info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

The Maybe-You-Can-Call-It-Not-Mainstream Appreciative Inquiry

Gading Aulia 12 Juli 2015

 

“Kalau ndak musyawarah ladang yang dia bakar kemarin, habislah itu 50 juta.”

Cemano (bagaimana) Pak, dia lah yang bakar ladang aku, tapi ndak mau tanggung jawab, panggillah istrinya, dasar memang suaminya ndak pacak (tidak bisa) tanggung jawab.”

“Ibu yang itu, cobalah nanti kau rasakan sendiri, duit semua dihabiskannyo.”

Halah, opo sek onok uwong apik nang kene?” (Halah, apa masih ada orang baik disini?)

                Kalau ini fasilitasi via Appreciative Inquiry, call me a loser. I find it hard to get out from this preliminary labyrinth of frustration and lack of hope. Di masa adaptasi yg dipenuhi kekhawatiran terhadap banyak hal, terutama pikiran, “Kamu sudah becus kerja gak sih ding?” Juga pertanyaan-pertanyaan saudara-saudara PM X lainnya yang, “Gengs, udah pada sibuk belum belum? Atau masih nyantai?” Well, to tell you the truth, I am scared. But when you read this and you think it’s all about losing hope, you are wrong. You may look closer. Let me take you there.

                Desa yang saya tempati, bernama Muara Medak, jarak tempuh 5 jam dari Palembang via darat, menuju ibu kota kecamatan, lalu 1 jam via air (sungai) dengan sepid (sebutan orang lokal untuk alat transportasi perahu motor). Nah, empat PM sebelum saya, ditempatkan dekat laut (sebutan orang lokal untuk sungai) yang lebih banyak didiami oleh masyarakat asli Sekayu (ibu kota kabupaten Musi Banyuasin). Sementara kali ini saya tinggal di darat, sekitar 2 km dari laut, yang mayoritas dihuni oleh transmigran yang ternyata adalah eks-transmigran juga. Terusir dari daerah transmigrasi awal. Jadilah saya harus terbiasa dengan kisah keluh-kesah saudara baru ini. Oh, I will sell their sad stories in other journal, oh I will. Not to buy your tears, gain your support, or what so called to touch your heart. But you know what, the sad stories, oh surely, will strengthen their hope, load their energy to fight back, to survive.

                Menurut saya sangatlah wajar menggali dan menemukan kisah-kisah susah perjuangan hidup para transmigran ini, and you can’t block it. Sangat wajar bagi mereka untuk menceritakan kekecewaan sekaligus curhat hanya untuk dapat didengar. Karena sejaitnya, itu titik balik mereka. Ketika saya berbicara dengan Muslim (26), pemuda potensial untuk menggerakkan desa, saya bisa melihat dengan jelas bahwa tantangan yang ia hadapi ternyata memperkaya khazanah hidupnya. Ia berdamai dengan kesulitan yang dihadapi dan mengubahnya menjadi senjata untuk berperang kembali mencapai mimpi yang dicita-citakan. They appreciate their journey of survival, then they have bullets to fight back. Mereka manusia yang tabah.

                This writing is actually to strengthen me, untuk mengingatkan bahwa tantangan yang sedang dan akan saya hadapi sejatinya adalah bubuk mesiu untuk kemudian angkat senjata lagi. Karena hidup sejatinya adalah sebuah perputaran. Mengingat momen-momen terbaik (yang bisa jadi tidak melulu tentang hal-hal baik, tapi hal-hal yang membuat kita tabah), menyatakan mimpi-mimpi, mencari strategi, kemudian mewujudkannya.

                When they survive a day, that’s a sign of a hope coming. I’ll follow their path of being a survivor. Hey, I forget to tell you, welcome to another perspective of Appreciative Inquiry!

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua