Mas Guru Punya Cerita: Keracunan Keong Racun

Agung Firmansyah 5 Desember 2010
Mas Guru Punya Cerita: Keracunan Keong Racun Walau kampungnya kecil, aku sulit memetakan orang-orang Tatibajo. Aku belum bisa menghafal sepenuhnya si Aidin anaknya siapa – rumahnya di mana, Bapak ini namanya siapa – yang mana anaknya, rumahnya di mana. Warga Tatibajo umumnya masih keluarga dekat, jadi wajahnya pun mirip-mirip. Di tambah lagi kurangnya penerangan saat malam membuat aku makin susah mengingat dengan siapa aku mengobrol tadi malam. Pernah suatu kali aku bertanya pada dua orang muridku apakah mereka berdua bersaudara. Ternyata mereka bukan adik-kakak tapi sepupu, padahal wajahnya sangat mirip. Saat aku melihat ayah mereka masing-masing, hmm... pantes dua muridku itu mirip. Lha wong bapaknya juga mirip :D. Asik-asiknya ngobrol dengan beberapa warga di ruang tamu, kudengar sayup suara anak-anak perempuan bernyanyi. Aku keluar rumah. Kuintip mereka dari balik pintu.
“Dasar Kau Keong Racun Baru Kenal Eh Ngajak Tidur Ngomong Nggak Sopan Santun Kau Anggap aku Ayam Kampung”
JLEB! Astaghfirullah. Anak-anak yang belum belasan tahun ini dengan fasihnya menyanyikan lagu Keong Racun. Aku sih tidak bermasalah dengan nadanya. Tapi liriknya itu loh, 17+! Penasaran aku. Bagaimana anak-anak Tatibajo bisa tahu lagu -tiiit-. Padahal di sini tidak ada listrik, radio, apalagi TV. Kutanya saja pada Bapak Angkatku, “Pak, anak-anak ini dengar lagu di mana?”. “Di pinggir, ada itu Om-omnya TV.”, kata Bapakku. “Seringkah mereka ke pinggir (keluar hutan/turun gunung)?”, kejarku penasaran. “Ya biasa. Sekali sebulan. Dua kali mungkin.”, jawab beliau. Kata ‘biasa’ dalam masyarakat Tatibajo berarti pertengahan antara kadang-kadang dan jarang. Aku bingung, anak-anak ini hanya sesekali ke pinggir, bagaimana mereka bisa cepat teracuni dengan Keong Racun? Jangan-jangan .... ?! “Samira, Memi, kamu (belum tahu namanya), kemari sebentar!”, kupanggil mereka. Saling tarik-dorong, mereka mendekat dengan malu-malu. “Kamu hafal 8 arah mata angin?”, tanyaku sambil senyum. “Yang mana itu Pak?”, jawab Samira. Dia memang yang paling berani di antara dua temannya. “Yang Utara, Selatan, Barat itu. Hafalkah?”, tanyaku lagi. Hampir bersamaan mereka menjawab dengan datar, “Utara, timur laut, timur.... eh..., manuggara. Apa lagi?”, mereka bertanya saling berhadapan. “Hehe...., tidak tahu Pak.”, jawab Memi. “Kalian tahu lagu Ampar-ampar Pisang?”, aku memulai jurusku. “Tahu Pak.”, jawab mereka hampir serempak sambil senyum-senyum tidak jelas. “Coba nyanyikan.”, kataku. Mereka dengan semangat menyanyikan lagu dari Kalimantan itu. Menariknya, mereka ‘mengaransemen ulang’ lagu Ampar-ampar Pisang sehingga nadanya tidak seperti yang biasa kita dengar. Haha! Aneh betul lagu Ampar-ampar Pisang versi anak-anak ini. “Baik, mau tahu cara menghafal mata angin yang enak?”, aku melanjutkan jurusku. “Mau Pak.”, jawab Samira lagi dengan semangat. “Coba dengarkan baik-baik ya.”, kataku. Kunyanyikan lagu ‘Barat – Barat Laut’ dengan nada ‘Ampar-ampar Pisang’ (nada versi asli :mrgreen:):
“Barat, Barat Laut Utara, Timur Laut Timur, Tenggara Selatan, Barat Daya”
“Bagaimana, bisa? Coba ya. Satu, dua, tiga!” Dengan serempak mereka nyanyikan lagu ‘Barat – Barat Laut’, lancar pula. “Luar Biasa!”, kataku dalam hati. Lagu itu hanya kunyanyikan sekali, mereka langsung hafal dan lancar. Ditambah lagi mereka sudah menggunakan nada ‘Ampar-ampar Pisang’ versi asli J. Subhanallah! Kecerdasan musikal anak-anak ini tinggi. Di sela-sela obrolan dengan warga sore itu, aku sekali lagi tersadar bahwa Allah selalu menjadikan kesulitan sebagai kawan kemudahan.
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS. Al-Insyirah,6-8)
Aku merenung. Andaikan Tatibajo ini diterangi listrik mungkin aku hanya mengumpat saja saat anak-anak itu menyanyikan ‘Keong Racun’. Sebab – kalau ada listrik – aku mungkin akan berpikir bahwa mereka hafal lagu itu karena menonton TV setiap hari. Gara-gara tidak ada listrik, aku jadi bertanya, “Pak, anak-anak ini dengar lagu di mana?”. Malam itu juga lagu ‘Barat – Barat Laut’ jadi topest list lagu anak-anak se-Dusun Tatibajo. 2x senangnya hati ini. Pertama karena aku jadi tahu cara belajar yang mereka sukai – dengan musik. Kedua, ‘Keong Racun’ tergeser dari klasemen musik sementara. Seperti dalam ayat di atas, kalau sudah selesai dengan satu pekerjaan mari beralih ke pekerjaan yang lain. Masih banyak tugas guru yang belum aku lakukan. Huuup.... Hah!!! HAMASAH! GANBATE! CAYOO! SEMANGAT! MANTAB JAYA! (hehe, teriak-teriak sendiri :P) Bersambung …. ! Nantikan episode-episode ‘Mas Guru Punya Cerita’ di blog yang sama. | Cerita ini juga ditulis di sini.

Cerita Lainnya

Lihat Semua