Mas Guru Punya Cerita: The Little Monsters
Agung Firmansyah 1 Desember 2010
Mas Guru Punya Cerita: The Little Monsters
SDN No. 27 Inpres Tatibajo bukanlah sekolah yang sempurna. Dibandingkan dengan SD-ku 11 tahun lalu, sekolah ini pun masih tertinggal. Bangunan kelas dikelilingi dinding kayu bercat putih di bawah naungan atap seng yang memancing keringat. Biasanya, siswa yang hadir di sekolah tidak sampai belasan untuk setiap kelasnya. Bila ditambah dengan kurangnya guru yang berhasil hadir di sekolah, maka wajar siswa kelas 5 belajar seruangan dengan siswa kelas 6, begitu juga dengan siswa-siswa kelas lainnya. Gurunya pun menyampaikan materi pelajaran yang terpaksa disesuaikan agar kedua kelompok siswa yang digabung tetap bisa mengikuti pelajaran.
Hari pertama memegang kelas, aku langsung mengajar gabungan kelas 5 dan 6. Berdasarkan pengalaman pelatihan mengajar di salah satu MI di Ciawi, aku membuat dugaan awal bahwa siswa kelas 5 masih kesulitan mengerjakan soal perkalian. Karena itu, kali ini aku berencana mengajar perkalian. Pertama, kan kuajarkan dasar perkalian. Perkalian dibagi menjadi 6 bagian: perkalian dengan angka 1, 10, 100, dst; perkalian angka 2, 3, dan 4; perkalian angka 5; perkalian angka 11; perkalian angka 9; dan perkalian angka 6, 7, 8, dan 9.
Perkalian Itu Susah
“Perkalian itu susah!”, begitu aku membuka pelajaran.
Sengaja kukatakan begitu untuk memancing konsentrasi mereka. “Menjadi mudah kalau kita tahu cara ngakalinnya.”, aku akui, bahwa aku memang tidak sepenuhnya menggunakan kalimat baku di sekolah.
“Saya akan memberikan pertanyaan perkalian dengan angka yang besar. Yang ditunjuk, harus menjawab.”, fungsi kalimat ini adalah untuk mempersiapkan mental siswa dalam menghadapi soal yang diberikan.
“Baik, 269 dikali 1 juta berapa?”, soal pertamaku.
“Aih....., susahnya Pak. Cuit...cuit...cuit....cuit...!”, serentak anak-anak itu menjawab.
Oh iya, cuit-cuit di atas maksudnya adalah anak-anak Tatibajo ini mulai menggunakan Bahasa Mandar gunung. Orang-orang Mandar pinggir menyebutnya bahasa manok-manok (huruf ‘o’ yang digunakan merupakan 2/3 bunyi ‘o’ dan 1/3 bunyi ‘e’) alias bahasa burung. Katanya, itu karena Bahasa Mandar gunung ‘nyleneh’ dan tidak mudah dipahami oleh orang yang berbahasa Mandar asli.
“Baik, coba lihat kemari.”, masih kugunakan metode konvensional untuk menarik perhatian.
“Cuit.... citcit... cuit... cuit....!”, masih saja mereka dengan bahasa manok-manok-nya.
“Tok...tok...tok.”, kupukul papan tulis, berharap mereka segera memusatkan perhatian ke depan.
“Cuit...., perrrr...., aak...aak....!”, makin keras dan makin beragam saja kata-kata yang mereka gunakan.
Aku masih mencoba untuk tidak menggunakan metode quantum teaching dalam menarik perhatian siswa (hehe, sok-sok tahu metode quantum teaching). Kutunggu mereka sampai benar-benar tenang. Sekitar 3 menit kemudian, aku baru mendapatkan perhatian mereka. “Oke, ini cara cara mengalikan 269 dengan 1 juta. 269 x 1 berapa?”, tanyaku.
“269 Paaaak!!!!”, jawab mereka semangat.
