info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Mengapa Mereka Begitu

Gatot Suarman 16 Agustus 2011
“ Pak Gatot duduk di belakang saja dengan kita, Kita nyanyi sama-sama pak!” . Ramdan berseru senang saat ku katakan keinginanku ingin duduk di belakang mobil pick up bersama dengan mereka. Aku penuhi keinginan Ramdan dan semua siswa-siswiku untuk bernyanyi bersama. Ku perhatikan satu-satu wajah mereka yang riang seolah semua yang baru saja terjadi bukanlah hal yang harus merenggut senyum di bibir mereka. lomba gerak jalan yang baru mereka ikuti dengan usaha yang luar biasa baru saja mereka lewati. Meski beberapa dari mereka dalam keadaan kurang sehat, namun tetap tidak mau berhenti dan melanjutkan hingga batas garis akhir. Meski beberapa kali melakukan kesalahan selama berjalan, mereka tdak pernah berhenti bahkan untuk mengatakan “capek” sekalipun. Telah seminggu ini belajar tambahan yang biasa aku lakukan setiap sore berhenti digantikan kegiatan melatih gerak jalan. Dengan ilmu seadanya yang aku dapat selama pelatihan di Rindam cukup membuat aku menjadi tempat bergantung guru-guru yang lain untuk melatih siswaku. Bersama dengan Pak Budi , guru Agama di sekolahku, aku melatih anak-anak yang hampir semuanya tidak mengerti ilmu baris-berbaris. Ada beberapa di antara mereka yang sudah pernah mengikuti lomba serupa di tahun sebelumnya, namun masih saja banyak kesalahan. Kring kring kring suara Sepeda, Sepedaku Roda tiga, Kudapat dari ayah karena rajin belajar, Tok tok tok suara sepatu, Sepatuku kulit lembu, Kudapat dari ibu, Karena rajin membantu. Suara mereka memecah senja mengiringi rona merah mentari di batas samudera. Sambil sesekali menyapa setiap orang yang berpapasan dengan kami di jalan, anak-anak ku terus memainkan nada-nada yang sering kali berubah dari lagu aslinya. Hampir semua lagu yang ku ajarkan mereka nyanyikan selama perjalanan pulang berulang kali. Aku jadi tersenyum sendiri membayangkan seminggu melatih mereka baris-berbaris.  Beberapa kali guru-guru yang lain juga ikut membantu mengajarkan. Dengan sebatang tongkat kayu mereka menggertak anak-anak agar tertib dalam barisan. Tak jarang kayu tersebut hinggap di bahu, pinggang, bahkan hampir kepala.  Anak-anak di sekolahku memang ku rasakan nakal di atas rata-rata yang biasa ku temukan, tapi memukul juga bukan jalan yang mendidik untuk menghentikan kenakalan mereka. “ pak Guru, pukul saja mereka yang bandel...!!!”. sering kali teriakan dari orang tua di sekitar sekolah memintaku memukul anak-anak  saat mereka menyaksikan aku menegur anak-anak yang tidak tertib belajar baris berbaris. Sepertinya pukul memukul merupakan tradisi  dan solusi yang dianggap paling ampuh di sini. Tak heran bila anak-anak bermain sesamanya menggunakan cara yang keras pula. Saling memukul kepala, hantam muka, tendang dada sudah menjadi makanan sehari-hari mereka saat bermain. Ku ambil sebilah bambu bekas pagar sekolah yang rusak. sekarang aku mengikuti cara guru yang lain menggunakan sebatang kayu. Kujadikan kayu yang kupegang ini pertanda bagi mereka bahwa keseriusan dan ketertiban itu penting. Namun itu hanya bertahan beberapa saat saja setelah mereka menyadari bahwa aku tidak pernah menggunakan kayu tersebut untuk memukul mereka. Melainkan hanya untuk dipegang atau dengan kata lain hanya untuk menakuti mereka. Memang tidak akan pernah terlintas untuk memukul mereka apalagi menggunakan kayu. Aku merasa konyol sendiri dengan kayu tersebut. Ditengah terik dan lelah yang kian menumpuk akhirnya aku memuncak juga. Tidak memukul aku memarahi komandan barisan yang sedari kemaren tidak memperhatikan penjelasanku. Memarahi dengan cara yang sangat mendidik menurutku tidak akan merubah apa-apa karena pengalaman sebelumnya anak-anak ku hanya akan tersenyum kecut dan akan mengulang kembali perbuatan mereka. Tapi bertolak dengan dugaanku, Dodo, komandan barisan yang aku marahi seketika terdiam menunduk dan lebih tidak ku duga Dodo menangis pelan. Seketika aku kaget seperti semua rasa bersalah dicabut hingga ke ubun-ubunku. Kubiarkan sejenak hingga pada akhirnya kudekati Dodo. “ Dodo, kenapa menangis?, apa karena bapak marahi?”. “Tidak Pak, suara Dodo habis Pak, Sakit Pak..,” Sambil memgang tenggorokannya. Baru kusadari ternyata sedari tadi Dodo menahan sakit kerongkongannya. Aku makin merasa bersalah karena sudah hampir setu jam berlatih mereka belum kuberikan waktu untuk istirahat.  Seketika kusuruh mereka beristirahat. Di saat itu pula semua rasa bersalah yang menyentuh pikiranku meremuk berubah menjadi kesal berkepanjangan. Ternyata aku ditipu Dodo.....!! . saat ku beri waktgu istirahat Dodo kembali dengan bandelnya berteriak ke sana sini. Tidak terlihat bahwa dia sedang sakit atau kehabisan suara. “ Dodo.., kamu membohongi bapak ya?”, katanya kamu kehabisan suara, kok teriak ngeledek temannya kamu biasa-biasa saja suaranya?” Seketika Dodo kaget dan menyadari kalau kebohongannya aku ketahui. Di tersenyum nakal dan kembali berkilah. “ iya pak, sakit, hahhhahaaa, maaf pak.. saya tidak mau jadi ketua barisan makanya saya berbohong” “ Dodo.......” aku berteriak dan sekarang setengah marah menegur kesalahannya yang telah berbohong. Dodo hanya mengangguk sambil sesekali meminta maaf dan menjawba iya atas semua nasehatku. Kemaren Paman datang, Pamanku dari desa, Dibawakannya jagung dan pisang Dan sayur mayur semua ada...... Mereka masih bernyanyi menembus gelap bersambut adzan magrib. Aku tersenyum panjang bersama satu minggu pengalaman mengenal mereka dan mamhami mengapa mereka begitu. Kupeluk semua lelah dan alur emosi dalam pikir yang tenang. Seperti apapun mereka, mereka tetap anak-anak yang memerlukan kita agar mereka menjadi benar....

Gatot Bimasakti 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua