Mas Guru Punya Cerita: Beranak dan Melahirkan
Agung Firmansyah 15 Desember 2010
Mas Guru Punya Cerita: Beranak dan Melahirkan
Seri Konstruktivisme
Lagi-lagi, aku mengajar kelas gabungan. Kali ini The Little Monsters yang beruntung itu :cool: adalah kelas 3 dan 4. Kata para guru, ‘batas aman’ berbahasa Indonesia adalah kelas 4. Lalu, bagaimana aku akan mengajar kelas 3? Haha, biarlah. Hitung-hitung kan aku juga punya misi untuk menyebarkan virus ‘Lancar Berbahasa Indonesia’ di Tatibajo :D.
Saat masuk, kulihat sudah ada tabel perbedaan makhluk hidup dan benda mati. Tabel itu masih baru, belum terisi sama sekali. Sepertinya kemarin tabelnya belum sempat digunakan. Pas sekali, pakai saja! Aku memang kesulitan membuat RPP. Hingga kini, aku belum tahu akan mengajar kelas berapa saja besok. Maklum, tidak ada yang tahu siapa (guru) yang tidak datang esok hari.
Seingatku ada beberapa kolom di tabel itu: ‘Nama’, ‘Tumbuh’, ‘Berkembang Biak’, ‘Bergerak’, ‘Menanggapi Rangsang’, ‘Bernafas’, ‘Menghasilkan Makanan Sendiri’, ‘Makhluk Hidup’, dan ‘Benda Mati’. Mari kita mulai proses belajar dengan metode konstruktivisme :cool:. Dalam metode konstruktivisme – versi saya :p – peran guru adalah merangsang siswa untuk berpikir, menebak-nebak, lalu mengungkapkan pendapat mengenai definisi, contoh-contoh, atau alasan mengapa suatu hal terjadi.
Kolom ‘Nama’ aku isi dengan 17 nama benda – tumbuhan, hewan, dan benda mati. Sengaja aku lebihkan 3 nomor karena akan aku jadikan contoh. Mari kita mulai dengan benda pertama, posa (kucing).
Apa itu ‘Tumbuh’?
Kutanya muridku, apakah kucing itu tumbuh? Dengan semangat 2030 – Insya Allah they are future leader, aren’t they? – mereka jawab iya. Binar mata mereka..., andai kamu tahu, indah sekali J. “Kucing itu tumbuh. Lalu, apa itu tumbuh? Apa sih artinya tumbuh?”, lanjutku memancing.
“Saya Pak! Posa Pak, bisa tumbuh.”, kata Sarul, bocah yang susah aku tebak sifatnya.
“Ya, apa Bahasa Indonesianya posa? Ya, kucing. Kucing bisa tumbuh?”, balasku dengan pertanyaan lagi.
“Bisaaaaaaa...!”, jawab mereka serempak, seperti paduan suara maba UI, lengkap dengan fals-falsnya :razz:.
“Lalu, tumbuh itu artinya apa?”, kembali kucoba mengonstruk makna.
Mereka diam. Kulempar senyum. Aku berusaha agar mereka tidak merasa tegang. Sambil jalan-jalan di depan kelas, kutanya lagi apa artinya tumbuh. Dan kali ini, mereka masih diam. “Jangan-jangan anak-anak ini ga ngerti maksud pertanyaannya? Kan Bahasa Indonesianya belum lancar?”, pikirku dalam hati.
Baiklah, mari kita coba cara iblis. Iblis menggoda manusia dari segala arah – dari depan, belakang, dari kanan, dan dari kiri. Jangan mau kalah! Ayo pancing otak para Future Leaders ini supaya berpikir! Kalau dipancing dari depan gagal, pancing dari kanan, “Tadi, apa yang bisa tumbuh?”.
“Kucing Paaak!”, serempak mereka menjawab.
“Kira-kira, apalagi yang bisa tumbuh?”, pancing dari kiri.
“Asu Paaak!”, jawab mereka.
Sebarin virus Bahasa Indonesia ah...., “Bahasa Indonesianya asu apa hayo?”.
“Eh...., asu indo’o anjing Pak (asu itu anjing Pak)!”, jawab Anto. Sekilas tentang Anto, makhluk ini cerdas. Daya analisis dan logikanya kuat, tapi bandelnya ga kalah kuat. Tipe anak teknik ni anak. Mungkin teknik mesin :cool: (aamiiin).
“Sip (sambil kuacungkan jempol ke arah Anto). Ada anjing, kucing. Apalagi yang bisa tumbuh?”, pancing teruusss.
“Saya Pak!”, seorang siswi kelas IV mengangkat tangan.
Kutunjuk dan kutanya apa jawabannya. Sambil mringis dia menjawab, “Tidak tahu Pak.”.
Krik...krik...krik..., The Little Monsters are still exist Guys! Biarlah, kupancing-pancing terus otak mereka. Setiap ada jawaban yang terkait dengan pertanyaan kuberi apresiasi. Kugunakan jawabannya untuk membuat pertanyaan baru. Sampai akhirnya seorang siswa – Aidin namanya – menjebol dinding konstruktivisme, “Tumbuh itu menjadi besar Pak. Seperti langsat, itu.”.
Akhirnyaa....! Tapi, jangan puas dengan ikan yang kecil, Saudara! “Din, menjadi besar seperti langsat? Memang dulu langsatnya seperti apa?”.
“Dulu kecil Pak, ini (sambil menunjukkan jari telunjuknya). Sekarang segini Pak.”, jawab Aidin lugas.
“Bagus Din. Berarti, langsat juga tumbuh? Karena?”, mereka sudah dapat jawabannya, tinggal menyusun kalimat.
Sekelas diam, termasuk Aidin. Mereka sudah dapat konsep ‘tumbuh’ di otaknya, tapi mereka kesulitan menyusun kalimat. Memang, selain materi pelajaran itu sendiri, kelancaran Bahasa Indonesia yang rendah juga menjadi tantangan tersendiri bagi anak-anak Tatibajo. Tiba-tiba seorang anak perempuan mengangkat tangan. Tanpa ditunjuk dia langsung menjawab, “Karena langsat dulunya kecil sekarang jadi besar.”.
“Bagus. Langsat tumbuh dari kecil menjadi besar (sambil kuperagakan ukuran besar-kecil dengan tangan). Kalau begitu Samira, tumbuh itu apa?”, kelas kuarahkan lagi ke topik utama.
“E..., tumbuh itu Pak, e... berubah dari kecil menjadi besar. Le Pak?”, jawabnya.
Kuiyakan jawaban Samira lalu kuberi apresiasi kepada setiap anak yang ikut menjawab dengan menyebut nama mereka pada kesimpulan, “Seperti kata Anto/Aidin/Samira/Sarul, ....”. Kutarik nafas panjang. Bayangkan, mengajar dengan menggunakan metode konstruktivisme sangat memakan waktu yang lama. Hanya untuk mengeksplisitkan makna kata ‘tumbuh’, kelasku butuh lebih dari setengah jam pelajaran. Itu belum membahas tentang arti berkembang biak, menerima rangsang, dll. Ayo coba, siapa yang tidak tahu arti kata tumbuh? Semua orang yang bisa membaca pasti memahami apa itu tumbuh. Tapi bisakah kita menjelaskan maknanya dengan kalimat yang sederhana? Konstruktivisme memaksa siswa mengubah pengetahuan tacid mereka menjadi pengetahuan eksplisit. Ide yang jenius tidak akan terlihat bila masih ada di otak. Ide jenius butuh lidah yang fasih untuk menjabarkannya. Karena itu, anak-anak cerdas ini harus dilatih bicara.
Begitulah metode belajar konstruktivisme. Karena siswa merangkai pemahamannya sendiri – bukan guru yang memberi tahu – insya Allah pemahaman itu akan langsung melekat di memori jangka panjang mereka, sekalian mengasah ketajaman analisis dan kemampuan bergargumentasi siswa sejak dini. Seperti kata-kata orang Tatibajo, rotan yang bagus harus diambil jauh di tengah hutan. Metode belajar yang baik pun punya harganya sendiri – waktu yang digunakan, kreativitas seorang pengajar, dan ketelatenan seorang guru.
.....
“Kalau kucing? Ya, Memi.”
“Beranak Pak.”
“Bagus (^_^). Kalau kura-kura?”
“Bertelur Pak.”
“Ya, benar (^_^). Nah, hewan apa yang bertelur dan melahirkan? Ya, Rudi.”
“Ular Pak. Kemarin ada ular Pak di rumahku. Badannya... cuit...cuit...cuit.”
“Baik [ di depan kelas (^_^), di dalam hati (_ _!)], terimakasih Rud. Terus, apalagi yang bertelur dan melahirkan? Ya, Sarul.”
“Anjing Pak!”
“(0.o) Anjing kenapa Rul?”
“Anjing Pak, beranak dan melahirkan. :cool:”
“(sekelas) Hahahaha......!”
Mau tahu pendapatku? Kalau gelap gulita, sunyi senyap, atau sehat wal afiat boleh ... beranak dan melahirkan juga boleh donk :cool: .
Bersambung …. !
Nantikan episode-episode ‘Mas Guru Punya Cerita’ di blog yang sama.
|
Cerita ini juga ditulis di sini.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda