-tiba harus mengajar 2 kelas sekaligus. MANTAB JAYA! Beberapa meter dari kelas kita sudah bisa mendengar riuhnya kegaduhan siswa. Setelah miss sinyal dan listrik, makhluk macam apalagi ini yang akan aku hadapi! Huff...., nekat saja. Judulnya saja ‘Bonek jadi Guru’. Sudah sampai sini, harus maju! Kudegakkan badanku. Kumantabkan langkah kakiku. Kubuka pintu kelas. Di sana ... kulihat binar mata mereka, kulihat senyum mereka ... . Dengan mantab kuucapkan salam, “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Dalam hati kuberkata, “Di sinilah aku memulai langkah kecil untuk turut menyiapkan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat, insya Allah. Bismillah...!” Bersambung .... ! Nantikan episode-episode ‘Mas Guru Punya Cerita’ di blog yang sama. | Cerita ini juga ditulis di sini.

Cerita Lainnya

Lihat Semua