Mada punya Ama dan Ina, ada pula Ari ( Saya punya Ibu dan Ayah, ada Juga Adik)

Gatot Suarman 27 Juni 2011
Tidak menyeberangi laut, Tidak pula mendaki bukit dan gunung, Hanya jalan berbatu Digandeng hembusan angin pantai Inilah ceritaku..... 20 Juni 2011, Setelah tiga hari menginap di Kecamatan Langgudu tepatnya di rumah kepala sekolah Bapak Jamaluddin, saya pindah ke desa laju dimana saya akan mengajar. Saya awalnya akan tinggal di rumah seorang Haji yang menurut cerita warga setempat merupakan tokoh agama yang sangat disegani di desa laju. Beliau yang sudah berperan dalam membangun sebuah mesjid tempat ibadah di desa ini. Karena jasanya itu beliau menjadi salah satu tokoh agama yang banyak berperan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dalam masyarakat. Sehari sebelumnya tepat jam 12 ketika azan baru saja menggegarkan siang yang terik. Saya duduk di ruang kepala sekolah bersama tiga orang tokoh masyarakat yang baru saja membicarakan perihal acara penyambutan saya. Tiba-tiba terdengar langkah sepatu berjalan kokoh dari luar. Di balik pintu muncul lah sosok kurus lengkap dengan seragam Satpol PP. Tak lupa topi dan sepatu PDL yang mengingatkanku pada pelatihan di Rindam Jaya dimana sepatu ini telah banyak menyiksa gerakanku karena ukurannya yang tidak pas dengan kakiku serta beratnya yang di atas rata-rata sepatu yang biasa ku pakai. “ Selamat Siang” suaranya berat dan penuh wibawa. Kami yang ada dalam ruangan serentak menjawab salam itu. Sosok satpol PP itu langsung menyalamiku dan mengucapkan selamat datang. Dari cara bicara dan gerak-geriknya terlihat pria di depanku ini merupakan orang yang tegas dan penuh wibawa. Tak salah karena seragam Satpol PP memang harus membungkus jiwa yang penuh ketegasan dalam mengayomi masyarakat. Selang beberapa saat kami diajak ke rumahnya yang merupakan rumah dinas sekolah tepat di samping sekolah. Namanya pak Bandi dan biasa dipanggil pak Kumis. Berbincang tentang program mengajar saya selama setahun tibalah pertanyaan tentang tempat tinggal saya. Pak Budi yang juga Guru Agama di SD ku menjawab bahwa nantinya aku akan tinggal di rumah pak Haji yang berada tepat di depan rumah pak bandi. Seketika pak Bandi berkata : “ tidak ada tempat lain bagi Gatot, dia harus tinggal di rumah saya ini”. Dengan ekspresi yang penuh keseriusan dan sedikit memaksa pak Bandi mengungkapkan keinginannya agar aku tinggal di rumahnya. “ saya siap jadi ayah angkat Gatot, jangankan ayah angkat ayah banting pun saya siap!”. Dengan sedikit berkelakar dia masih bersikeras meski sudah dijelaskan oleh pak Jamal selaku kepala sekolah dan juga orang yang bertanggung jawab mencarikan keluarga angkat bagiku bahwa aku sudah ditetapkan untuk tinggal di rumah pak Haji dan Pak Haji pun telah setuju. Singkat cerita karena keinginannya yang kuat Pak bandi pun memenangkan persaingan untuk memiliki diriku ( maaf saya memang merasa seperti diperebutkan waktu itu). Dan mulai saat itu pak Bandi dan bu Bandi sah menjadi orang tua angkatku. Dan mulai saat itu pula aku memanggil mereka dengan sebuatan Ama(ayah) dan Ina(Ibu). Mada Senana, Mada punya Ama dan Ina Baru!!! ( saya senang sekarang punya ayah dan ibu baru!!!). Keluarga pak Bandi adalah keluarga kecil dengan satu orang putra bernama Kadafi. Kadafi inilah yang akan menjadi ari mada( adik saya) . Sudah lebih dari 7 tahun keluarga pak Bandi tinggal di rumah dinas SD tempat saya mengajar. Dari cerita beliau saat berdebat tentang tempat tinggal saya, beliau merupakan salah satu orang yang memperjuangkan berdirinya SD N UPT ( Unit PemukimanTransmigrasi) ini. Karena berbagai hambatan dan persyaratan SD N UPT  ini hampir saja gagal didirikan. Namun beliau dan kawan-kawan tidak berhenti begitu saja. Mereka terus berjuang dan berusaha memenuhi persyaratan hingga permohonan itu pun dikabulkan. Saya melihat ada cerita yang tidak bisa diungkapkan dengan kata memancar dari sorot mata pak Bandi. Aku kagum akan perjuangannya demi kemajuan anak-anak di daerah yang kurang perhatian ini. Beliau mungkin tidak bersekolah tinggi, beliau mungkin juga tidak mengerti untung dan rugi, yang beliau tahu adalah anak-anak harus mendapatkan pendidikan. Dan dengan dibangunkan sekolah di sini akan mempermudah akses pendidikan bagi masyarakat. Kamarku sudah langsung disiapkan oleh Ama Bandi ( begitu ku memanggilnya sekarang). Sudah ada karpet hijau menyelimuti seperempat lantai ruangan. Tidak ada kasur dan lemari. Namun bagiku kehangatan dari Ama Bandi dan Ina Marda sudah cukup terang dari sekedar lampu pijar 5 watt itu, sudah sangat empuk dari kasur atau alas apapun, dan sudah aman daripada lemari dan gembok besi sekalipun. Namun ternyata persiapan yang aku syukuri itu belumlah cukup bagi Ama dan Ina . Malam itu aku di ajak Ama dan Ina ke tempat ayah Ina yang nantinya menjadi Ompu(kakek) ku. Sesampai di sana aku langsung diperkenalkan oleh Ama sebagai anak angkatnya. Setelah berbincang-bincang dengan Ompu kami berpamitan untuk pulang. Dan ku lihat Ama keluar dengan membawa kasur yang terletak di depan ruang tamu rumah Ompu. Ternyata tujuan kedatangan ke tempat Ompu sebenarnya adalah untuk menjemput kasur untukku. Saat mengetahui itu aku langsung membantu untuk mengangkat kasur itu menuju rumah yang kira2 berjarak 300 meter. Ama langsung melarangku, “ biar ama saja”. Begitu dia berkata. Bahkan untuk melakukan pekerjaan yang sangat ringan pun aku tidak di izinkan. Bagi mereka sejak aku menjadi anak mereka, maka saat itu pulalah aku harus mendapatkan kasih sayang mereka selayaknya mereka lakukan pada Kadafi anak kandung mereka. Sebuah ketulusan yang mungkin turun dari surga, sebuah kebaikan yang kekal dari jaman entah kapan. Aku sangat terharu dengan semua ini. aku pun bangga kepada Ama yang sangat mengerti pentingnya pendidikan. Teringat cerita PM I, Atika Sari , dari Almahera Selatan tentang siswanya bernama Lusiman. Setelah membaca cerita itu aku bertekad untuk menemukan Lusiman-Lusiman di belahan lain Indonesia. Aku baru saja bertemu dengan “Ayahnya Lusiman”. Tidak sabar untuk memotong liburan dan merekatkan potongan itu menyambungnya segera dengan jadwal sekolah untuk menemukan Lusiman. Semoga.... Begitulah awal yang tidak mengenal rencana, tidak akan ada cerita dari tangga rumah panggung tidak pula kisah hantaman gelombang di sampan hanya pijaran di sudut rumah dinas semoga berpendar memercikkan kisah abadi Gatot Bimasakti, 2011.

Cerita Lainnya

Lihat Semua