Dalam hatiku, “Mantab ini kelas. Pada semangat semua anaknya.”
“Kalau 269 x 10?”, tanyaku lagi.
“Emm......, dua ratus...., eh, dua ribu ...., soalna sanga’a Pak?”
What the heaven?! ‘Sanga’a’? Kata apalagi ini? Mereka menggunakan bahasa daerah untuk berbicara dengan gurunya di kelas? Hingga saat ini, guru-guru di Tatibajo memang terbiasa menyampaikan pelajaran dalam bahasa campur, Mandar-Indonesia. Jadi, maklum saja kalau mereka masih menggunakan campuran Bahasa Indonesia dengan Bahasa Mandar gunung. Di satu sisi, dalam hati aku sangat bersyukur, Indonesia begitu kaya dengan bahasa. Negera seluas Amerika saja hanya punya dialek yang beragam, tapi negaraku ini punya bahasa yang berjuta ragam dengan dialek yang unik sampai ke level dusun. Dan lebih bersyukur lagi karena dulu ada sumpah pemuda, sumpah – yang secara sepihak – mengikrarkan bahwa kita punya bahasa persatuan.
The Little Monsters
Kembali ke matematika. Sanga’a artinya berapa. Jadi kujelaskan lagi soalnya, “269 x 10?”.
“Emm...., dua ribu ... enam ribu, eh enam ratus sembilan.”, ucap mereka hampir bersamaan sehingga membuat jawaban mereka tidak jelas kudengar.
“Yang bisa, angkat tangan. Berapa? (sambil mengangkat tangan kananku sendiri)”, kataku pada mereka.
“Saya Pak! ... Saya Pak!”, dengan semangat seorang siswa dengan baju yang sudah putih gading mengangkat tangan.
“Ya, kamu!”
“Dua ribu enam ratus sembilan.”
“Bagus. Jawabannya benar.”, aku mencoba memberikan penghargaan kepadanya.
Walaupun aku sudah bilang jawabannya benar, masih banyak juga siswa yang mengangkat tangan. Dalam batinku lagi, kelas ini mantab juga. Sangat semangat untuk menjawab. Untuk menghargai itu, aku tunjuk seorang lagi. “Ya, kamu.”, kutunjuk seorang siswi yang mengenakan seragam putih merah dengan motif ‘batik’ titik-titik hitam di kedua lengannya.
“Saya Pak, dua ribu enam ratus sembilan.”, jawabnya riang.
“Bagus. Benar juga kan?!”, kataku lagi untuk memberi penghargaan.
Walaupun sudah dua orang yang menjawab dengan benar, masih banyak saja siswa yang mengacungkan tangan. Deng....deng...., aku mulai merasa aneh dengan kelas ini. Tidak sampai 5 detik setelah aku bicara, adik angkatku (anak orang setempat yang menjadi orang tua angkatku) angkat bicara, tanpa ditunjuk, “Kalau saya, enam ribu enam ratus sembilan.”
“Iyo...iyo! Kan wis tak jawab!1”, keluhku dalam hati.
Kubalas jawaban adik angkatku itu hanya dengan anggukan. Aku mulai capek.
“Kalau saya Pak, emm... enam ribu enam ratus sembilan.”, kata siswa yang lain, lagi-lagi tanpa ditunjuk.
Dalam hatiku, “Oh Man....!”
Berapa kali lagi anak-anak ini akan menjawab dengan jawaban yang sama, yang sudah aku nyatakan benar. Mulai jengkel, kudiamkan mereka. Anak-anak itu masih saja mengacungkan tangan dan menjawab tanpa ditunjuk. Kelas mulai ribut lagi, mirip pasar burung Kupang, tempat favoritku untuk membeli jangkrik. Hanya saja, kali ini aku mengerti kata-kata mereka. Sangat mengerti, karena hanya perulangan dari jawaban temannya.
Kuambil nafas panjang. Meskipun hati mulai jengkel, tapi ekspresi tetap santai. Kan di sini mau ngajar, bukan mau marah. Jadi sambil santai, kunikmati ‘kicauan’ mereka. Hitung-hitung, biar tenaga mereka habis dulu. Supaya lebih tenang saat belajar lagi nanti, harapku.
Tiba-tiba ada seorang siswa. Bajunya tidak sekusam kawan-kawannya. Dengan percaya diri dia utarakan jawabannya, “Kalau saya Pak, 269.”
“Saya juga 269.”, ujar siswa yang lain.
“Tapi kalau saya Pak, 269.”, kata siswa yang lain lagi.
Astaghfirullah...! Walah...., ada apa dengan anak-anak ini. Kan, tadi sudah berkali-kali diberi tahu jawabannya. Kok malah ada yang hanya mengulang soalnya. Saya mengerti sekarang mengapa salah seorang sahabat saya, Arrum, menyebut anak-anak SD sebagai The Little Monsters. Walaupun berasal dari spesies yang sama, hidup di lingkungan yang sama, anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa. Mereka punya dunianya sendiri, mereka punya caranya sendiri, dan yang paling susah adalah mereka punya maunya sendiri.
Kicauan manok-manok masih terdengar riuh-rendah di kelas gabungan ini. Aku berpikir sejenak. Sepertinya, kelas ini bertipe aktif-ribut. Mereka fokus pada pelajaran, tapi mungkin tidak fokus pada pertanyaan. Nampaknya, rebutan menjawab pertanyaan tadi sesungguhnya adalah rebutan mencari perhatian. Mereka ingin suaranya didengar, walaupun caranya belum benar. Hmmm...., berarti mereka ada di tempat yang tepat. Bukankah sekolah adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang salah, yang berniat belajar untuk menjadi lebih tidak salah?
Manok-manok masih berkicau. Berteriak atau memukul-mukul papan tulis dengan penghapus tidak akan berguna, pikirku. “Beri saya satu tepuk.”, ucapku lantang.
“Prok.”, respon sebagian kelas.
“Beri saya dua tepuk.”
“Prok...prok.”
“Beri saya tiga tepuk.”
“Prok...prok...prok.”
Kelas langsung tenang. Jurus ini memang ampuh J. Untuk menghadapi kelas macam ini, memang butuh trik khusus. Sudah tidak jaman guru teriak-teriak di kelas (lagipula aku juga mala :P). Aku ingat, teorinya adalah manfaatkan seluruh jalur yang digunakan si anak untuk menangkap informasi: pendengaran, penglihatan, dan gerakan. Ucapkan perintahnya dengan jelas, “Beri saya dua tepuk.”; contohkan gerakannya di depan siswa; dan ajak mereka meniru gerakan tersebut bersama-sama.
Penyampaian materi perkalian kali ini jelas gagal total. Tapi kelasku tidaklah gagal. Kini aku tahu kira-kira bagaimana murid-muridku, apa yang mereka inginkan, dan bagaimana cara mengatasi mereka – The Little Monsters yang bersemangat itu. Hubungan guru-murid memang lebih rumit dari vendor-klien. Vendor kesulitan menghadapi klien karena adanya gap of interest. Tapi guru kesulitan mengatasi siswa karena dua makhluk ini punya dunia yang berbeda, dunia orang dewasa yang serius dan dunia anak-anak yang ceria.
Baik, hari ini sudah cukup. Mari kita tutup kelas kali ini. Kalian pulang, lalu mandi di kali. Insya Allah Senin kita ketemu lagi, belajar bersama. You are The Little Monsters. Kecilnya monster, gedhenya leader, insya Allah.
Bersambung …. !
Nantikan episode-episode ‘Mas Guru Punya Cerita’ di blog yang sama.
|
Cerita ini juga ditulis di sini.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda